Keynote Speech Ketua DPD RI
Forum Komunikasi dan Diseminasi
Program Kerja dengan Media Daerah
“Membedah Lima Proposal Kenegaraan DPD RI”
Cirebon, 21 September 2023
Bismillahirrohmannirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati dan banggakan; Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Pimpinan dan Anggota DPD RI serta Teman-Teman Wartawan yang saya hormati, Sebelum saya menyampaikan Lima Proposal Kenegaraan DPD RI yang menjadi tema dialog malam ini, terlebih dahulu saya akan menyampaikan secara garis besar, apa yang melatari lahirnya Proposal Kenegaraan tersebut.
Pertama, adalah upaya penguatan peran dan fungsi Lembaga DPD RI telah tuntas dilakukan pada tahun 2012 yang lalu, di masa kepemimpinan Pak Irman Gusman, dengan keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, yang pada intinya memberikan kewenangan yang lebih kuat kepada DPD RI untuk membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan daerah, seperti diatur dalam Pasal 22D Ayat (2) Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan Frasa Kalimat; ‘Ikut Membahas’ di dalam Pasal 22D Ayat (2) itu dapat diterjemahkan sebagai wewenang untuk ikut membahas sampai menjadi Undang-Undang bersama DPR dan Presiden.
Tetapi karena di Pasal 20 Ayat (1) Konstitusi menyebutkan; ‘Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang’. Maka, Putusan MK tersebut sampai detik ini tidak pernah diakomodasi di dalam Undang-Undang MD3 dan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kedua, upaya untuk melakukan Amandemen ke-V juga telah dilakukan. Bahkan DPD RI telah menyusun naskah akademik penguatan terkait hal tersebut. Tetapi upaya tersebut juga gagal diwujudkan.
Nah, sekarang kami menempuh upaya ketiga. Dengan latar belakang bukan untuk kepentingan DPD RI saja, tetapi lebih luas dari itu; yaitu untuk kepentingan agar bangsa dan negara ini dapat mempercepat mewujudkan cita-cita dan tujuan lahirnya negara ini. Apalagi Indonesia akan menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks akibat perubahan situasi global.
Ikhtiar ketiga ini juga untuk menjawab hasil temuan dan aspirasi yang kami dapat di 34 Provinsi dan hampir di seluruh Kabupaten dan Kota di Indonesia, dimana persoalan yang dihadapi daerah dapat disimpulkan sama. Yaitu; Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat di daerah, dan kemiskinan struktural yang sulit dientaskan.
Dimana setelah kami telaah, akar persoalannya adalah Konstitusi hasil Perubahan di tahun 1999 hingga 2002 silam menyisakan masalah yang sangat fundamental. Hal ini juga sesuai dengan temuan Komisi Konstitusi yang dibentuk MPR pada tahun 2002, dan hasil kajian akademik Pusat Studi Pancasila di UGM.
Yaitu; Undang-Undang Dasar hasil Amandemen tersebut telah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi dan meninggalkan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi. Inilah persoalan sebenarnya, yang membuat bangsa dan negara ini semakin individualis dan ekonominya semakin kapitalis, sehingga jurang ketimpangan semakin tinggi.
Jalan keluarnya tentu kita harus kembali kepada Pancasila. Karena bangsa ini nyatanya masih bersepakat bahwa Pancasila adalah Falsafah Dasar bangsa dan negara ini.
Bagaimana wujud dari kembali kepada Pancasila itu? Tentu dengan mengembalikan Konstitusi Negara ini kepada rumusan para pendiri bangsa.
Sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa, jelas secara terang benderang berazaskan Pancasila. Sehingga Sistem Bernegara yang dipilih adalah Sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh komponen bangsa. Sehingga kedaulatan rakyat secara utuh berada di Lembaga Tertinggi Negara.
Para pendiri bangsa sama sekali tidak mengadopsi sistem barat. Meskipun teori-teori Penguatan Presidensial dan Trias Politica terus dikampanyekan sebagai sistem terbaik dalam demokrasi. Karena pendiri bangsa sudah membahas secara tuntas, bahwa Demokrasi Pancasila, sebagai Sistem Tersendiri, adalah sistem yang paling sesuai dengan negara Super Majemuk seperti Indonesia. Negara kepulauan yang jarak bentangnya sama dengan beberapa negara di Eropa.
Atas kesadaran tersebut, kami di DPD RI membahas, hasil temuan dan aspirasi yang kami terima, sehingga kami pada akhirnya bersepakat untuk menawarkan gagasan perbaikan Indonesia, demi Indonesia yang lebih kuat, yang lebih bermartabat, yang lebih berdaulat dengan cara kembali menerapkan sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa.
Kami juga menyadari, bahwa terdapat kelemahan di dalam sistem tersebut. Karena sistem tersebut dilahirkan dalam suasana yang mendesak dan revolusioner pada saat itu.
Maka, kami menawarkan penyempurnaan dan penguatansistem tersebut. Bukan penggantian sistem bernegara, seperti yang terjadi di dalam Amandemen tahun 1999 hingga 2002.
Sehingga, Proposal Kenegaraan DPD RI berbunyi; ‘Penyempurnaan dan Penguatan Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa’. Sehingga kita tidak membuka ruang untuk penyimpangan praktek dari nilai-nilai tersebut, seperti pernah terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.
Pimpinan dan Anggota DPD RI serta Teman-Teman Wartawan yang saya hormati, Selain mengadopsi apa yang menjadi tuntutan reformasi, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan menghapus KKN serta penegakan hukum dan HAM, ke-5 proposal penyempurnaan dan penguatan azas dan sistem bernegara Pancasila yang kami tawarkan adalah sebagai berikut:
1). Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya di-isi oleh mereka yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga di-isi oleh utusan-utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan.
2). Membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tidak hanya di-isi dari peserta pemilu dari unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas juga oleh perwakilan penduduk daerah yang berbasis provinsi. Sehingga anggota DPD RI, yang juga dipilih melalui Pemilu Legislatif, berada di dalam satu kamar di DPR RI, sebagai bagian dari pembentuk Undang-Undang.
3). Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh presiden, atau dipilih DPRD seperti yang terjadi di Era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang berbasis sejarah Negara-negara lama dan Bangsa-bangsa lama di kepulauan Nusantara, yaitu raja dan sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara. Dan Utusan Golongan yang bersumber dari Organisasi Sosial Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki sejarah dan bobot kontribusi bagi pemajuan Ideologi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.
4). Memberikan wewenang untuk pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang utuh dalam pembahasan Undang-Undang di DPR.
5). Menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.
Itulah 5 proposal yang kami tawarkan berdasarkan hasil serap aspirasi kami di seluruh penjuru tanah air.
Khusus terhadap Proposal kedua, dimana Kamar DPR RI, sebagai pembentuk Undang-Undang agar dibuka peluang bagi peserta pemilu dari Unsur Perseorangan, sebenarnya bukan gagasan baru.
Dunia Internasional juga sudah melakukan hal itu. Termasuk 12 Negara di Eropa dan yang terbaru adalah Afrika Selatan, yang membuka pintu kamar DPR tidak hanya dari unsur peserta pemilu dari anggota Partai Politik saja. Tetapi juga perseorangan berbasis wilayah atau provinsi.
Sehingga Undang-Undang yang dihasilkan, yang mengikat secara hukum kepada seluruh warga negara tidak hanya dibuat oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga oleh keterwakilan masyarakat non-partisan atau people representative.
Karena faktanya di Indonesia, anggota DPR dari partai politik dalam mengambil keputusan masih sangat didominasi oleh arahan Ketua Umum Partai. Sehingga sangat tidak adil, bila penduduk Indonesia yang berjumlah 275 juta jiwa ini menyerahkan kepatuhan hukum atas Undang-Undang yang dibentuk atas arahan Ketua Umum Partai yang mempunyai anggota di DPR.
Itulah mengapa, anggota DPD RI, yang juga peserta pemilu dari unsur perseorangan yang berbasis Provinsi secara merata, harus berada di dalam Kamar DPR RI, sebagai bagian dari mekanisme check and balances yang utuh. Sekaligus sebagai bagian dari suara provinsi dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Rote.
Hal ini berbeda dengan Utusan Daerah di MPR. Karena Utusan Daerah di MPR bukan pembentuk Undang-Undang. Dan mereka harus di-isi dengan mekanisme utusan, bukan Pemilu, dengan latar belakang atau basis unsur dari Bangsa-Bangsa Lama dan Negara-Negara Lama yang sudah ada di Nusantara ini sebelum Indonesia merdeka. Yaitu penerus Raja dan Sultan Nusantara serta Masyarakat Adat dan Penduduk Asli Nusantara.
Inilah gambaran yang perlu saya sampaikan. Yang nantinya akan diperjelas dalam dialog bersama para Pimpinan DPD RI.
Sebelum saya akhiri, yang terpenting adalah, kita semua harus membangun kesadaran kolektif bahwa Indonesia punya pekerjaan besar. Untuk mewujudkan saluran dan sarana untuk membangun cita-cita bersama kita. Dalam sebuah ikatan yang mampu menyatukan. Mampu memberikan rasa keadilan. Dan mampu menjawab tantangan masa depan melalui jati diri bangsa ini.
Kita semua harus mendorong MPR dan semua Lembaga Negara serta institusi TNI dan Polri, termasuk organisasi-organisasi masyarakat serta keagamaan dan partai-partai politik, untuk bersama-sama membangun Konsensus Nasional guna mewujudkan hal tersebut.
Sehingga bangsa ini kembali ke Fitra Negara Pancasila dengan jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, untuk kemudian secara bersama kita lakukan Amandemen dengan Teknik Adendum.
Di sinilah peran penting para wartawan untuk meresonansikan gagasan demi Indonesia yang lebih baik ini kepada seluruh elemen bangsa.
Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Dan dengan mengucap Bismillahirrohmannirrohim, Dialog “Membedah Lima Proposal Kenegaraan DPD RI” saya nyatakan dibuka.