Keynote Speech Ketua DPD RI
Focus Group Discussion
DPC PERADI Kota Surabaya
“Inkonsistensi UUD NRI 2002”
Surabaya, 27 November 2023
Bismillahirrohmannirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati dan banggakan; Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Saya sampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Perhimpunan Advokat Indonesia Kota Surabaya, yang tertarik untuk memberikan sumbangsih pemikiran melalui FGD hari ini, yang secara khusus membedah In-konsistensi Undang-Undang Dasar hasil Amandemen tahun 1999 hingga 2002 yang lalu. Yang oleh banyak kalangan disebut Undang-Undang Dasar 2002. Bukan Undang-Undang Dasar 1945.
Mengapa disebut Undang-Undang Dasar 2002. Karena memang setelah dikaji secara akademik oleh Profesor Kaelan dari UGM Yogyakarta, ternyata Perubahan yang dilakukan di Tahun 1999 hingga 2002 itu bukan lagi Amandemen, tetapi Penggantian Konstitusi. Karena 95 persen isi Pasal-Pasal yang ada di dalam Konstitusi tersebut telah diganti. Bahkan BAB tentang Penjelasan dihapus total.
Sedangkan Komisi Konstitusi yang dibentuk melalui Ketetapan MPR Nomor I/ MPR/ 2002 yang bertugas melakukan kajian atas Amandemen di tahun 1999 hingga 2002 telah menyatakan; Akibat tiadanya Kerangka Acuan atau Naskah Akademik dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan salah satu sebab timbulnya in-konsistensi Teoritis dan Konsep, dalam mengatur materi muatan Undang-Undang Dasar.
Ini artinya perubahan tersebut tidak dilengkapi dengan pendekatan yang menyeluruh dari sisi Filosofis, Historis, Sosiologis, Politis, Yuridis, dan Komparatif. Nanti Pak Noorsy akan memaparkan diagram dan table yang menjelaskan soal ini.
Bapak Ibu Pengurus dan Anggota PERADI yang saya banggakan, Sistem Demokrasi ala liberal barat yang sejak era reformasi diterapkan di Indonesia disumbang oleh dua hal yang paling mendasar. Pertama adanya praktek penyimpangan yang terjadi di Era Orde Baru terhadap sistem Demokrasi Pancasila.
Kedua, karena para mahasiswa hukum dan kampus-kampus hukum di Indonesia dijejali teori tata negara yang menyatakan demokrasi barat adalah yang terbaik.
Akibatnya kita langsung mengadopsi sistem demokrasi tersebut pada saat Amandemen Konstitusi. Termasuk mengganti sistem bernegara Indonesia. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah membenahi praktek penyimpangan yang terjadi di Era Orde Baru, tanpa harus mengganti Asas dan Sistem Bernegara yang sesuai Pancasila.
Dan sejak saat itu, kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat. Karena pelaksana kedaulatan adalah Partai Politik dan Presiden terpilih. Itu faktanya. Karena rakyat menyerahkan total kedaulatan tersebut melalui Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Langsung.
Sehingga Partai Politik dan Presiden, masing-masing memegang kedaulatannya sendiri. Bahkan Partai Politik menjadi sangat dominan, karena mereka yang mengusung dan memilih calon presiden, untuk disodorkan kepada rakyat. Akibatnya, Presiden terpilih akan menjalin koalisi dengan Partai Politik. Dengan cara, bagi-bagi jabatan dan kekuasaan.
Lalu jika partai politik dan presiden terpilih menjalin koalisi mayoritas, maka apapun yang mereka kehendaki pasti akan terlaksana. Karena partai politik melalui anggota DPR adalah pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang.
Tidak ada lagi ruang rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Karena memang sudah tidak ada Lembaga Tertinggi Negara lagi. MPR sudah bukan lagi lembaga tertinggi. Sudah tidak ada lagi Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Semua berada di tangan Partai Politik. Dimana di dalam Undang-Undang Partai Politik, mereka diberi ruang untuk memperjuangkan kepentingan Partainya masing-masing.
Rakyat yang tidak setuju terhadap produk Undang-Undang hanya diberi ruang untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Dimana komposisi Hakim MK terdiri dari pilihan presiden dan pilihan partai politik. Dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat.
Memang ada Dewan Perwakilan Daerah. Tetapi DPD di Indonesia bukan pembentuk Undang-Undang dan tidak memiliki kewenangan seperti Senat dalam Sistem Kongres di Amerika Serikat atau Inggris dan Australia. Karena memang Indonesia bukan negara federal.
Jadi, kekacauan sistem tata negara Indonesia ini sebenarnya bermula saat bangsa ini melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam.
Oleh karena itu, kami di DPD RI, berdasarkan aspirasi yang masuk dari sejumlah stakeholder bangsa, kami mengambil inisiatif kenegaraan, dengan mengajak seluruh komponen bangsa ini, untuk Kembali Menerapkan Sistem Bernegara sesuai Rumusan Pendiri Bangsa, untuk kemudian kita sempurnakan dan perkuat, untuk memastikan posisi kedaulatan rakyat yang lebih kuat, dan untuk menghindari praktek penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.
Sehingga bangsa ini kembali ke Fitrah Negara Pancasila, dengan jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, dimana penyempurnaan dan penguatannya kita lakukan dengan Teknik adendum, atau dengan kata lain; Penambahan, bukan penghapusan atau penggantian. Seperti yang telah dilakukan Amerika Serikat melalui Adendum 27 kali, dan India melalui Adendum 104 kali.
Di sinilah peran penting para Advokat Indonesia untuk ikut dan aktif meresonansikan gagasan demi Indonesia yang lebih baik ini kepada seluruh elemen bangsa.
Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Semoga ikhtiar yang kita niatkan untuk Indonesia yang lebih baik, mendapat ridho dari Allah SWT, sehingga menjadi amal jariyah bagi kita semua.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwomit Thoriq Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti
Foto Terkait
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam FGD yang dilaksanakan oleh DPC PERADI Kota Surabaya