Selasa, Februari 18, 2025

Keynote Speech Ketua DPD RI Dialog Kebangsaan ICMI Orwil Jawa Timur Membedah Proposal Kenegaraan DPD RI Ditinjau dari Perspektif Keindonesiaan, Kecendekiawanan dan Keislaman

Loading

Surabaya, 17 September 2023

Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua.

Yang saya hormati dan banggakan;
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.

Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.

Saya sampaikan terima kasih kepada ICMI Jawa Timur, sebagai wadah organisasi Cendekiawan Muslim yang telah memberikan perhatian terhadap 5 Proposal Kenegaraan yang ditawarkan DPD RI kepada seluruh komponen bangsa ini, sebagai jalan keluar agar kedaulatan dan kemakmuran Rakyat Indonesia dapat segera diwujudkan. Mengingat tantangan masa depan yang dihadapi Indonesia akan semakin kompleks, seiring perubahan global dan situasi dunia yang tidak menentu.

Saya tidak akan membacakan satu per satu ke-5 Proposal tersebut secara utuh, karena sudah tertulis di akhir naskah ini, yang sudah dibagikan panitia kepada Bapak Ibu Saudara yang hadir di sini. Tetapi saya akan langsung membahas sesuai penekanan tema yang diberikan kepada saya dalam Dialog hari ini. Yaitu; Membedah Proposal Kenegaraan DPD dari Tiga Perspektif; yakni perspektif Keindonesiaan, perspektif Kecendekiawanan dan perspektif Keislaman.

Bapak Ibu dan Hadirin yang saya muliakan,
Secara garis besar, isi dari 5 proposal tersebut adalah; Pertama, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, kedua, anggota DPD RI yang dipilih melalui Pemilu Legislatif masuk ke dalam kamar DPR RI sebagai anggota DPR dari unsur perseorangan, ketiga utusan daerah dan utusan golongan di-isi dari bawah, keempat; utusan daerah dan golongan diberi wewenang untuk memberi pertimbangan atas Rancangan Undang-Undang, dan kelima, menempatkan lembaga-lembaga yang sudah ada sebagai bagian dari penguatan azas dan sistem Demokrasi Pancasila.

Nah, sekarang mari kita bedah sesuai perspektif yang menjadi tema dialog hari ini. Pertama, dari perspektif Keindonesiaan.

Negara ini lahir dari negara-negara lama dan bangsa-bangsa lama yang telah menghuni kepulauan Nusantara ini. Negara-negara lama itu adalah kerajaan dan kesultanan Nusantara.

Sedangkan bangsa-bangsa lama adalah masyarakat adat yang berbasis suku, marga dan nagari yang menghuni kepulauan Nusantara ini.

Negara ini adalah negara dengan bangsa asli yang super Majemuk. Negara kepulauan yang terpisah-pisah oleh lautan. Sehingga Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara homogen atau single RAS di Barat dan Timur. Juga berbeda dengan Amerika dan Australia, yang berasal dari bangsa pendatang yang menduduki.

Inilah mengapa, para pendiri bangsa berpikir serius untuk menemukan suatu Azas dan Sistem bernegara yang paling sesuai untuk Indonesia. Azas dan Sistem yang digali dari nilai-nilai Asli bangsa Nusantara ini, untuk dapat mengikat dan menyatukan negara yang super majemuk ini, melalui nilai-nilai yang sudah ada jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah negara.

Oleh karena itu, dengan pikiran jernih dan niat luhur, ditemukanlah Pancasila sebagai Falsafah Dasar Bangsa ini. Sekaligus sebagai Norma Hukum Tertinggi yang menjadi Identitas Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sehingga dirumuskan menjadi Azas dan Sistem Demokrasi Pancasila. Yang di dalamnya mengatur sistem bernegara Pancasila dan sistem ekonomi Pancasila.

Azas dan Sistem inilah yang disebut sebagai azas dan sistem tersendiri. Bukan sistem barat. Juga bukan sistem timur.

Sistem Tersendiri ini karena antara Proklamasi dengan Konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 adalah ‘Dwi Tunggal’.

Sehingga antara Proklamasi dan Konstitusi itu sebenarnya mengikat bangsa Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, sekaligus memberi tahu kepada seluruh dunia tentang prinsip dan model bernegara yang kita anut. Itulah sistem tersendiri yang seharusnya kita jaga dan kita banggakan.

Karena sistem yang dirumuskan para pendiri bangsa itu, adalah satu-satunya sistem di dunia yang mewujudkan demokrasi yang berkecukupan. Demokrasi yang utuh. Karena memiliki satu wadah di lembaga tertinggi negara, yang menjadi penjelmaan rakyat. Bukan perwakilan rakyat saja. Tetapi penjelmaan. Karena di dalamnya tidak hanya dihuni oleh mereka yang dipilih melalui Pemilu, tetapi juga oleh mereka yang diutus.

Sehingga hakikat Kedaulatan Rakyat benar-benar terukur dengan jelas di dalam ketatanegaraan kita. Bukan Sistem Bernegara yang ditentukan oleh Partai Politik saja. Atau oleh Presiden terpilih saja. Tetapi benar-benar Sistem yang utuh. Inilah Sistem Majelis Syuro. Yang dilekatkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga Tertinggi Negara, tempat seluruh elemen dan komponen bangsa berada.

Kedua, dari perspektif kecendekiawanan. Melalui sistem lembaga tertinggi yang tidak hanya dihuni oleh mereka yang dipilih, tetapi juga oleh mereka yang diutus, maka sejatinya kita sudah mengembalikan ruang kedaulatan rakyat yang terbuka untuk dihuni oleh kalangan intelektual dan cendekiawan melalui pintu Utusan Golongan.

Karena memang sudah seharusnya Indonesia mengembalikan demokrasi, yang saat ini digenggam kalangan oligarki, kepada kaum intelektual dan cendekiawan yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur.

Karena mereka inilah para hikmat yang memiliki kebijaksanaan. Mereka inilah yang harus ditimbang pendapatnya dalam musyawarah untuk menentukan arah perjalanan bangsa.

Dan perlu diingat, para pendiri bangsa adalah kaum intelektual. Kaum cendekiawan. Bahkan sebagian tokoh agama yang taat. Sehingga mereka sangat beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur.

Jika demokrasi hanya diisi melalui Pemilihan, maka jelas tidak ada pintu bagi kaum cendekiawan. Karena batu uji yang digunakan dalam Pemilu adalah popularitas dan elektabilitas. Bukan intelektualitas, integritas dan moralitas.

Apakah para Profesor di kampus atau Ulama Salaf yang tidak populer harus ikut-ikutan melakukan fabrikasi popularitas melalui media massa dan media sosial? Tentu akan semakin rusak bangsa ini.

Karena popularitas sama sekali tidak ada hubungannya dengan etika, moral dan akhlak. Karena seorang bajingan juga bisa sangat populer.

Ketiga dari perspektif Keislaman. Secara fundamental sudah sangat jelas. Bahwa Falsafah Dasar bangsa dan negara ini menyebutkan terminologi Ketuhanan. Begitu pula di dalam Pasal 29 Konstitusi kita. Jadi sudah clear, bahwa Indonesia adalah negara yang berketuhanan.

Karena itu, sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada spirit Ketuhanan. Sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral serta nilai agama.

Oleh karena itu, sistem ekonomi yang dipilih oleh para pendiri bangsa kita bukan sistem Liberal-Kapitalistik. Tetapi ekonomi kesejahteraan yang ditujukan untuk kemakmuran bersama. Sehingga ada garis batas pemisah, antara Public Goods dengan Commercial Goods. Dimana Public Goods atau kekayaan alam, harus dikuasai negara, dan tidak boleh diberikan kepada orang per orang.

Rumusan tersebut sama sebangun dengan konsepsi Islam dalam memandang tentang sumber daya alam.

Dalam Islam, Public Goods ini dikategorikan dalam tiga sektor strategis. Yaitu Air, Ladang dan Api atau energi. Ketiganya harus dikuasai Negara. Bahkan dalam hadist Riwayat Imam Ahmad dikatakan; “Umat Islam itu sama-sama membutuhkan untuk berserikat atas tiga hal, yaitu Air, Ladang, dan Api dan atas ketiganya diharamkan harganya.”

Sehingga para pendiri bangsa di dalam Konstitusi Pasal 33 menggunakan pilihan kalimat; “Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Bapak Ibu dan Hadirin yang saya muliakan,
Sejak Reformasi hingga hari ini, banyak generasi muda, bahkan kaum intelektual yang menyederhanakan pandangannya, bahwa Sistem Demokrasi Pancasila identik dengan Orde Baru.

Padahal Sistem yang dirumuskan para pendiri bangsa tersebut sama sekali belum pernah kita terapkan secara benar. Baik di Era Orde Lama, maupun di Era Orde Baru.

Di Era Orde Lama, sistem tersebut belum kita terapkan karena pada saat itu perjalanan bangsa ini diwarnai dinamika politik yang kuat. Bahkan kita sempat berganti Sistem menjadi Negara Serikat. Yang pada akhirnya, melalui Dekrit 1959, Presiden Soekarno justru menjadikan sistem ini sebagai sistem demokrasi terpimpin.

Begitu pula dengan Era Orde Baru. Sistem ini tidak pernah diterapkan secara benar. Karena meskipun MPR RI adalah lembaga tertinggi negara yang memilih dan memberi mandat presiden, tetapi Presiden Soeharto mampu mereduksi kekuatan MPR, sehingga menjelma sebagai kekuatan presiden. Bukan penjelmaan rakyat yang utuh. Karena partai politik saat itu dikerdilkan. Utusan Daerah disempitkan basis representasinya, dan Utusan Golongan ditunjuk oleh presiden.

Penyimpangan praktek dari Azas dan Sistem rumusan para pendiri bangsa itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok pendukung globalisasi melalui teori-teori Hukum Tata Negara ala Barat yang dijejalkan kepada para mahasiswa kita.

Dengan dalih penguatan sistem presidensial. Dengan dalih pemisahan kekuasaan. Dengan dalih pendekatan trias politica dan lain-lain. Lalu kita mengubah Konstitusi dan mengadopsi sistem bernegara ala Barat secara total pada saat Amandemen Konstitusi di Era Reformasi pada tahun 1999 hingga 2002 silam.

Dampaknya adalah kita telah meninggalkan Pancasila sebagai identitas Konstitusi dan Norma Hukum Tertinggi.

Artinya, sejak saat itu, kita hidup tanpa Falsafah Dasar yang kita sepakati dan kita peringati setiap tahun. Hal ini bukan saja paradoksal. Tetapi sangat ironis untuk sebuah bangsa dan negara. 

Saya menyadari bahwa Undang-Undang Dasar 18 Agustus 1945 saat itu dibuat dalam suasana mendesak dan masih bersifat revolusioner. Sehingga perlu disempurnakan. Bukan diganti menjadi sistem bernegara yang sama sekali baru dan asing.

Karena itu, dalam Proposal DPD RI, kami menggunakan kalimat; ‘Mengembalikan Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Para Pendiri Bangsa, untuk kemudian dilakukan Penyempurnaan dan Penguatan melalui Amandemen dengan teknik Adendum.’

Penyempurnaan dan penguatan yang kami tawarkan terdapat di dalam 5 Proposal yang dapat Bapak Ibu Saudara baca di materi yang telah dibagikan, dan yang nanti akan diperdalam oleh para Narasumber dalam Dialog Kebangsaan hari ini.

Kemudian yang terpenting adalah, harus terbangun kesadaran kolektif bangsa ini untuk kembali kepada Fitrah Indonesia. Untuk kemudian seluruh elemen bangsa mendorong semua Lembaga Negara, termasuk Ormas-Ormas besar dan TNI-Polri serta partai politik, agar segera melahirkan Konsensus Nasional untuk mendesak MPR menggelar Sidang MPR dengan agenda tunggal; yakni; Mengembalikan Konstitusi Indonesia sesuai Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945, untuk kemudian dilakukan Amandemen penyempurnaan dan penguatan melalui teknik Adendum.

Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Semoga ikhtiar yang kita niatkan untuk Indonesia yang lebih baik, mendapat ridho dari Allah SWT, sehingga menjadi amal jariyah bagi kita semua. 

Wabillahi Taufiq wal Hidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Ketua DPD RI

AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

 —————————-

Lampiran:

LIMA PROPOSAL KENEGARAAN DPD RI
Selain mengadopsi apa yang menjadi tuntutan reformasi, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan menghapus KKN serta penegakan hukum dan HAM, ke-5 proposal penyempurnaan dan penguatan azas dan sistem bernegara Pancasila yang kami tawarkan adalah sebagai berikut:

1). Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya di-isi oleh mereka yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga di-isi oleh utusan-utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan.

2). Membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tidak hanya di-isi dari peserta pemilu dari unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas juga oleh perwakilan penduduk daerah yang berbasis provinsi. Sehingga anggota DPD RI, yang juga dipilih melalui Pemilu Legislatif, berada di dalam satu kamar di DPR RI, sebagai bagian dari pembentuk Undang-Undang.

3). Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh presiden, atau dipilih DPRD seperti yang terjadi di Era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang berbasis sejarah Negara-negara lama dan Bangsa-bangsa lama di kepulauan Nusantara, yaitu raja dan sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara. Dan Utusan Golongan yang bersumber dari Organisasi Sosial Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki sejarah dan bobot kontribusi bagi pemajuan Ideologi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.

4). Memberikan wewenang untuk pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang utuh dalam pembahasan Undang-Undang di DPR. 

5). Menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.

Foto Terkait

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam Dialog Kebangsaan ICMI Orwil Jatim di Kantor Kamar Dagang Industri (Kadin) Jawa Timur, Surabaya, Minggu (17/9/2023)
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti Dalam Dialog Kebangsaan ICMI Orwil Jatim​

Berita Foto Terkait

Pidato Terkait