Keynote Speech Ketua DPD RI
Silaturahmi Nasional 2022
Dhipa Adista Justicia
Indonesia Intelligence Institute
Potret Penegakan Hukum di Indonesia
Jakarta, 26 November 2022
Bismillahirrohmannirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati dan banggakan: 1. Pendiri Dhipa Adista Justicia, Laksamana TNI Purnawirawan Tedjo Edhi Purdijanto 2. Ketua Panitia Silatnas 2022, Kombes Pol Purnawirawan, Doktor Hadi Purnomo 3. Pakar Komunikasi Politik, Profesor Tjipta Lesmana 4. Advokat Senior Indonesia, Doktor Juniver Girsang 5. Keluarga Besar Dhipa Adista Justicia Indonesia Intelligence Institute 6. Para Advokat dan Praktisi Hukum Indonesia 7. Bapak Ibu dan hadirin tamu undangan
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Saya sampaikan terima kasih kepada Dhipa Adista Justicia, yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam acara Silaturahmi Nasional 2022 yang diselenggarakan hari ini.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya banggakan, Ijinkan saya untuk tidak secara spesifik membahas mengenai Potret Penegakan Hukum di Indonesia yang dinilai oleh banyak kalangan berlangsung dengan karut marut. Karena itu porsinya para praktisi hukum.
Tetapi saya akan membahas sesuatu lebih fundamental lagi, yang menjadi penyumbang karut marut hukum di Indonesia. Yaitu mengenai bangsa ini yang telah meninggalkan Norma Hukum Tertinggi-nya, yaitu Pancasila.
Indonesia sebagai negara majemuk telah didisain oleh para pendiri bangsa dengan menggunakan Pancasila sebagai perekat. Sehingga sistem demokrasi yang digunakan adalah sistem demokrasi Pancasila. Yang identik dengan sistem demokrasi yang berkecukupan.
Karena ciri utamanya adalah seluruh elemen bangsa terwakili di dalam Lembaga Tertinggi Negara, yang bukan saja perwakilan rakyat. Tetapi penjelmaan rakyat. Karena itulah di dalam Lembaga Tertinggi itu, bukan hanya diisi oleh Partai Politik. Tetapi juga wakil-wakil dari daerah, dari Sabang sampai Merauke, dan utusan Golongan-Golongan non-partisan.
Begitu pula dengan sistem ekonomi-nya, telah didisain oleh para pendiri bangsa dengan sistem ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi yang menekankan usaha bersama dengan orientasi kepada kesejahteraan. Karena perekonomian disusun atas usaha bersama.
Dengan posisi pembagian yang tegas, antara wilayah public goods, yang mutlak harus dikuasai negara, dan wilayah commercial goods untuk swasta, serta irisan di antara keduanya yang menggabungkan kerja bersama.
Sehingga terjadi proses usaha bersama. Atau yang sering saya sebut sebagai Public, Privat, People, Partnership atau 4 P. Yaitu keterlibatan yang jelas antara negara, swasta dan masyarakat dalam aktivitas ekonomi.
Rakyat harus berada dalam posisi sebagai bagian dari pemilik kedaulatan atas wilayah, termasuk sumber daya di daerahnya. Sehingga keterlibatan rakyat itu mutlak dan wajib, sesuai dengan konsep ekonomi usaha bersama yang dirumuskan para pendiri bangsa kita.
Konsep inilah yang tertuang dalam Pasal 33 naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya. Sebelum dilakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam.
Karena setelah Amandemen tersebut, Pasal 33 ditambah menjadi 5 ayat, dari sebelumnya 3 ayat. Dimana Naskah Penjelasannya dihapus total. Sehingga perubahan itu telah mengubah sistem ekonomi Indonesia, perlahan tapi pasti, menjadi sistem ekonomi liberal kapitalistik.
Sehingga mekanisme ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar. Dibiarkan tersusun dengan sendirinya. Sehingga semakin memperkaya orang per orang pemilik modal, termasuk modal asing.
Dan negara hanya menjadi “host” untuk menawarkan kepada kepada siapapun investor yang akan membangun di Indonesia. Dengan segala macam bonus yang diberikan. Mulai keringanan pajak, hingga HGB yang bisa diperpanjang sampai 160 tahun.
Negara hanya menjadi pemberi Ijin Konsesi atas Tambang Mineral dan Batubara. Negara hanya menjadi pemberi Ijin atas penggunaan Hutan untuk lahan Sawit. Negara hanya menjadi pemberi Ijin atas investasi Smelter Nikel milik Tiongkok. Negara hanya mendapat royalty dan pajak ekspor dari Kekayaan Alam Indonesia yang dikuras oleh Oligarki Ekonomi, yang berkolaborasi dengan Asing.
Itulah mengapa APBN Indonesia selalu minus. Sehingga harus ditutup dengan utang luar negeri yang bunganya sangat tinggi. Sehingga tahun ini kita harus membayar bunga utang saja sebesar Rp. 400 trilyun.
Dan Presiden sudah menyampaikan dalam nota Rancangan APBN tahun 2023 nanti, pemerintah akan menambah utang lagi sekitar Rp. 700 trilyun.
Dan ketika APBN minus, yang seharusnya menjadi kewajiban negara disebut sebagai Subsidi. Sehingga dapat dicabut dengan alasan beban APBN yang tidak mampu lagi membiayai.
Sehingga semakin banyak paradoksal yang kita lihat dan rasakan dalam perjalanan bangsa selama 20 tahun ini.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati, Karut marut Indonesia terjadi ketika bangsa ini melakukan perubahan Konstitusi atau Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 secara brutal, sehingga mengganti hampir 95 persen isi dari Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 naskah Asli. Sejak saat itulah kita meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi.
Konstitusi hasil Amandemen 1999-2002, memang masih mencantumkan dasar filsafat negara Pancasila pada naskah Pembukaan di Alinea IV. Namun pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar hasil Amandemen tersebut merupakan penjabaran dari ideologi lain, yaitu: Liberalisme-Individualisme.
Karena logika dari pasal-pasal yang ada sudah tidak konsisten dan tidak koheren dengan basis filosofi Pancasila yang tercantum dalam naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sehingga sejak saat itu Indonesia ibarat orang yang salah minum obat. Sehingga mengalami alergi akut.
Memang benar apa kata pepatah. Bahwa ikan busuk dimulai dari kepalanya terlebih dahulu.
Dan pembusukan Indonesia dimulai dari Hulu-nya, dari Fudamental Norm-nya. Yaitu dengan meninggalkan Pancasila sebagai grondslag bangsa ini.
Karena fakta, sebelum Amandemen terjadi, Indonesia sebagai negara telah dilucuti kedaulatannya, termasuk kedaulatan ekonomi-nya, melalui Letter of Intent IMF yang terpaksa ditanda tangani oleh Presiden Soeharto saat itu.
Dan pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor. XVIII/MPR/1998 mencabut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 sebagai materi Pendidikan Ideologi yang diterapkan melalui Penataran P4, dengan pertimbangan karena materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.
Ini adalah awal bangsa ini mulai dipisahkan dari Ideologinya. Awal bangsa ini mulai meninggalkan Pancasila sebagai grondslag dan Staats fundamental norm.
Dan ini sangat berbahaya. Karena seperti dikatakan Ki Hajar Dewantoro pada 31 Agustus 1928, bahwa, jika anak didik tidak kita ajar dengan kebangsaan dan nasionalisme, maka di masa depan, sangat mungkin mereka akan menjadi lawan kita.
Karena penghancuran ingatan kolektif suatu bangsa dapat dilakukan dengan metode damai non-militer. Dengan cara memecah belah persatuan, mempengaruhi, menguasai dan mengendalikan pikiran dan hati warga bangsa, agar tidak memiliki kesadaran, kewaspadaan dan jati diri, serta gagal dalam re-generasi untuk mencapai Cita-Cita dan Tujuan Nasional bangsa tersebut.
Inilah yang kerap saya sebut, kita sebagai bangsa, telah durhaka kepada para pendiri bangsa, yang telah menggali dan merumuskan Pancasila sebagai sebuah wadah yang utuh untuk bangsa yang super majemuk ini.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati, Karena itu saya sekarang berkampanye, untuk menata ulang Indonesia, demi menghadapi tantangan masa depan yang akan semakin berat. Kita harus kembali menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri dan berdikari.
Untuk itu kita harus kembali kepada Pancasila. Agar kita tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akar bangsanya. Agar kita tidak menjadi bangsa yang kehilangan jati diri dan karakter.
Para pendiri bangsa sudah merumuskan satu sistem yang paling ideal untuk Indonesia, sebagai bangsa yang super majemuk, dengan ratusan pulau yang berpenghuni, yang terpisah-pisah oleh lautan, dengan lebih dari 500 suku penghuni di pulau-pulau tersebut.
Negara kepulauan yang jarak bentang dari Sabang sampai Merauke sama dengan jarak dari London sampai Khazakhstan. Sedangkan bentangan dari Miangas sampai Pulau Rote sama dengan jarak dari Moskow sampai Kairo.
Sehingga para pendiri bangsa memutuskan bahwa bangsa ini tidak akan bisa menjalankan sistem demokrasi liberal barat murni, atau sistem komunisme timur. Karena itu dipilihlah Sistem Demokrasi Pancasila. Karena hanya sistem demokrasi Pancasila yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari unsur perwakilan dan unsur penjelmaan rakyat.
Itulah konsepsi sistem bernegara kita yang tertuang di dalam Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi yang utuh. Semuanya terwadahi. Sehingga menjadi demokrasi yang berkecukupan. Tanpa ada yang ditinggalkan.
Untuk kemudian mereka bersama-sama Menyusun Arah Perjalanan Bangsa melalui GBHN dan Memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris yang diberi mandat. Sehingga Presiden adalah petugas rakyat. Bukan petugas partai.
Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 naskah Asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi.
Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli wajib dan harus kita sempurnakan. Agar kita tidak mengulang praktek penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Karena kita harus selalu belajar dari sejarah.
Saya memang sedang berusaha mencari jalan agar Indonesia dapat kembali menerapkan Undang-Undang Dasar 1945 naskah Asli. Saya menyadari, bahwa keinginan ini sebenarnya telah digagas oleh banyak pihak, terutama para purnawirawan TNI dan Polri. Namun sampai hari ini belum menemukan jalan.
Bagi saya hanya ada satu jalan. Yaitu konsensus nasional. Dengan mendorong Presiden untuk melakukan Dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 naskah Asli. Lalu segera kita bentuk tim atau komite untuk melakukan amandemen kekurangan dari Konstitusi Asli tersebut melalui Teknik Adendum.
Inilah yang kemarin saya sampaikan di Munas HIPMI di Solo. Yang kemudian saya dihujat dan dan dituduh masuk angin. Bahkan dituduh sebagai juru bicara perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.
Tetapi saya sudah biasa dihujat dan difitnah. Karena saya akan terus menjalankan ikhtiar untuk mengembalikan Indonesia kembali berdaulat, mandiri dan berdikari, dengan cara kembali kepada rumusan para pendiri bangsa.
Karena itu saya mengajak semua elemen bangsa ini untuk berpikir sebagai Negarawan. Mari kita pikirkan masa depan anak cucu kita. Generasi yang baru lahir di negeri yang sebenarnya kaya-raya ini. Negeri yang diberkahi dengan anugerah kekayaan alam dan iklim serta berada di garis katulistiwa.
Negeri yang sungguh bisa besar dan menjadi adi daya di dunia sebagai penjaga harapan hidup manusia di bumi, melalui kekayaan bio-diversity hutan untuk menghasilkan oksigen dan sumber kekayaan hayati. Negeri yang bisa menjamin ketersediaan pangan dan air bagi penduduk bumi di masa depan. Jangan sampai potensi itu dirampok oleh bukan orang Indonesia asli secara sistemik melalui agresi non militer.
Marilah kita ingat pengorbanan para pejuang kemerdekaan yang darahnya meresap di bumi ini. Di tanah yang kita injak ini.
Mereka menyabung nyawa dengan semboyan: “Merdeka atau Mati”. Sebuah semboyan yang kini mungkin terasa absurd di ruangan ber-AC ini. Tetapi itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan. Demi perwujudan kecintaan kepada tanah air, dan demi satu harapan mulia; “agar tumbuh generasi yang lebih sempurna….”
Sehingga bangsa ini harus kembali mengingat kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Karena dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya ‘Kemaslahatan Bersama’ dalam arti seluas-luasnya.
Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Pancasila. Kembali kepada UUD 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Dan mari kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai Staats fundamental norm.
Marilah kita satukan tekad untuk mengakhiri polarisasi bangsa ini dengan kesadaran. Dengan kembali bergandengan tangan. Merajut masa depan dengan menjadi bangsa yang mandiri, berdikari dan berdaulat.
Marilah kita letakkan ego kita masing-masing. Karena kita semua tidak akan abadi hidup di dunia ini. Semua akan meninggalkan dunia ini. Semua akan dimintai pertanggungjawaban.
Marilah kita hentikan kerusakan yang terjadi. Marilah kita hentikan ketidakadilan yang melampaui batas. Karena ketidakadilan yang melampaui batas itu telah nyata-nyata membuat jutaan rakyat, sebagai pemilik sah kedaulatan negara ini menjadi sengsara. Dan Allah SWT tidak suka terhadap hamba-Nya yang melampaui batas. Semoga sifat Rahman dan Rahim Allah SWT menjadikan bangsa ini terhindar dari azab seperti yang ditimpakan kepada bangsa atau kaum terdahulu.
Kiranya itu yang sapat saya sampaikan. Semoga semua niat baik kita untuk Indonesia yang lebih baik mendapat ridlo dari Allah SWT.
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyampaikan Keynote Speech pada forum Silaturahmi Nasional 2022 Dhipa Adista Justicia Indonesia Intelligence Institute