Keynote Speech Ketua DPD RI
Focus Group Discussion
Wawasan Empat Pilar
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
PW Muhammadiyah Jawa Timur
Surabaya, 15 Juli 2024
Bismillahirrohmannirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati dan banggakan; Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Saya sampaikan terima kasih kepada Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Jawa Timur, yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam acara FGD yang mengambil tema: “Amandemen UUD 1945 dan Urgensinya bagi Bangsa dan Negara”, yang diselenggarakan hari ini.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati, Kalau kita baca dari nama lembaga ini, yaitu Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik, sudah jelas bahwa kebijakan publik yang dikaji atau ditawarkan oleh Muhammadiyah tentu yang memiliki nilai hikmah. Sehingga sesuai dengan nilai Sila Keempat dari Pancasila. Dimana keputusan penting bagi arah perjalanan bangsa, seharusnya ditempuh melalui Musyawarah oleh para Hikmat, yang memiliki kebijaksanaan pemikiran yang arif dan keilmuan yang cukup. Inilah yang sudah kita hapus sejak era Reformasi.
Sehingga arah perjalanan bangsa ini, sejak Era Reformasi hanya ditentukan oleh Partai Politik melalui Anggota DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang, dan kita serahkan juga kepada Presiden yang dipilih langsung melalui Pilpres Langsung yang sangat mahal itu.
Jadi sejak Era Reformasi, sudah tidak ada ruang yang utuh dan bermakna bagi elemen-elemen masyarakat yang lain, untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Terutama elemen dari unsur organisasi masyarakat, organisasi profesi, tokoh-tokoh masyarakat, baik tokoh agama, budayawan, seniman, akademisi dan semuanya, yang oleh para pendiri bangsa disediakan tempat di dalam Utusan Golongan.
Inilah salah satu ruang yang hilang. Di dalam konsepsi Demokrasi yang dirumuskan para pendiri bangsa. Sebagai Sistem Demokrasi yang Tersendiri. Demokrasi Asli model Indonesia. Sistem Demokrasi yang berkecukupan. Sistem yang paling cocok untuk negara kepulauan yang majemuk ini.
Dimana rumusan ideal dari para pendiri bangsa itu belum pernah kita terapkan secara benar. Baik di Era Orde Lama, maupun Era Orde Baru. Karena yang terjadi di Era Orde Baru, MPR bukan lagi penjelmaan rakyat yang utuh. Tetapi menjelma menjadi Mayoritas Pendukung Presiden. Sehingga saat reformasi, bangsa kita yang mengalami Euforia, melakukan Anti-Thesa terhadap semua yang berlaku di Era Orde Baru. Termasuk mengganti sistem bernegara rumusan para pendiri bangsa.
Di situlah kecelakaan itu mulai terjadi. Karena seharusnya yang kita koreksi saat itu adalah penyimpangan yang terjadi di Era Orde Baru. Bukan membubarkan dan mengganti sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa.
Akibatnya, bangsa kita lambat laun menjadi bangsa lain. Akar budaya dan watak bangsa Indonesia perlahan tercerabut. Dari bangsa yang integralistik, gotong-royong dan spiritualistik-patriotis, menjadi bangsa yang individualistik, kapitalistik dan materialistik-pragmatis.
Sehingga dalam dua dekade Reformasi yang telah kita jalani, ternyata ketidak-adilan dalam wujud kesenjangan ekonomi dan sosial semakin tinggi. Indeks Persepsi Korupsi juga meningkat. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari beberapa indikator makro. Baik dari hasil penelitian atau kajian sejumlah lembaga.
Kesenjangan dan ketidak-adilan terhadap penguasaan ekonomi, penguasaan tanah, alat produksi, akses pendidikan dan akses kesehatan, telah menghasilkan kemiskinan struktural yang sulit diselesaikan.
Meskipun pemerintah telah berupaya memberikan bermacam bantuan, sebagai bantalan sosial, dalam upaya pengentasan kemiskinan, melalui puluhan program kementerian dan badan. Tetapi pendekatan program yang bersifat karitatif dan kuratif tersebut, belum mengobati penyakit yang sesungguhnya. Bahkan jika angka subsidi dan bantalan sosial tersebut semakin membesar, akan semakin menjadi beban fiskal yang mengancam.
Karena persoalan yang sesungguhnya, dan paling mendasar adalah, kita sebagai bangsa telah kehilangan saluran dan sarana untuk membangun cita-cita bersama kita sebagai sebuah bangsa, melalui keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebab, tekad bersama memang hanya bisa dirajut melalui saluran dan sarana yang memberikan ruang kedaulatan kepada rakyat, sebagai pemilik negara ini. Dalam sebuah ikatan yang mampu menyatukan. Mampu memberikan keadilan. Dan mampu menjawab tantangan masa depan melalui jati diri bangsa ini.
