Jumat, Maret 29, 2024

Keynote Speech Ketua DPD RI Dies Natalis ke-98 Fakultas Hukum Universitas Indonesia “Mengembalikan Kedaulatan Rakyat,Menimbang MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara’

Loading

Depok, 20 Oktober 2022

Bismillahirrohmannirrohim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera untuk kita semua.

Yang saya hormati dan banggakan;
1. Wakil Presiden Keenam Republik Indonesia, Pembina Badan Pengembangan Ideologi Pancasila, Bapak Jenderal TNI Purnawirawan Haji Try Sutrisno.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Bapak Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M. beserta segenap pimpinan dan manajemen.
3. Para dosen dan civitas akademika Fakultas Hukum UI.
4. Yang saya banggakan para mahasiswa Fakultas Hukum UI.
5. Bapak Ibu dan hadirin tamu undangan yang berbahagia.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.

Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.

Saya sampaikan terima kasih kepada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam peringatan Dies Natalis ke-98 Fakultas hukum tertua di Indonesia ini.

Saya memohon maaf, tidak dapat hadir di tengah-tengah Bapak Ibu dan para mahasiswa yang saya banggakan, dikarenakan saya harus berada di Jawa Timur untuk agenda yang sudah terjadwal sebelumnya.

Bapak Ibu dan Para Mahasiswa yang saya banggakan,
Sudah tidak terhitung jumlah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia selama 98 tahun ini. Termasuk mereka yang ikut terlibat aktif sebagai bagian dari para pendiri bangsa ini.

Berkat sumbangsih pemikiran mereka kita bisa merumuskan tujuan negara yang sangat mulia, yang tertulis dalam naskah pembukaan konstitusi kita. Yang merupakan norma hukum tertinggi dalam negara ini.

Yakni negara yang berkemanusiaan, yang memiliki misi menghapus penjajahan, penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lain dari muka bumi, dalam segala bentuk dan rupanya.

Dan negara republik yang dirancang sebagai suatu negara kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Negara yang tidak sekedar dibentuk untuk menyejahterakan bangsa sendiri. Tetapi merupakan negara yang ikut mewujudkan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia.

Sayangnya, sesudah 77 tahun merdeka, cita-cita luhur dan rancangan agung itu justru semakin ditinggalkan dan dilupakan oleh penerus-penerusnya.

Jangankan mewujudkan kemanusiaan seluruh dunia yang adil dan beradab, persatuan Indonesia saja terus-menerus dibahayakan oleh eksperimen demokrasi serba pemilihan umum langsung di semua tingkatan.

Jangankan menyempurnakan praktek negara kerakyatan, perikehidupan rakyat justru disandera dan dikuasai oleh oligarki politik dan oligarki ekonomi.

Padahal para pendiri bangsa sengaja memilihkan sistem musyawarah dengan semangat kekeluargaan sebagai bagian inti dari sistem demokrasi Indonesia, karena para pendiri bangsa mengetahui bahwa demokrasi elektoral liberal hanya akan melanggengkan penjajahan. Bahkan penindasan dan penghisapan oleh bangsa lain yang bekerjasama dengan bangsa sendiri, sebagai perpanjangan dari kolonialisme dan imperalisme global, yang kini menamakan dirinya globalisasi.

Tetapi bangsa ini justru menempuh jalan itu. Terutama saat bangsa ini mengubah total Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, sehingga isi dari pasal-pasalnya tidak lagi menjabarkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi. Tetapi justru menjabarkan ideologi lain, yaitu Liberalisme dan Individualisme.

Serangkaian amandemen yang terjadi pada peralihan abad itu nyatanya dilaksanakan tidak menurut prosedur dan mekanisme hukum yang patut. Tidak melibatkan seluruh unsur bangsa. Dan justru menjauhkan Bangsa Indonesia dari cita-cita perjuangannya.

Untuk itulah maka penting dan mendesak sekali agar nilai-nilai kejuangan bangsa, khususnya yang termaktub dalam UUD 1945 yang asli, diperkenalkan kembali kepada para pemuda Indonesia, khususnya para mahasiswa fakultas hukum.

Hanya dengan cara ini kiranya para generasi penerus dapat melanjutkan perjuangan para pendahulunya untuk mewujudkan cita-cita bangsanya. Kembali ke arah dan tujuannya yang sejati sebagaimana telah digariskan para Pendiri Republik ini.

Salah satu rancangan para Pendiri Negara yang sangat mendasar untuk menyelenggarakan Negara Kerakyatan ini adalah suatu sistem pemerintahan negara yang khas dan unik, yang merupakan penyempurnaan dari berbagai sistem pemerintahan negara yang ada di seluruh dunia.

Ini adalah konsep Majelis Syuro yang sebenarnya sangat dikenal dalam Agama. Itulah mengapa negara ini menjadikan Agama sebagai dasar negara. Seperti tertulis di dalam Pasal 29 Ayat 1 Konstitusi kita. Karena memang negara ini adalah negara yang berketuhanan.

Oleh karena negara yang berketuhanan, maka negara ini tempat orang-orang yang beradab dan membangun peradaban dengan persatuan. Negara ini juga tempat semua perwakilan elemen bangsa yang disebut para hikmat untuk bermusyawarah. Demi menuju satu hakikat tujuan negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, ciri utama dari Demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini. Sehingga terjadi penjelmaan rakyat. Tidak sekedar perwakilan rakyat.

Untuk kemudian mereka Menyusun Arah Perjalanan Bangsa dan Memilih Mandataris alias petugas rakyat yang diberi mandat. Sehingga rakyatlah yang menentukan cara bagaimana mereka harus diperintah oleh pemerintah yang mereka bentuk.

Karena pada hakikatnya: Kedaulatan Rakyat itu adalah ‘Superanus’ atau ‘Yang Tertinggi’. Sehingga perwakilan dan penjelmaan seluruh elemen rakyat harus berada di Lembaga Tertinggi di negara.

Bapak Ibu dan Para Mahasiswa yang saya banggakan,
Seperti sudah kita ketahui bersama. Perubahan fundamental sistem demokrasi Indonesia dari konsep perwakilan menjadi presidensial murni dengan mengadopsi sistem demokrasi liberal terjadi saat bangsa ini melakukan perubahan Konstitusi atau Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 empat tahap di tahun 1999 hingga 2002 yang lalu.

Saya memahami situasi saat itu. Dimana bangsa ini memiliki satu common sense untuk melakukan anti-thesa terhadap apa yang berlangsung di era Orde Baru. Sama halnya dengan situasi di era tahun 1966 dan 1967, dimana rakyat saat itu menginginkan anti-thesa terhadap apa yang berlangsung di era Orde Lama.

Tetapi kita tidak menyadari dengan jernih. Bahwa praktek yang dilakukan Orde Lama dan Orde Baru adalah penyimpangan dari nilai Sistem Demokrasi Pancasila, yang memang perlu disempurnakan.

Sekali lagi saya katakan, Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli memang perlu disempurnakan. Karena masih adanya ruang untuk terjadi praktek penyimpangan, yang terbukti terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Jadi wajib disempurnakan, bukan diganti total.

Tetapi yang kita lakukan di tahun 1999 hingga 2002 adalah mengganti total Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli menjadi Undang-Undang Dasar baru. Karena isi pasal-pasalnya telah berubah lebih dari 95 persen.

Sistem Demokrasi Pancasila sudah diubah total. Bahkan ditinggalkan. Karena naskah Pembukaan Konstitusi sudah tidak nyambung lagi dengan isi pasal-pasal yang ada di dalam Batang Tubuh. Bahkan Perubahan saat itu, menghapus total Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Padahal Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan adalah satu kesatuan yang utuh.

Inilah awal mulanya bangsa ini dipisahkan dari Ideologinya. Awal mula bangsa ini meninggalkan Pancasila sebagai Staats fundamental norm atau Norma Hukum Tertinggi.

Bahkan di masa Reformasi, tepatnya tanggal 13 November 1998, MPR, yang saat itu dipimpin Harmoko, melalui Ketetapan MPR Nomor. XVIII/MPR/1998 mencabut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 sebagai materi Pendidikan Ideologi yang diterapkan melalui Penataran P4, dengan pertimbangan karena materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.

Ini bagi saya sangat berbahaya. Karena jauh sebelum bangsa ini merdeka, tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1928, pejuang Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro sudah mengingatkan, bahwa jika anak didik tidak kita ajar dengan kebangsaan dan nasionalisme, maka mungkin mereka di masa depan akan menjadi lawan kita.

Karena memang penghancuran ingatan kolektif suatu bangsa dapat dilakukan dengan metode non perang militer. Tetapi dengan memecah belah persatuan, mempengaruhi, menguasai dan mengendalikan pikiran dan hati warga bangsa, agar tidak memiliki kesadaran, kewaspadaan dan jati diri serta gagal dalam regenerasi untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional bangsa tersebut. 

Dan hari ini kita sudah merasakan dan mengalami situasi yang saya sebutkan tadi. Kita sudah menjadi bangsa yang terpolarisasi. Bangsa yang terbelah. Dan tidak mempunyai karakter serta jati diri. Karena bangsa ini dipenuhi buzzer yang menggunakan narasi kebencian dan penghinaan kepada sesama anak bangsa.

Dan negara ini semakin dipenuhi dengan paradoksal yang kita rasakan dan lihat sendiri. Bangsa yang sebenarnya diberi anugerah oleh Allah SWT dengan kekayaan sumber daya alam di bumi dan di laut, tetapi rakyatnya semakin banyak yang miskin dan rentan menjadi miskin.

APBN negara selalu defisit dan harus ditutupi dengan utang yang terus membengkak. Kewajiban negara terhadap rakyat dianggap subsidi yang sewaktu-waktu bisa dicabut. Sementara segelintir orang menjadi super kaya raya dan mengendalikan kebijakan melalui lahirnya Undang-Undang yang menguntungkan kepentingan mereka.

Memang harus diakui, ada gerakan sistematis sejak tahun 80-an, untuk membuat negara ini harus melepaskan diri dari penguasaan atas Sumber Daya Alam dan cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak. Dan membuat negara ini terjebak dengan utang luar negeri untuk pembangunan. Ini dapat kita baca dari pengakuan Jhon Perkins dalam bukunya Confession of an Economic Hit Man.

Negara seolah dipaksa untuk menyerahkan penguasaan tersebut kepada Swasta Nasional maupun Swasta Asing, atau mereka yang menyatu melalui share holder.

Tidak ada lagi pemisahan yang tegas antara public goods dan commercial goods atau kuasi di antara keduanya.

Sehingga negara ibaratnya hanya sebagai “host” atau master of ceremony alias “MC” untuk investor yang akan mengeruk Sumber Daya Alam dan lahan hutan di Indonesia.

Ini semua dilakukan hanya demi angka Pertumbuhan Ekonomi yang ekuivalen dengan Tax Ratio. Padahal seharusnya Negara dengan keunggulan Komparatif seperti Indonesia, lebih mengutamakan Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP.

Tetapi negara sudah terlanjur dilemahkan untuk menguasai Bumi Air dan Kekayaan yang terkandung di dalamnya. Bahkan negara sedang merancang HGB selama 160 tahun untuk siapapun yang berminat memiliki konsesi lahan di Ibu Kota Nusantara Kalimantan Timur. Jangka waktu yang mengalahkan peminjaman Hongkong kepada Inggris.

Itulah mengapa saya menawarkan gagasan untuk kita mengingat dan membaca kembali pikiran para pendiri bangsa. Tentang sistem demokrasi dan sistem ekonomi yang paling sesuai dengan bangsa yang super majemuk ini. Bangsa yang sangat luas dan kaya akan sumber daya alam ini.

Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Pancasila. Kembali kepada UUD 1945 naskah asli untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar. Dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staats fundamental norm.

Sehingga bangsa ini harus kembali mengingat kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Karena dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya ‘Kemaslahatan Bersama’ dalam arti seluas-luasnya.

Marilah kita berpikir dalam kerangka Negarawan. Mari kita pikirkan masa depan anak cucu kita. Generasi yang baru lahir di bumi pertiwi ini. Negeri yang sebenarnya kaya-raya ini. Negeri yang diberkahi dengan anugerah kekayaan alam dan iklim serta berada di garis katulistiwa.

Negeri yang besar dan bisa menjadi adi daya di dunia sebagai penjaga harapan hidup manusia di bumi, melalui kekayaan biodiversity hutan untuk menghasilkan oksigen dan sumber kekayaan hayati. Negeri yang bisa menjamin ketersediaan pangan dan air bagi penduduk bumi di masa depan. Jangan sampai potensi itu dirampok oleh bukan orang Indonesia asli secara sistemik melalui agresi non militer.

Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Selamat berbahagia dan merayakan Dies Natalis ke-98 untuk seluruh civitas akademika dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk jalan yang lurus, memberikan rahmat dan hidayah kepada kita semua. Amiin yaa robbal alamiin.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.

 

Ketua DPD RI
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Foto Terkait

Berita Foto Terkait

Video Terkait

Pidato Terkait