Keynote Speech Ketua DPD RI
Seminar Nasional
"Tantangan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Perbatasan
dalam Perspektif Otonomi Daerah"
Kerjasama Komite I dengan BRIN dan BNPP
Jakarta, 17 September 2024
Bismillahirrohmannirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua. Yang saya hormati dan banggakan;
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Saya sampaikan terima kasih kepada Komite I DPD RI, yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran, sekaligus membuka Seminar Nasional dengan tema: “Tantangan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Perbatasan dalam Perspektif Otonomi Daerah”, yang didukung oleh BRIN dan BNPP pada hari ini.
Bapak Ibu dan Hadirin yang hormati,
Kita semua mengetahui, bahwa masih banyak permasalahan yang melingkupi daerah perbatasan di Indonesia. Semua data sudah tersaji dan dapat kita lihat sama-sama fakta dan kondisi di lapangan.
Oleh karena itu, dalam paparan singkat ini, saya ingin kita fokus untuk melihat hal-hal yang fundamental dan hakikat dari Pembangunan Daerah Perbatasan, sehingga Seminar Nasional hari ini efektif menghasilkan beberapa rekomendasi tindakan yang harus dilaksanakan.
Secara prinsip, desentralisasi mencakup tiga aspek. Pertama, aspek politik, yang berkaitan dengan organisasi dan prosedur pelibatan masyarakat untuk memilih wakil dalam pemerintahan di daerah.
Kedua, aspek administrasi, yang berkaitan dengan de-konsentrasi birokrasi, struktur, dan delegasi kewenangan dari pemerintah pusat. Dan ketiga, aspek fiskal, yang berkaitan dengan distribusi fiskal antar tingkatan pemerintahan yang meliputi kerjasama, delegasi, dan otonomi dalam pengelolaan anggaran publik.
Prinsip-prinsip tersebut juga memiliki target goal agar pemerintah dapat menjawab kebutuhan masyarakat lokal dalam pembangunan di daerah yang memiliki karekteristik yang berbeda-beda. Apalagi Indonesia hari ini telah memiliki 38 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota, dengan ciri khas budaya berbeda-beda.
Sehingga bila pembangunan daerah, terutama di daerah perbatasan diserahkan kepada Pemerintah Pusat, tentu akan menghadapi tantangan rentang kendali. Karena itu, mau tidak mau, persoalan rentang kendali ini harus dipecahkan dengan penguatan fungsi dan pelaksanaan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi. Terutama untuk daerah perbatasan, daerah kepulauan dan daerah 3 T.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati, Setidaknya ada tiga persoalan fundamental yang harus kita rumuskan jalan keluarnya melalui forum ini.
Pertama dalam perspektif Undang-Undang yang mengatur kewenangan. Di sini sangat tampak adanya ketidak-harmonisan antara Undang-Undang No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 9 Undang-Undang 43 tahun 2008, negara memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan perbatasan.
Tetapi dalam Pasal 361 Undang-Undang 23 tahun 2014, disebutkan bahwa yang mengatur kawasan perbatasan merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Jadi menurut saya, harmonisasi Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mendesak untuk dilakukan.
Sekaligus percepatan lahirnya Peraturan Pemerintah atas Undang-Undang 43 tahun 2008. Dan Komite I DPD RI perlu memasukkan hal ini dalam agenda kerja periode mendatang.
Persoalan fundamental kedua adalah dalam perspektif kelembagaan. Terutama terkait dengan fungsi Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD), yang ternyata terbatas pada fungsi koordinasi saja. Karena posisi BPPD yang seharusnya menjadi kepanjangan dari BNPP, ternyata secara struktural, posisi BPPD berada di bawah kepala daerah dalam bentuk OPD.
Sehingga tugas-tugas yang dilakukan oleh BNPP di daerah perbatasan perlu ditinjau ulang. Apakah perlu lebih diperkuat dengan meninjau kembali muatan Undang-Undang No. 43 Tahun 2008, agar urusan pembangunan di daerah perbatasan bisa lebih efektif dan efisien. Atau perlu ditambahkan rekomedasi yang lain.
Persoalan fundamental ketiga adalah dalam perspektif Keuangan atau Fiskal. Seperti kita ketahui, Undang-Undang No.43 Tahun 2008 di dalam Pasal 10, 11, dan 12 menyatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah berkewajiban menetapkan biaya pembangunan kawasan perbatasan.
Kemudian Pasal 13 menyatakan pelaksanaan kewenangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, 11, dan 12, diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Namun sampai hari ini peraturan pemerintah tersebut belum ada.
Dan lebih ironis lagi, lembaga yang memiliki kewenangan mengelola perbatasan justru memiliki anggaran yang kecil. Bahkan di beberapa daerah, BPPD juga mendapat alokasi anggaran yang minim dari APBD.
Jadi, mendorong keadilan fiskal untuk daerah perbatasan, daerah kepulauan, dan daerah 3T harus menjadi concern kita bersama. Mengingat beban daerah yang begitu besar.
Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Semoga ikhtiar kita untuk membangun Indonesia lebih baik, mendapat ridho dari Allah SWT. Dan dengan mengucap Bismillah hirrohman nirrohim, Seminar Nasional yang diselenggarakan hari ini, saya nyatakan dibuka.