Sebaliknya sistem bernegara hasil Amandemen Konstitusi di tahun 1999 hingga 2002 itu telah menghasilkan Sistem Politik yang mahal. Dan Sistem Politik yang mahal itu menghasilkan High-Class Economy, atau dengan kata lain, Oligarki Ekonomi untuk membiayai Sistem Politik yang mahal itu. Dan Oligarki itu kemudian mendikte Kebijakan dan Sistem Politik. Sehingga seperti lingkaran setan yang harus dipotong.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati, Tanggal 24 Juni yang lalu, saya bersama sejumlah Anggota DPD RI bertemu dengan Profesor Amien Rais. Yang pada saat Amandemen tahun 1999 hingga 2002 beliau menjadi Ketua MPR RI. Dalam pertemuan tersebut, Pak Amien mengaku menyesal, ternyata hasil Amandemen saat itu, terutama ketika melucuti peran MPR sebagai Lembaga Tertinggi yang diisi seluruh elemen rakyat, untuk menentukan arah perjalanan bangsa dan memilih presiden, telah menghasilkan situasi yang membuat rakyat Indonesia menjadi rakyat yang super pragmatis dalam memandang Pemilu.
Dalam benak Pak Amien saat itu, dengan pemilihan langsung, maka akan terpilih presiden yang legitimated. Dan akan lebih sulit untuk menyuap ratusan juta rakyat. Tetapi, faktanya sekarang ini, menurut beliau, yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat ternyata juga disuap. Sehingga selain membuat biaya demokrasi sangat-sangat mahal, juga telah membuat rakyat Indonesia pragmatis dan terpolarisasi.
Sehingga Pak Amien setuju agar bangsa ini mengembalikan MPR sebagai wadah yang utuh untuk menampung semua elemen bangsa, tanpa harus ada yang ditinggalkan. Tentu dengan melakukan koreksi dan atas apa yang terjadi di Era Orde Baru.
Karena itu, DPD RI memandang perlu ada Proposal Kenegaraan, sebagai bagian dari Penyempurnaan dan Penguatan Sistem Bernegara Rumusan Para Pendiri Bangsa. Sehingga kita menutup celah kelemahan, untuk menghindari penyimpangan yang terjadi di masa lalu.
Hal ini penting untuk dilakukan, karena situasi global yang tidak menentu akibat dari ketegangan geopolitik kawasan dan regional, serta ancaman disrupsi teknologi dan lingkungan, memaksa semua negara memperkuat posisinya masing-masing. Dengan memperkuat kedaulatannya, atas ketahanan pangan, energi dan lain-lain.
Untuk itu diperlukan langkah konkret dalam melakukan Kaji Ulang Konstitusi hasil Amandemen tahun 1999-2002 yang telah mengubah sistem bernegara Pancasila menjadi sistem bernegara yang liberal dan individualis untuk kita kembalikan kepada Pancasila sebagai identitas konstitusi kita.
Peta Jalannya adalah dengan membangun konsensus bersama untuk kita kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli, untuk kemudian kita lakukan Amandemen Ulang dengan Teknik Addendum. Karena secara teori, amandemen memang harus dilakukan dengan addendum. Sehingga tidak menghilangkan naskah asli. Seperti telah dilakukan 27 kali oleh Amerika Serikat dan 106 kali oleh India.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati, DPD RI telah menyiapkan suatu Kajian Akademik Proposal Kenegaraan sebagai materi Adendum dalam kita melakukan Penyempurnaan dan Penguatan Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli.
Selain mengadopsi apa yang menjadi tuntutan reformasi, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan menghapus KKN serta penegakan hukum dan HAM, ke-5 Proposal tersebut adalah:
1). Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya di-isi oleh mereka yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga di-isi oleh utusan-utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan. Sehingga benar-benar menjadi wadah yang utuh dari penjelmaan rakyat Indonesia, tanpa ada yang ditinggalkan.
2). Membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tidak hanya di-isi dari peserta pemilu dari unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas juga oleh perwakilan penduduk daerah yang berbasis provinsi. Sehingga anggota DPD RI, yang dipilih melalui Pemilu Legislatif, berada di dalam satu kamar di DPR RI, bersama anggota dari unsur partai politik.
3). Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh presiden, atau dipilih DPRD seperti yang terjadi di Era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang berbasis sejarah Negara-negara lama dan Bangsa-bangsa lama di kepulauan Nusantara, yaitu pewaris raja dan sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara. Sedangkan Utusan Golongan diutus dari Organisasi Sosial Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki sejarah dan bobot kontribusi bagi pemajuan Ideologi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.
4). Memberikan ruang pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR bersama pemerintah, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang bermakna atau public meaningful participation, dalam pembahasan Undang-Undang.
5). Menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.
Dengan demikian, Indonesia kembali menjadi Indonesia. Kembali ke Pancasila. Kembali menjalankan sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa, yang telah kita sempurnakan dan perkuat, untuk menjawab kebutuhan jaman, tanpa mengganti sistem bernegaranya.
Cita-cita hakiki dari lahirnya negara ini untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia harus dapat kita wujudkan dengan satu irama dan satu langkah, dalam persatuan.
Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Semoga ikhtiar kita untuk mewujudkan Indonesia yang lebih Adil, Makmur dan Sejahtera mendapat ridho dari Allah SWT.