Minggu, Oktober 13, 2024

Keynote Speech Ketua DPD RI Kongres ke-2 Umat Islam Sumatera Utara Membangun Ukhuwah, Melawan Islamophobia, Menata Ulang Indonesia

Loading

Medan, 26 Agustus 2022

Bismillahirrohmannirrohim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera untuk kita semua.

Yang saya hormati dan banggakan;

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.

Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.

Saya sampaikan terima kasih kepada Panitia, yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam acara “Kongres ke-2 Umat Islam Sumatera Utara” yang diselenggarakan pada hari ini.

Tema yang diberikan kepada saya juga sangat up-todate, yaitu; “Membangun Ukhuwah, Melawan Islamophobia, dan Menata Ulang Indonesia”. Semoga dari pembahasan tema ini dapat mempertajam rekomendasi dan program kerja yang dihasilkan dalam Kongres ke-2 ini.

Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati,
Kontribusi umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Sangat besar dan tercatat dalam sejarah. Bahkan saya katakan, umat Islam sejatinya adalah pemegang saham terbesar di republik ini.

Pekan lalu, saya diundang untuk menyampaikan keynote speech di Sarasehan Kebangsaan ke-2, Pimpinan Pusat Syarikat Islam di Jakarta. Saya sampaikan, orang yang pertama kali, secara terbuka di ruang publik menyampaikan perlunya Indonesia merdeka adalah tokoh muslim, Haji Omar Said Tjokroaminoto. Tepatnya pada bulan Juni 1916. Jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan.

Begitu pula para pendiri bangsa kita. Ada nama-nama ulama besar di dalamnya. Bahkan mereka juga yang terlibat aktif dalam perumusan Norma Hukum Tertinggi negara ini, yaitu Pancasila.

Mereka juga terlibat aktif di dalam BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, hingga Menyusun Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 dan Penjelasannya, yang merupakan penjabaran dari Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi negara ini.

Sebut saja Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakir, KH Wahid Hasyim, Teuku Muhammad Hasan, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, dan lain-lain.

Bahkan dalam peristiwa mempertahankan Kemerdekaan, sejarah Indonesia tidak terlepas dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan Rois Akbar PBNU, Hadratus Syeikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di Surabaya pada 22 Oktober 1945, sehingga meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenal sebagai hari Pahlawan di Kota Surabaya. Dimana teriakan atau pekik dari Bung Tomo, yaitu kalimat; Allahu Akbar, menjadi bahan bakar semangat para pejuang saat itu.

Sehingga dapat disimpulkan, hampir semua aktor-aktor peristiwa pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan adalah mayoritas beragama Islam. Tentu tanpa mengurangi peran besar dari tokoh-tokoh non-muslim yang juga tercatat dalam sejarah. 

Sehingga sangat tidak masuk akal bila belakangan ini Indonesia dilanda gejala terjadinya Islamophobia.

Jadi pertanyaannya? Mengapa fenomena Islamophobia ini belakangan semakin menguat terjadi di Indonesia? Selain faktor Geopolitik Internasional, saya akan mencoba membedah faktor di dalam negeri.

Menurut saya ada tiga persoalan mendasar di dalam negeri kita yang memicu meningkatnya Islamophobia di Indonesia.

Pertama; karena kita sebagai bangsa telah terpolarisasi. Potensi konflik antar kelompok masyarakat sebenarnya terjadi sejak era kontestasi pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung yang disertai dengan Ambang Batas pencalonan.

Kita semua pasti mengenal istilah Presidential Threshold. Di sinilah akar masalahnya. Karena akibat aturan ambang batas inilah, pasangan calon yang dihasilkan terbukti sangat terbatas.

Celakanya, dari dua kali Pemilihan Presiden, negara ini hanya mampu menghasilkan dua pasang calon, yang head to head. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam.

Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.

Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan Vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam.

Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.

Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.

Sehingga muncul istilah kampret, cebong, kadrun, radikal dan lain sebagainya. Sungguh sangat tidak sehat untuk sebuah proses perjalanan politik sebuah bangsa.

Faktor kedua adalah semangat membangun kebhinekaan dilakukan dengan kampanye Moderasi Agama yang tidak tepat sasaran. Seolah Agama harus secara massif dan dipaksa untuk dimoderatkan. Tetapi yang menjadi sasaran pembahasan selalu Islam.

Islam seolah menjadi tertuduh sebagai penyebab kemunduran dalam hal kemampuan mengelola perbedaan dan keberagaman, akibat pemahaman agama yang cenderung tekstual dan ekslusif.

Narasi-narasi seperti ini secara tidak langsung justru memicu menguatnya Politik Identitas, sebagai reaksi alami dari bentuk ketidaksetujuan terhadap konsep Moderasi Agama yang menyudutkan Islam tersebut.

Faktor ketiga adalah Perubahan atas Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 hingga 2002 silam, yang telah mengubah 95 persen isi Pasal-Pasal di dalamnya, sehingga tidak nyambung lagi dengan Pancasila. Bahkan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli dihapus total.

Sehingga Pasal-Pasal dalam Konstitusi baru tersebut justru menjabarkan Ideologi lain; yaitu Ideologi Individualisme dan Liberalisme. Karena itu tidak mengherankan jika belakangan ini Kapitalisme dan Sekulerisme semakin menguat di Indonesia.

Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena Penghilangan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi dilakukan secara “malu-malu tapi mau”, atau “malu-malu kucing”.

Termasuk perubahan Pasal 6 UUD 1945 naskah asli yang menyebutkan: Presiden ialah Orang Indonesia Asli telah diganti dengan menghapus kata ‘Asli’.

Sehingga kita membuka peluang bagi para pendatang asing untuk menguasai tiga sektor strategis; yaitu kuasai perekonomiannya. Kuasai politiknya, dan terakhir, kuasai Presiden atau Wakil Presidennya. Dan Indonesia akan mengulang sejarah yang terjadi di Singapura di masa lalu.

Karena itu, saat pertemuan Ketua Lembaga Negara dengan Presiden Joko Widodo pada hari Jumat 12 Agustus lalu, saya minta Presiden, selaku Kepala Negara untuk meratifikasi keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Melawan Islamophobia.

Saya minta Indonesia juga secara resmi menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari melawan Islamophobia.

Karena jelas, Negara ini berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti tertulis di Pasal 29 Ayat 1 Konstitusi kita.

Bahkan di Ayat 2 tertulis dengan sangat jelas; ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’.

Makna dari kalimat Ayat 2 itu jelas, bahwa beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu dijamin negara.

Artinya, kalau ada umat Islam yang menjalankan Sunnah Nabinya dengan memelihara jenggot, itu wajib dijamin oleh negara sebagai kemerdekaan atas pilihannya. Bukan malah distigma Teroris atau belakangan ini malah disebut Kadrun dan Radikal. Ini salah satu dari sekian banyak fenomena Islamophobia di Indonesia.

Dan harus diingat, bahwa Pancasila menempatkan kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ di dalam Sila Pertama, sebagai payung hukum spirit teologis dan kosmologis dalam menjalankan negara ini.

Sehingga sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada spirit Ketuhanan. Sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral serta spirit agama.

Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas, kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral serta spirit agama. Yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar Pancasila dan Konstitusi.

Sama halnya dengan kekuasaan yang didapatkan dari kecurangan dan kebohongan, jelas bertentangan dengan nilai-nilai agama. Sehingga pada akhirnya hanya akan menghasilkan kekacauan demi kekacauan dan murka Allah SWT. Seperti telah dicontohkan di dalam sejarah umat terdahulu.

Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati,
Jadi, bila disimpulkan, para pendiri bangsa ini sebenarnya sudah berpikir jauh ke depan. Dengan pikiran luhurnya, untuk menyiapkan negara ini sebagai negara yang berketuhanan. Sehingga mampu menjaga marwah rakyat Indonesia yang juga berketuhanan. Sehingga propaganda Islamophobia sudah seharusnya tidak bisa tumbuh subur di negeri ini.   

Sebagai umat yang memiliki andil besar lahirnya bangsa dan negara ini, maka sudah seharusnya Umat Islam kritis melihat dan mengamati arah perjalanan bangsa ini.

Untuk itu, Umat Islam harus kritis terhadap sejumlah fenomena paradoksal yang terjadi di tengah-tengah kita. Baik itu soal pembangunan, hingga ketidakadilan ekonomi dan kemiskinan strukural akibat ketidakadilan tersebut.

Pembangunan haruslah menjadi Pembangunan Indonesia. Bukan sekedar Pembangunan “di” Indonesia. Begitu pula Daulat Rakyat, tidak boleh digantikan menjadi Daulat Pasar. Karena Ekonomi harus disusun untuk kepentingan bersama. Bukan dibiarkan tersusun oleh mekanisme pasar.

Oligarki Ekonomi yang semakin membesar pasti menimbulkan ketidakadilan. Dan ketidakadilan menyumbang kemiskinan struktural. Dan ketidakadilan yang melampaui batas, adalah awal dari datangnya musibah dan bencana.

Umat Islam juga harus kritis terhadap konsep dan kebijakan Pendidikan Nasional bangsa ini. Dimana mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai cita-cita negara ini, bukanlah sekedar mencerdaskan otak, tetapi mencerdaskan kehidupan. Yang artinya mencerdaskan kemanusian secara utuh. Termasuk moral dan akhlak.

Tanpa budi pekerti, tanpa nasionalisme, dan tanpa ideologi serta ilmu agama, kita hanya akan menghasilkan generasi yang akan menjadi lawan kita di masa depan.

Untuk itu kita harus kembali membuka sejarah. Membaca pemikiran-pemikiran luhur para pendiri bangsa. Membaca ulang Pancasila yang hari ini sudah ditinggalkan.

Kita harus membaca kembali watak dasar dan DNA Asli Sistem Demokrasi bangsa ini. Dimana para pendiri bangsa telah sepakat menggunakan Sistem Syuro. Sistem yang sebenarnya diadopsi dari sistem yang sudah sangat dikenal dalam ajaran Islam.

Yaitu kedaulatan rakyat yang diberikan kepada para hikmat yang duduk di Lembaga Tertinggi Negara sebagai penjelmaan dari seleruh elemen rakyat sebagai pemilik sah bangsa dan negara. Dimana di dalamnya bukan saja diisi oleh politisi dari Partai Politik. Tetapi juga ada Utusan dari seluruh Daerah dan Utusan Golongan-Golongan yang lengkap.

Sehingga sistem ini adalah sistem yang berkecukupan. Tanpa ada yang ditinggalkan. Dan sistem yang paling sesuai untuk negara kepulauan dan negara yang super majemuk ini.

Karena sistem Demokrasi Pancasila bukanlah sistem Liberal di Barat. Bukan pula sistem Komunisme di Timur. Karena itu kita tidak menghadapkan wajah ke barat dan ke timur. Tetapi kita memiliki Sistem Tersendiri. Sistem yang paling sesuai dengan watak dasar dan jati diri bangsa Indonesia.

Oleh karena itu saya sekarang berkampanye untuk menata ulang Indonesia demi menghadapi tantangan masa depan yang akan semakin berat. Kita harus kembali menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri dan berdikari.

Untuk itu kita harus kembali kepada Pancasila. Agar kita tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akar bangsanya. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tidak memiliki jati diri dan karakter.

Saya mengajak semua elemen bangsa ini untuk berpikir dalam kerangka Negarawan. Marilah kita ingat pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang darahnya meresap di bumi ini. Di tanah yang kita injak ini.

Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staats fundamental norm.

Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli mutlak harus kita sempurnakan. Agar kita tidak mengulang penyimpangan praktek yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Karena kita harus selalu belajar dari sejarah.

Marilah kita satukan tekad untuk mengakhiri polarisasi bangsa ini dengan kesadaran. Dengan kembali bergandengan tangan. Merajut masa depan dengan menjadi bangsa yang besar. Karena bangsa ini telah diberkahi dengan kekayaan sumber daya alam oleh Allah SWT.

Sehingga Ukhuwah Islamiah masih harus diperjuangkan dan mutlak untuk terus diperjuangkan. Karena sejatinya, Ukhuwah Islamiah di dalam falsafah Pancasila adalah bagian dari Azas Kekeluargaan.

Marilah kita letakkan ego kita masing-masing. Karena kita semua tidak akan abadi hidup di dunia ini. Semua akan meninggalkan dunia ini. Semua akan dimintai pertanggungjawaban.

Marilah kita hentikan kerusakan yang terjadi. Marilah kita hentikan ketidakadilan yang melampaui batas. Karena ketidakadilan yang melampaui batas itu telah nyata-nyata membuat jutaan rakyat, sebagai pemilik sah kedaulatan negara ini menjadi sengsara.

Dan Allah SWT tidak suka terhadap hamba-Nya yang melampaui batas. Semoga sifat Rahman dan Rahim Allah SWT menjadikan bangsa ini terhindar dari azab seperti yang ditimpakan kepada bangsa atau kaum terdahulu.

Akhir kata, semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk jalan yang lurus, memberikan rahmat dan hidayah kepada kita semua. Amiin yaa robbal alamiin.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Ketua DPD RI


AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Foto Terkait

LaNyalla Sebut Tiga Persoalan Mendasar Picu Islamophobia di Indonesia
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti Menjadi Pembicara Dalam Acara Kongres Umat Islam Ke-2 Umat Islam Sumatera Utara

Berita Foto Terkait

Video Terkait

Pidato Terkait