Jakarta, 10 Agustus 2022
Bismillahirrohmannirrohim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati dan banggakan;
1. Pemimpin Redaksi FNN, Saudara Mangarahon Dongoran
2. Ketua Kelompok DPD di MPR RI, Senator Sulawesi Selatan, Bapak Tamsil Linrung
3. Pengamat Politik, Saudara Rocky Gerung
4. Pengamat Ekonomi, Saudara Ichsanuddin Noorsy
5. Pengamat Hukum, Saudara Ahmad Yani
6. Moderator Diskusi, Saudara Hersubeno Arief
7. Bapak Ibu dan Hadirin peserta diskusi
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Saya sampaikan terima kasih kepada Forum News Network, yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam acara Diskusi Publik yang diselenggarakan hari ini, sebagai bagian dari Refleksi 77 Tahun Indonesia Merdeka.
Saya memohon maaf, tidak dapat hadir di tengah-tengah Bapak Ibu dan hadirin, dikarenakan saya harus menghadiri acara lain yang sudah terjadwal sebelumnya.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati,
Sebenarnya, kita sudah tidak bisa lagi mendiskusikan refleksi peringatan kemerdekaan Indonesia dengan menggunakan basis pisau analisis atau mata uji Cita-Cita dan Tujuan Nasional negara ini, yang tertuang di dalam Pembukaan Konstitusi kita. Dimana di dalamnya terdapat Pancasila sebagai norma hukum tertinggi negara, sekaligus sebagai grondslag bangsa ini.
Karena Pancasila sudah tidak kita gunakan lagi dalam berbangsa dan bernegara sejak tahun 2002 silam. Sejak penggantian Konstitusi tuntas dikerjakan oleh MPR saat itu. Dimana jika kita meminjam istilah Profesor Kaelan dari UGM, bahwa sejak saat itu, kita telah menggunakan UUD baru, yaitu UUD 2002. Bukan lagi UUD 1945.
Mengapa? Karena sangat jelas, Cita-Cita dan Tujuan Nasional yang terdapat di dalam Pembukaan serta Pancasila sudah tidak nyambung lagi dengan isi Pasal-Pasal di dalam Konstitusi itu.
Lebih parah lagi, Naskah Penjelasan UUD 1945 yang sangat terang benderang untuk menjelaskan bagaimana mewujudkan Cita-Cita dan Tujuan Nasional negara ini resmi dihapus total sejak tahun 2002.
Ini bisa kita baca di Aturan Tambahan UUD Hasil Amandemen 1999-2002 di Pasal II, yang tertulis; ‘Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Memang pada saat reformasi 1998 silam, bangsa ini memiliki common sense untuk melakukan perubahan besar-besaran atas semua sistem yang berlaku di era Orde Baru dengan melakukan anti-thesisnya. Apa yang berlaku dan dilaksanakan di era Orde Baru, seolah disepakati untuk dihapus atau diubah dan diganti.
Bahkan di masa Reformasi, tepatnya tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Ketetapan (TAP) MPR Nomor. XVIII/MPR/1998 telah mencabut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), sebagai materi Pendidikan Ideologi yang diterapkan melalui Penataran P4, dengan pertimbangan karena materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.
Ini artinya materi P4 yang merupakan penjabaran nilai-nilai dan butir-butir Pancasila di tataran fraksis dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.
Ini adalah awal bangsa ini mulai dipisahkan dari Ideologinya. Awal bangsa ini mulai meninggalkan Pancasila sebagai grondslag dan Staatsfundamentalnorm.
Jadi kalau hari ini kita melakukan refleksi 77 Tahun Indonesia merdeka, dengan tonggak Proklamasi 17 Agustus 1945, menjadi tidak nyambung lagi. Karena negara Proklamasi sudah bubar, sejak tahun 2002.
Karena Penggantian Konstitusi yang dilakukan di tahun 1999-2002 telah memenuhi unsur-unsur pembubaran negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Karena telah menghilangkan nilai perjanjian luhur bangsa Indonesia. Telah meniadakan nilai Proklamasi sebagai suatu kelahiran baru suatu negara. Telah menghilangkan dokumen nasional yang mengandung suatu perjanjian luhur bangsa, sebagai identitas nasional dan lambang persatuan.
Karena peniadaan nilai-nilai fundamental inilah, maka pemberlakuan UUD 2002, sama halnya dengan Pembubaran negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Saya akan beri contoh bagaimana negara lain secara tegas dan jelas mengubah sistem negaranya melalui identitas Konstitusi yang secara terang benderang dinyatakan.
Satu contoh, Turki yang secara tegas menyatakan dalam konstitusinya bahwa telah meninggalkan sistem Kesultanan Ottoman, untuk menjadi negara sekuler di era Kemal Ataturk pada 1 November 1922. Dimana itu dijelaskan di dalam Konstitusinya.
Demikian juga Perancis, yang secara tegas menyatakan meninggalkan bentuk Monarchi menjadi Republik. Sehingga di dalam Konstitusinya tertulis larangan untuk melakukan perubahan yang mengancam bentuk Republik negaranya.
Inilah yang dimaksud dengan perubahan yang sangat fundamental terhadap konstitusi dapat berakibat pada tergantikannya seluruh konstitusi termasuk substansinya. Sehingga disebut complete replacement of the constitution.
Sementara Indonesia tetap menempatkan Pancasila di dalam Pembukaan UUD 2002, tetapi sudah tidak koheren dan tidak derivatif lagi terhadap isi Pasal-Pasalnya. Karena isi Pasal-Pasalnya merupakan penjabaran dari ideologi lain, yaitu: Liberalisme dan Individualisme.
Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena Penghilangan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi dilakukan secara “malu-malu tapi mau”, atau “malu-malu kucing”. Sehingga kita menjadi bangsa yang memalukan, karena terhina untuk selalu meminta-minta pinjaman dan utang.
Jadi sekali lagi, bagaimana mungkin kita menggunakan pisau analisis atau mata uji pemikiran luhur pendiri bangsa yang menjadi Cita-Cita dan Tujuan Nasional negara ini sebagai bahan refleksi dalam melihat Indonesia hari ini.
Karena bangsa ini sedang dalam proses pencaplokan oleh bukan orang Indonesia asli untuk dikuasi di tiga sektor kunci.
Yaitu kuasai sistem politiknya. Kuasai perekonomiannya. Dan terakhir, kuasai Presiden atau Wakil Presidennya. Dan UUD 2002 membuka peluang untuk itu terjadi. Karena Pasal 6 UUD 1945 naskah asli yang menyebutkan: Presiden ialah Orang Indonesia Asli telah diganti dengan menghapus kata ‘Asli’.
Jika tiga epicentrum penting tersebut sudah dikuasai oleh bukan Orang Indonesia Asli, maka Anda semua akan bisa apa? Anda akan tersingkir dan menjadi penduduk kelas bawah yang tidak kompeten dan tidak mampu bersaing, karena Anda miskin. Dan lingkaran setan kemiskinan struktural inilah yang dilanggengkan.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati,
Oleh karena itu saya sekarang berkampanye untuk kita kembali kepada Pancasila. Saya mengajak semua elemen bangsa ini untuk berpikir dalam kerangka Negarawan.
Mari kita pikirkan masa depan anak cucu kita. Generasi yang baru lahir di bumi pertiwi ini. Bayi-bayi yang lahir di negeri yang sebenarnya kaya-raya ini. Negeri yang diberkahi dengan anugerah kekayaan alam dan iklim serta berada di garis katulistiwa.
Negeri yang sungguh bisa besar dan menjadi adi daya di dunia sebagai penjaga harapan hidup manusia di bumi, melalui kekayaan biodiversity hutan untuk menghasilkan oksigen dan sumber kekayaan hayati.
Negeri yang bisa menjamin ketersediaan pangan dan air bagi penduduk bumi di masa depan. Jangan sampai potensi itu dirampok oleh bukan orang Indonesia asli secara sistemik melalui agresi non-militer.
Marilah kita ingat pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang darahnya meresap di bumi ini. Di tanah yang kita injak ini.
Mereka menyabung nyawa dengan semboyan: “Merdeka atau Mati”–sebuah semboyan yang kini mungkin terasa absurd di ruangan ber-AC ini. Tetapi itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia;“agar tumbuh generasi yang lebih sempurna….”
Sehingga bangsa ini harus kembali mengingat kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Karena dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya ‘Kemaslahatan Bersama’ dalam arti seluas-luasnya.
Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm. Agar Indonesia kembali dengan sistemnya sendiri, seperti diucapkan oleh H.O.S Cokroaminoto yaitu; Zelfbestuur. Mari kita kembali ke sistem yang paling cocok dengan watak bangsa yang super majemuk dan bangsa kepulauan yang terpisah oleh lautan.
Marilah kita satukan tekad untuk mengakhiri polarisasi bangsa ini dengan kesadaran. Dengan kembali bergandengan tangan. Merajut masa depan dengan menjadi bangsa yang mandiri, berdikari dan berdaulat.
Marilah kita letakkan ego kita masing-masing. Karena kita semua tidak akan abadi hidup di dunia ini. Semua akan meninggalkan dunia ini. Semua akan dimintai pertanggungjawaban.
Marilah kita hentikan kerusakan yang terjadi. Marilah kita hentikan ketidakadilan yang melampaui batas. Karena ketidakadilan yang melampaui batas itu telah nyata-nyata membuat jutaan rakyat, sebagai pemilik sah kedaulatan negara ini menjadi sengsara.
Dan Allah SWT tidak suka terhadap hamba-Nya yang melampaui batas. Semoga sifat Rahman dan Rahim Allah SWT menjadikan bangsa ini terhindar dari azab seperti yang ditimpakan kepada bangsa atau kaum terdahulu.
Ijinkan saya mengutip terjemahan Surat Al Kahf ayat 10:
(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa, “Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.”
Akhir kata, semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk jalan yang lurus, memberikan rahmat dan hidayah kepada kita semua. Amiin.
Wabillahi Taufiq wal Hidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ketua DPD RI
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti