Apsirasi Masyarakat MPR RI
Ekonomi Kerakyatan Yang Berkeadilan
Surabaya, 20 April 2025
Bismillahirrohmannirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati dan banggakan; Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Saudara-Saudara yang saya hormati, Indonesia sebagai negara yang diberkahi dengan kekayaan Sumber Daya Alam tentu harus kita syukuri dengan cara mengelola dengan baik dan benar. Sehingga, kekayaan anugerah dari Tuhan tersebut dapat benar-benar mewujudkan negeri yang baldatun toyyibatun wa robbun ghofur, alias negeri yang diberkati.
Karena itu, dalam mengelola kekayaan alam dan anugerah dari Tuhan tersebut harus diatur dengan rumus-rumus yang juga diberkati dan diridloi oleh Tuhan. Inilah kata kuncinya. Sebab, kalau kita tidak menggunakan rumus-rumus yang diridloi Tuhan, hasilnya pasti rusak. Karena prosesnya dilakukan dengan kedholiman. Alias tanpa keadilan. Karena lawan kata dari Adil itu bisa juga disebut dholim. Sehingga mutlak hukumnya, dalam mengelola perekonomian nasional harus dengan dasar keadilan. Tentu keadilan bagi semua. Terutama adalah keadilan bagi pemilik keadulatan negara ini, yaitu:Rakyat.
Itulah mengapa filosofi dari Pancasila selalu menempatkan rakyat sebagai subyek. Bukan obyek. Sehingga semua orientasi Konstitusi Indonesia dipusatkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Selain untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di sinilah kemudian para pendiri bangsa meletakkan Pasal 33 di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai panduan dalam melaksanakan misi yang tertulis di dalam naskah pembukaan Konstitusi kita itu. Dimana di dalam Pasal 33 terdapat makna yang sangat kuat untuk menentang model liberalisasi ekonomi ala barat, dimana yang kuat yang akan menang. Karena itu di dalam Pasal tersebut, tertulis perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan.
Arti dari usaha bersama sangat jelas, bahwa rakyat harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses ekonomi nasional dan menjadi bagian dari proses produksi nasional. Sehingga rakyat harus memiliki alat produksi dan masuk di dalam pelembagaan perekonomian. Sedangkan azas kekeluargaan adalah lawan dari model liberalisme, dimana pemilik modal dan kekayaan yang akan memenangkan permainan.
Dengan demikian, ekonomi kerakyatan itu bukan ekonomi rakyat pinggiran. Bukan usaha mikro. Bukan pedagang asongan. Bukan warteg. Karena itu semua hanya perwujudan dari usaha kecil yang dijalankan rakyat. Tetapi hakikat dari ekonomi kerakyatan yang berkeadilan itu haruslah dimaknai dengan keterlibatan rakyat di dalam proses produksi perekonomian nasional.
Indikator untuk melihat apakah rakyat sudah terlibat di dalam proses produksi perekonomian nasional adalah dengan melihat 3 (tiga) ciri utamanya. Yaitu; yang pertama, rakyat atau penduduk di wilayah tersebut, ikut memiliki atau ikut menjadi bagian sebagai pemilik dalam proses produksi perekonomian itu. Kedua, rakyat atau penduduk di wilayah tersebut ikut terlibat menentukan keputusan-keputusan dalam proses produksi perekonomian itu. Dan yang ketiga, rakyat atau penduduk di wilayah tersebut ikut bertanggung jawab terhadap masa depan dan keberlangsungan proses produksi perekonomian itu. Sehingga rakyat atau penduduk di wilayah tersebut ikut menjaga dan memperlancar proses produksi.
Sehingga ketika terjadi pembangunan, apapun itu, yang berdampak kepada pemindahan atau pengosongan lokasi yang sebelumnya sudah menjadi bagian dari kehidupan rakyat atau penduduk di wilayah tersebut, harus ditempuh melalui model pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan. Yaitu dengan memastikan rakyat atau penduduk di wilayah tersebut menjadi bagian dari proses produksi perekonomian tersebut. Bukan asal diberi ganti rugi, lalu digusur dan diusir begitu saja.
Dengan demikian, negara harus memainkan peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan. Sehingga dibutuhkan figur-figur atau sosok para Hikmat dalam kebijaksanaan yang harus menjalankan negara ini. Bukan figur atau sosok yang bermental untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Tetapi saringan untuk mencari figur atau sosok para Hikmat dalam kebijaksanaan tersebut telah hilang. Sebab saat ini Indonesia berada total dalam kendali partai politik. Karena sudah tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang pengisian dilakukan melalui utusan-utusan penjelmaan seluruh golongan.
Itulah mengapa saya selalu mengajak kita untuk kembali ke jati diri asli Indonesia. Sebuah sistem yang paling cocok dengan watak dasar manusia Indonesia. Yaitu manusia yang berkepribadian, manusia yang beragama, manusia yang tolong-menolong, manusia yang gotong royong dan berprinsip kekeluargaan. Itulah sistem asli bangsa Indonesia, yang dirumuskan para pendiri bangsa. Sistem Demokrasi Pancasila dan Sistem Ekonomi Pancasila.
Kembali ke Pancasila sama sekali bukan berarti kembali ke Orde Baru. Saya ulangi sekali lagi; Kembali ke Pancasila bukan berarti kembali ke Orde Baru. Karena justru Orde Barulah yang mulai membuka pintu bagi gerakan kapitalisme global yang berwatak menjajah itu.
Oleh karena itu, saya mengajak semua elemen bangsa, untuk kita kembalikan Konstitusi kita ke Konstitusi asli, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli. Untuk kemudian kita benahi dan perkuat, agar tidak terulang lagi penyimpangan yang terjadi di era Orde Baru. Sehingga MPR RI kembali menjadi lembaga tertinggi negara, yang harus dihuni oleh para Hikmat yang merupakan penjelmaan seluruh elemen bangsa tanpa ada yang ditinggalkan. Merekalah yang menentukan arah perjalanan bangsa ini.
Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Semoga ikhtiar kita agar Indonesia menjadi lebih baik dan diridhoi oleh Allah SWT. Terima kasih.