Jakarta, 30 September 2023
Bismillahirrohmannirrohim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Salam Justicia.
Yang saya hormati dan banggakan;
1. Pendiri Komunitas Tanya-Tanya Hukum, Saudari Sifra Panggabean dan Saudara Praditha Hasugian
2. Dewan Juri Kompetisi Esai Hukum Tata Negara, Saudara Indra Perwira dan Saudari Maria Prisila
3. Para Peserta Kompetisi Nasional Esai Hukum Tata Negara dimanapun Anda berada.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sebelum menyampaikan keynote speech ini, ijinkan saya mengajak saudara sekalian untuk mengheningkan cipta terlebih dahulu, sebagai bagian dari penghormatan dan doa kita, kepada para Pahlawan Revolusi yang gugur pada tanggal 30 September 1965 dalam peristiwa aksi bersenjata dan pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia. Mengeningkan Cipta mulai…. Selesai.
Saudara-saudara Pegiat Justicia yang saya banggakan,
Tema yang dimintakan kepada saya pada acara ini adalah; “Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan dalam Penyelenggaraan Pemilu yang Aspiratif dan Demokratis di Indonesia”.
Saya akan membahas tema tersebut dari perspektif yang mendasar, yaitu demokrasi sebagai salah satu pilihan sistem bernegara. Sebab, menurut saya ini penting untuk dipahami secara utuh terlebih dahulu. Sehingga kita bisa melihat secara jernih sistem demokrasi yang dirumuskan para pendiri bangsa, dengan demokrasi yang berlangsung saat ini di Indonesia.
Pertama adalah kita perlu mengetahui apa itu hakikat demokrasi. Hakikat demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Demokrasi memberi ruang dan saluran bagi warga negara untuk ikut serta —baik secara langsung atau melalui perwakilan— dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.
Dari penjelasan hakikat itu, ada dua kalimat penting yang perlu dicatat. Pertama, memberi ruang dan saluran kepada warga negara. Kedua, bisa secara langsung atau perwakilan.
Artinya, sistem demokrasi itu harus ada ruang atau saluran yang utuh bagi rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk menentukan arah perjalanan bangsa dan negaranya. Dan bisa dilakukan melalui perwakilan. Tidak harus secara langsung.
Kedua, kita bahas makna demokrasi. Yaitu demokrasi adalah suatu mekanisme yang memberi ruang kepada rakyat untuk menentukan kehidupannya. Karena itu, rakyat diberi ruang untuk menilai kebijakan negara. Karena kebijakan negara tersebut akan menentukan kehidupan rakyat.
Jadi terdapat mekanisme kontrol dan check and balances dari pemilik kedaulatan, yaitu rakyat terhadap negara sebagai pembuat kebijakan.
Yang ketiga, tentang Pemilu. Dalam sistem demokrasi, Pemilu menjadi salah satu bentuk penerapan dari sistem demokrasi. Karena dalam Pemilu rakyat dapat menggunakan suaranya, melaksanakan hak politiknya dan menentukan pilihannya secara langsung dan bebas.
Nah dari sini bisa mulai kita bahas, apa perbedaan mendasar antara sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa kita, yang kita kenal dengan istilah Demokrasi Pancasila, dengan sistem bernegara yang digagas negara-negara barat, yang dikenal dengan istilah demokrasi liberal, yang sekarang diterapkan di Indonesia.
Para pendiri bangsa sudah bersepakat, bahwa sistem demokrasi yang paling tepat untuk Indonesia, sebagai negara super majemuk dan negara kepulauan yang terpisah-pisah oleh lautan adalah sistem demokrasi perwakilan.
Bahkan, pendiri bangsa menemukan satu sistem tersendiri, tidak hanya demokrasi perwakilan saja, tetapi juga demokrasi utusan. Sehingga sistem Demokrasi Pancasila itu adalah sistem demokrasi Perwakilan dan Utusan.
Dimana rakyat sebagai pemilik kedaulatan tidak hanya mewakilkan kepada yang mereka pilih melalui Pemilu saja, tetapi ada ruang dan saluran bagi komponen bangsa yang melalui Utusan.
Sehingga di dalam sistem Demokrasi Pancasila ditandai dengan adanya Lembaga Tertinggi Negara sebagai penjelmaan rakyat, yang di-isi melalui Pemilu dan Utusan. Itulah yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dimana di dalamnya terdapat unsur DPR yang dipilih melalui Pemilu, dan unsur Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang diutus dari masing-masing kelompok.
Sehingga ciri utama dari sistem Demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa menjelma berada di dalam Lembaga Tertinggi Negara. Sehingga disebut sebagai Sistem Tersendiri. Yaitu menjadi sistem yang berkecukupan. Sistem yang utuh.
Sistem Demokrasi seperti itu secara prinsip menjamin Hakikat dan Makna serta Tujuan dari Demokrasi. Karena, semua unsur rakyat sebagai pemilik kedaulatan, duduk di dalam ruang tata negara yang memiliki saluran untuk ikut menentukan arah dan perjalanan bangsa dan negara.
Karena MPR sebagai lembaga tertinggi negara menyusun Haluan Negara, lalu memilih Presiden sebagai pelaksana Haluan Negara, sekaligus mengevaluasi kinerja presiden dalam mewujudkan Haluan Negara tersebut.
Hal ini sangat penting dipahami, karena pada hakikatnya, Haluan Negara itu adalah pernyataan kehendak rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Bukan kehendak presiden. Karena memang presiden tidak boleh suka-suka membuat kehendak. Karena dia bukan pemilik kedaulatan. Yang menjadi pemilik kedaulatan adalah rakyat. Itulah Demokrasi. Kekuasaan di tangan rakyat. Bukan di tangan presiden.
Nah lalu bagaimana dengan Sistem Demokrasi yang sekarang diterapkan di Indonesia. Hasil dari Era Reformasi 20 tahun yang lalu. Hasil dari teori-teori Barat tentang Tata Negara yang disebarluaskan di kampus-kampus dan buku-buku yang menjadi bacaan mahasiswa kita.
Saat ini, di Indonesia kedaulatan bukan di tangan rakyat. Karena pelaksana kedaulatan adalah Partai Politik dan Presiden terpilih. Itu faktanya. Karena rakyat menyerahkan total kedaulatan tersebut melalui Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Langsung.
Sehingga Partai Politik dan Presiden, masing-masing memegang kedaulatannya sendiri. Bahkan Partai Politik menjadi sangat dominan, karena mereka yang mengusung dan memilih calon presiden, untuk disodorkan kepada rakyat.
Akibatnya, Presiden terpilih akan menjalin koalisi dengan Partai Politik. Dengan cara, bagi-bagi jabatan dan kekuasaan.
Lalu jika partai politik dan presiden terpilih menjalin koalisi mayoritas, maka apapun yang mereka kehendaki pasti akan terlaksana. Karena partai politik melalui anggota DPR adalah pemagang kekuasaan pembentuk Undang-Undang.
Jadi kalau Presiden menginginkan payung hukum Undang-Undang untuk memaksa seara hukum kepada seluruh rakyat Indonesia, tinggal diproses di Senayan, disepakati partai politik, maka selesai sudah arah perjalanan bangsa ini hanya ditentukan oleh Presiden Terpilih dan Ketua-Ketua Partai.
Dimana ruang rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa? Tidak ada lagi. Karena memang tidak ada lembaga tertinggi lagi. MPR bukan lagi lembaga tertinggi. Sudah tidak ada lagi Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
Semua berada di tangan Partai Politik. Dimana di dalam Undang-Undang Partai Politik, mereka diberi ruang untuk memperjuangkan kepentingan Partainya masing-masing.
Rakyat yang tidak setuju terhadap produk Undang-Undang hanya diberi ruang untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Dimana komposisi Hakim MK terdiri dari pilihan presiden dan pilihan partai politik. Dengan keputusan yang bersifat final dan mengikat.
Memang faktanya ada Dewan Perwakilan Daerah. Tetapi DPD di Indonesia bukan pembentuk Undang-Undang dan tidak memiliki kewenangan seperti Senat dalam sistem Kongres di Amerika Serikat atau Inggris dan Australia. Karena memang Indonesia bukan negara federal.
Jadi, kekacauan tata negara Indonesia ini sebenarnya bermula saat bangsa ini melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam.
Hasil dari perubahan itu, telah mengubah 95 persen isi dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar naskah asli yang dirumuskan para pendiri bangsa. Undang-Undang Dasar hasil perubahan yang mulai dijalankan tahun 2002 silam itu telah meninggalkan total sistem bernegara Demokrasi Pancasila. Karena faktanya, pasal-pasal yang ada justru mencerminkan ideologi lain, yaitu Ideologi Liberalisme dan Individualisme. Sehingga ekonomi Indonesia perlahan tapi pasti menjadi Kapitalistik.
Sehingga segelintir orang, dapat menguasai dan menguras kekayaan alam Indonesia. Sementara ratusan juta rakyat hanya jadi penonton. Ketidakadilan inilah yang menjadi salah satu faktor penyumbang kemiskinan struktural.
Dan ironisnya, jumlah hutang pemerintah melesat jauh meningkat sejak awal tahun 2000 hingga hari ini. Bahkan tahun 2023 ini, pemerintah menambah hutang lagi sekitar 700 trilyun rupiah. Artinya di akhir tahun 2023 nanti, hutang pemerintah akan menembus angka 8.000 trilyun rupiah. Dan di tahun 2024 nanti akan hutang lagi sekitar 600 trilyun rupiah.
Dan rakyat Indonesia, sebagai pemilik negara ini tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kedaulatan rakyat sudah diberikan menjadi kedaulatan Partai Politik di DPR RI, dan kedaulatan Presiden melalui Pilpres Langsung.
Dan hingga saat ini kita semakin merasakan pembelahan bangsa ini akibat Pilpres Langsung. Karena rakyat yang tidak setuju atau melakukan kritik terhadap kebijakan Presiden, dihadapi oleh rakyat yang mengaku sebagai pendukung atau relawan Presiden. Ini sungguh bukan Demokrasi yang sehat. Karena itu wajar, jika lembaga internasional seperti The Economist Institute memberi nilai Demokrasi Indonesia sebagai demokrasi yang cacat atau buruk.
Jadi, sistem mana yang lebih sempurna dalam memastikan terwujudnya saluran dan ruang bagi rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini.
Apakah sistem Demokrasi Pancasila, yang di dalam Lembaga Tertinggi terdapat Perwakilan Rakyat dan Utusan-Utusan Rakyat yang lengkap. Atau Sistem Demokrasi ala Barat yang saat ini kita jalankan?
Silakan dijawab dengan nalar berpikir dan asumsi yang benar. Karena dengan asumsi yang salah, kita akan terjebak dalam kesalahan berpikir.
Dan perlu dicatat di sini, bahwa perubahan Konstitusi di Era Reformasi tersebut didasarkan atas penyederhanaan pandangan dan penyederhaan asumsi, bahwa Sistem Demokrasi Pancasila adalah Sistem Orde Baru. Padahal, Sistem Bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa, sama sekali belum pernah secara benar diterapkan, baik di Era Orde Lama, maupun Orde Baru.
Karena itu, saya mengajak kita semua membangun kesadaran kolektif kita sebagai bangsa. Untuk kembali ke Pancasila. Kita kembalikan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi dan Identitas Konstitusi kita.
Kita dorong semua elemen bangsa, agar terwujud Konsensus Nasional, untuk kita kembali menerapkan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945, untuk kemudian kita sempurnakan dan perkuat melalui Amandemen dengan Teknik Adendum, tanpa mengganti Sistem Bernegara yang bermuara kepada Penjelmaan Rakyat di dalam MPR sebagai Pelaksana Kedaulatan.
Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Semoga ikhtiar yang kita niatkan untuk Indonesia yang lebih baik, mendapat ridho dari Allah SWT, sehingga menjadi amal jariyah bagi kita semua.
Wabillahi Taufiq wal Hidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ketua DPD RI
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti