Keynote Speech Ketua DPD RI
Seminar Nasional
Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia
Kerjasama
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
“Penyempurnaan dan Penguatan
Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa”
Jakarta, 26 September 2023
Bismillahirrohmannirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati dan banggakan; Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Bapak Ibu para Hadirin Anggota Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia yang saya banggakan, Sebagai cendekiawan, sudah barang tentu Bapak Ibu Saudara mengetahui secara persis apa yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 silam, dimana bangsa ini telah melakukan perubahan Konstitusi dengan sangat fundamental. Karena pada saat itu, yang diubah adalah sistem bernegara Indonesia.
Dari awalnya Sistem Tersendiri, yaitu Demokrasi Pancasila yang bermuara kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai Lembaga Penjelmanaan Rakyat, sekaligus pemegang Kedaulatan Rakyat, diubah menjadi Sistem Demokrasi Presidensial dengan pendekatan Trias Politica.
Akibatnya, Kedaulatan Rakyat tidak lagi berada di Lembaga Tertinggi yang merupakan Penjelmaan Rakyat yang utuh, tetapi kita serahkan kepada Partai Politik dan Presiden Terpilih.
Sistem Bernegara ala Barat tersebut sebenarnya juga tak lepas dari campur tangan para Doktor dan Cendekiawan yang ada di negeri ini. Karena sebagian dari yang mendorong perubahan fundamental sistem bernegara Indonesia saat itu adalah mereka-mereka yang juga bergelar Doktor. Yang menganggap penguatan Sistem Presidensial adalah sistem demokrasi terbaik.
Pendapat tersebut didasarkan atas penyederhanaan pandangan, bahwa Sistem Demokrasi Pancasila adalah Sistem Orde Baru. Padahal, Sistem Bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa, sama sekali belum pernah secara benar diterapkan, baik di Era Orde Lama, maupun Orde Baru.
Tapi kita sudah buru-buru memvonis dan kemudian mengubur sistem rumusan pendiri bangsa tersebut, tanpa menyadari akibatnya yang luar biasa fundamental. Yaitu; kita secara sengaja telah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi dan Identitas Konstitusi.
Sehingga, sejak Reformasi, Konstitusi bangsa dan negara ini berjalan tanpa Falsafah Dasar yang kita anut dan kita peringati setiap tahun. Hal ini bukan saja paradoksal. Tetapi sangat ironis untuk sebuah bangsa dan negara. Sehingga jangan heran bila kita menemukan semakin banyak keganjilan dan ketimpangan dalam perjalanan bangsa dan negara ini.
Bapak Ibu para Hadirin Anggota Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia yang saya banggakan, Sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa, jelas secara terang benderang berazaskan Pancasila. Sehingga Sistem Bernegara yang dipilih adalah Sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh komponen bangsa. Sehingga kedaulatan rakyat secara utuh berada di Lembaga Tertinggi Negara.
Para pendiri bangsa sama sekali tidak mengadopsi sistem Barat. Meskipun teori-teori Penguatan Sistem Presidensial dan Trias Politica terus dikampanyekan sebagai sistem terbaik dalam demokrasi. Karena para pendiri bangsa sudah membahas secara tuntas, bahwa Demokrasi Pancasila, sebagai Sistem Tersendiri, adalah sistem yang paling sesuai dengan negara Super Majemuk seperti Indonesia. Negara kepulauan yang jarak bentangnya sama dengan beberapa negara di Eropa.
Atas kesadaran tersebut, kami di DPD RI membahas, hasil temuan dan aspirasi yang kami terima, sehingga kami pada akhirnya bersepakat untuk menawarkan gagasan perbaikan Indonesia, demi Indonesia yang lebih kuat, yang lebih bermartabat, yang lebih berdaulat dengan cara kembali menerapkan sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa.
Kami juga menyadari, bahwa sistem bernegara rumusan pendiri bangsa tersebut terdapat beberapa kelemahan. Karena sistem tersebut dilahirkan dalam suasana yang mendesak dan revolusioner pada saat itu.
Oleh karena itu, kami menawarkan penyempurnaan dan penguatan sistem tersebut. Bukan penggantian sistem bernegara, seperti yang terjadi di dalam Amandemen tahun 1999 hingga 2002.
Sehingga, Proposal Kenegaraan DPD RI berbunyi; ‘Penyempurnaan dan Penguatan Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa’. Sehingga kita menutup ruang untuk terjadinya penyimpangan praktek dari nilai-nilai tersebut, seperti pernah terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.
Selain mengadopsi apa yang menjadi tuntutan reformasi, tentang pembatasan masa jabatan presiden dan menghapus KKN serta penegakan hukum dan HAM, ke-5 proposal penyempurnaan dan penguatan azas dan sistem bernegara Pancasila yang kami tawarkan adalah sebagai berikut:
1). Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya di-isi oleh mereka yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga di-isi oleh utusan-utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan.
2). Membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tidak hanya di-isi dari peserta pemilu dari unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas juga oleh perwakilan penduduk daerah yang berbasis provinsi. Sehingga anggota DPD RI, yang juga dipilih melalui Pemilu Legislatif, berada di dalam satu kamar di DPR RI, sebagai bagian dari pembentuk Undang-Undang.
3). Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh presiden, atau dipilih oleh DPRD seperti yang terjadi di Era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang berbasis sejarah Negara-negara lama dan Bangsa-bangsa lama di kepulauan Nusantara, yaitu raja dan sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara. Sedangkan Utusan Golongan, bersumber dari Organisasi Sosial Masyarakat dan Organisasi Profesi yang memiliki sejarah dan bobot kontribusi bagi pemajuan Ideologi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.
4). Memberikan wewenang untuk pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang utuh dalam pembahasan Undang-Undang di DPR.
5). Menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.
Itulah 5 proposal yang kami tawarkan berdasarkan hasil serap aspirasi kami di seluruh penjuru tanah air.
Khusus terhadap Proposal kedua, dimana Kamar DPR RI, sebagai pembentuk Undang-Undang agar dibuka peluang bagi peserta pemilu dari Unsur Perseorangan, sebenarnya bukan gagasan baru.
Dunia Internasional juga sudah melakukan hal itu. Termasuk 12 Negara di Uni Eropa, dan yang terbaru adalah Afrika Selatan, yang membuka pintu kamar DPR tidak hanya dari unsur peserta pemilu dari anggota Partai Politik saja. Tetapi juga perseorangan berbasis wilayah atau provinsi.
Sehingga Undang-Undang yang dihasilkan, yang mengikat secara hukum kepada seluruh warga negara tidak hanya dibuat oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga oleh keterwakilan masyarakat non-partisan atau people representative.
Karena faktanya di Indonesia, anggota DPR dari partai politik dalam mengambil keputusan masih sangat didominasi oleh arahan Ketua Umum Partai. Sehingga sangat tidak adil, bila penduduk Indonesia yang berjumlah 275 juta jiwa ini menyerahkan kepatuhan hukum atas Undang- Undang yang dibentuk atas arahan Ketua Umum Partai yang mempunyai anggota di DPR.
Itulah mengapa, anggota DPD RI, yang juga peserta pemilu dari unsur perseorangan yang berbasis Provinsi secara merata, harus berada di dalam Kamar DPR RI, sebagai bagian dari mekanisme check and balances yang utuh. Sekaligus sebagai bagian dari suara provinsi dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Rote.
Hal ini berbeda dengan Utusan Daerah di MPR. Karena Utusan Daerah di MPR bukan pembentuk Undang-Undang. Dan mereka harus di-isi dengan mekanisme utusan, bukan Pemilu, dengan latar belakang atau basis unsur dari Bangsa-Bangsa Lama dan Negara-Negara Lama yang sudah ada di Nusantara ini sebelum Indonesia merdeka. Yaitu penerus Raja dan Sultan Nusantara serta Masyarakat Adat dan Penduduk Asli Nusantara.
Begitu pula dengan Utusan Golongan. Mereka juga diutus dari bawah. Bukan dipilih melalui Pemilu. Dengan adanya Utusan Golongan, maka kita sudah mengembalikan ruang kedaulatan rakyat untuk dihuni oleh kalangan intelektual, cendekiawan, agamawan dan kaum profesional, melalui pintu Utusan Golongan.
Karena memang sudah seharusnya Indonesia mengembalikan demokrasi, yang saat ini digenggam kalangan oligarki, kepada kaum intelektual, cendekiawan, agamawan dan profesional, yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur.
Karena mereka inilah para hikmat yang memiliki kebijaksanaan. Mereka inilah yang harus ditimbang pendapatnya dalam musyawarah untuk menentukan arah perjalanan bangsa.
Jika demokrasi hanya diisi melalui Pemilihan Umum, maka jelas tidak ada pintu bagi kaum cendekiawan, agamawan dan profesional. Karena batu uji yang digunakan dalam Pemilu adalah popularitas dan elektabilitas. Bukan intelektualitas, integritas dan moralitas.
Apakah para Profesor di kampus atau Ulama Salaf yang tidak populer harus ikut-ikutan trending di Tik-Tok agar mencapai popularitas melalui media sosial? Tentu akan semakin rusak bangsa ini. Karena popularitas tidak berbanding lurus dengan etika, moral dan akhlak.
Jadi, kita harus sampai pada kesimpulan nalar berpikir yang benar. Apalagi Bapak Ibu para Doktor dan Cendekiawan, tentu cara berpikir bapak ibu sangat Filosofis dan Fundamental. Bapak Ibu pasti mengetahui, bahwa hakikat kemakmuran rakyat hanya dapat dicapai dengan adanya keadilan sosial.
Karena itu, saya mengajak kita semua membangun kesadaran kolektif kita sebagai bangsa. Untuk kembali ke Pancasila. Kita kembalikan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi dan Identitas Konstitusi kita.
Kita dorong semua elemen bangsa, agar terwujud Konsensus Nasional, untuk kita kembali menerapkan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945, untuk kemudian kita lakukan Amandemen dengan Teknik Adendum, tanpa mengganti Sistem Bernegara yang bermuara kepada Penjelmaan Rakyat di dalam MPR sebagai Pelaksana Kedaulatan.
Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Semoga ikhtiar yang kita niatkan untuk Indonesia yang lebih baik, mendapat ridho dari Allah SWT, sehingga menjadi amal jariyah bagi kita semua.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti Menjadi Keynote Speech Dalam Seminar Nasional Forum Doktor dan Cendekiawan Indonesia Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia