Sabtu, Desember 9, 2023

Catatan Akhir Tahun 2021

Kita Benamkan Nilai-Nilai Pancasila, Demi Apa?

Oleh : AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Loading

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mengutip beberapa kalimat dari Pidato Bung Karno. Agak panjang, tapi penting. Pidato ini disampaikan di Universitas Airlangga Surabaya, pada tanggal 24 September 1955.

Saat itu Bung Karno mengatakan Pancasila sudah ada sebelum republik ini ada. Dan sama sekali bukan dilahirkan atau diciptakan oleh Bung Karno. Beliau hanya menggali. Memoles, dan kemudian menyajikan kepada bangsa ini.

Berikut kutipannya; .….“Aku ingin membentuk satu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau menerima semua masyarakat Indonesia yang beraneka-aneka itu dan yang masyarakat Indonesia mau duduk pula di dalamnya, yang diterima oleh saudara-saudara yang beragama Islam, yang beragama Kristen Katolik, yang beragama Kristen Protestan, yang beragama Hindu-Bali, dan oleh saudara-saudara yang beragama lain. Yang bisa diterima oleh saudara-saudara yang adat-istiadatnya begitu, dan yang bisa diterima sekalian saudara.

Aku tidak mencipta Pancasila saudara-saudara. Sebab sesuatu dasar negara ciptaan tidak akan tahan lama. Ini adalah satu ajaran yang dari mula-mulanya kupegang teguh.

Jikalau engkau hendak mengadakan dasar untuk sesuatu negara, dasar untuk sesuatu wadah –jangan bikin sendiri, jangan anggit sendiri, jangan karang sendiri. Selamilah sedalam-dalamnya lautan daripada sejarah! Gali sedalam-dalamnya bumi daripada sejarah!

Aku melihat masyarakat Indonesia. Sejarah rakyat Indonesia. Dan aku menggali lima mutiara yang terbenam di dalamnya, yang tadinya lima mutiara itu cemerlang, tetapi oleh karena penjajahan asing yang 350 tahun lamanya, terbenam kembali di dalam bumi bangsa Indonesia ini.”

Jelas di sini bahwa Pancasila adalah Mutiara yang terkandung di dalam Nusantara. Adalah D.N.A. asli bangsa ini. Dan telah kita sepakati sebagai way of life bangsa ini melalui penyatuan dwi tunggal antara Proklamasi dan Naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Dimana saat itu dikatakan oleh Bung Karno; …..“Karena itu maka Proklamasi dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah satu “pengejawantahan” kita punya isi jiwa yang sedalam-dalamnya, satu Darstellung kita punya deepest inner self. 17 Agustus 1945 mencetuskan keluar satu proklamasi kemerdekaan beserta satu dasar kemerdekaan. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah sebenarnya satu proclamation of independence dan satu declaration of independence.

Bagi kita, maka naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah satu. Bagi kita, maka naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 tak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Bagi kita, maka naskah Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah loro loroning atunggal. Bagi kita, maka proclamation of independence berisikan pula declaration of independence.

Lain bangsa, hanya mempunyai proclamation of independence saja. Lain bangsa lagi, hanya mempunyai declaration of independence saja. Kita mempunyai proclamation of independence dan declaration of independence sekaligus.

Proklamasi kita memberikan tahu kepada kita sendiri dan kepada seluruh dunia, bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang merdeka. Declaration of independence kita, yaitu terlukis dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta Pembukaannya, mengikat bangsa Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, dan memberi tahu kepada seluruh dunia apa prinsip-prinsip kita itu.

Proklamasi kita adalah sumber kekuatan dan sumber tekad perjuangan kita, oleh karena seperti tadi saya katakan, Proklamasi kita itu adalah ledakan pada saat memuncaknya kracht total semua tenaga-tenaga nasional, badaniah dan batiniah – fisik dan moril, materiil dan spirituil.

Declaration of independence kita, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan kenegaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam memperkembangkan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita.

Maka dari itulah saya tadi tandaskan, bahwa Proklamasi kita tak dapat dipisahkan dari declaration of independence kita yang berupa Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pembukaannya itu.

“Proklamasi” tanpa “declaration” berarti bahwa kemerdekaan kita tidak mempunyai falsafah. Tidak mempunyai dasar penghidupan nasional, tidak mempunyai pedoman, tidak mempunyai arah, tidak mempunyai “raison d’etre”, tidak mempunyai tujuan selain daripada mengusir kekuasaan asing dari bumi Ibu Pertiwi.

Sebaliknya, “declaration” tanpa “proklamasi”, tidak mempunyai arti. Sebab, tanpa kemerdekaan, maka segala falsafah, segala dasar dan tujuan, segala prinsip, segala “isme”, akan merupakan khayalan belaka, –angan-angan kosong-melompong yang terapung-apung di angkasa raya.

Tidak, Saudara-saudara! Proklamasi Kemerdekaan kita bukan hanya mempunyai segi negatif atau destruktif saja, dalam arti membinasakan segala kekuatan dan kekuasaan asing yang bertentangan dengan kedaulatan bangsa kita, menjebol sampai keakar-akarnya segala penjajahan di bumi kita, menyapu-bersih segala kolonialisme dan imperialisme dari tanah air Indonesia, – tidak!

Proklamasi kita itu, selain melahirkan kemerdekaan, juga melahirkan dan menghidupkan kembali kepribadian bangsa Indonesia dalam arti seluas-luasnya: kepribadian politik, kepribadian ekonomi, kepribadian sosial, kepribadian kebudayaan,

Pendek kata kepribadian nasional. Kemerdekaan dan kepribadian nasional adalah laksana dua anak kembar yang melengket satu sama lain, yang tak dapat dipisahkan tanpa membawa bencana kepada masing-masing”.

Sehingga Bung Karno menolak ketika Profesor Mr. Notonegoro dari Universitas Gajah Mada, dalam pidato pemberian gelar Doktor Honoris Causa menyebut bahwa Bung Karno sebagai pencipta Pancasila. ….. “Dengan terharu aku menerima titel Doktor Honoris Causa yang dihadiahkan kepadaku oleh Universitas Gajah Mada, tetapi aku tolak dengan tegas ucapan Profesor Notonegoro, bahwa aku adalah pencipta Panca Sila,” ungkap Bung Karno dalam pidatonya.

***

Para pendiri bangsa tentu membayangkan. Bahwa jika nilai-nilai Pancasila diterapkan dengan benar, maka sila pamungkas Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia akan terwujud.

Karena jika kita selami dari catatan-catatan notulensi persidangan BPUPKI dan PPKI, akan terangkai suatu bayangkan seperti ini;

Jika warga bangsa ini melaksanakan Sila Pertama dari Pancasila dengan konsekuen, maka akan lahir kualitas manusia yang berketuhanan. Sehingga pribadi- pribadi tersebut tidak mungkin melakukan apa yang dilarang oleh Tuhan mereka. Otomatis menjadi pribadi-pribadi yang baik dalam ukuran universal ketuhanan.

Sebagai pribadi yang baik, taat pada agamanya, sudah barang tentu menjadi manusia-manusia yang beradab. Dan manusia beradab pasti menimba ilmu dan belajar dengan pemahaman yang jernih. Dengan akal yang sehat. Sehingga menjadi manusia yang adil sejak dalam pikirannya. Sehingga adil pula terhadap kemanusiaan. Itulah Sila Kedua dari Pancasila.

Maka, Indonesia akan berisi mayoritas manusia yang taat beragama dan adil serta beradab dalam pikiran dan perbuatan. Sehingga Persatuan Indonesia dengan sangat mudah terjadi tanpa paksaan atau tekanan apapun. Karena mereka adalah manusia-manusia beradab. Yang memanusiakan manusia, dalam takaran keadilan yang kemudian bersatu. Inilah Sila Ketiga dari Pancasila.

Manusia-manusia baik yang bersatu tersebut lantas memilih para hikmat. Untuk mengutus tokoh-tokoh terbaik bangsa yang bijak. Untuk mewakili mereka. Untuk memegang Daulat Rakyat. Dalam menjalankan tugas perwakilan di Lembaga Pemegang Kedaulatan Rakyat. Yaitu Lembaga Tertinggi Negara. Dimana semua terwakili. Ada unsur partai politik. Ada unsur dari daerah-daerah. Dan ada unsur dari golongan-golongan. Untuk memilih kepala pemerintahan sebagai mandataris rakyat. Itulah Sila Keempat dari Pancasila.

Dan pada akhirnya, karena wakil-wakil rakyat dan mereka yang diberi amanat serta mandat untuk menjalankan pemerintahan berasal dari tokoh-tokoh hikmat dan bijaksana, maka tujuan hakiki dari lahirnya bangsa ini, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang merupakan Sila Pamungkas dari Pancasila, niscaya akan terwujud.

Begitulah bayangan para pendiri bangsa saat itu. Karena itu, baik Muhammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Mr. Soepomo, maupun Bung Karno, dan lainnya, sepakat untuk meneguhkan ‘isme’ sendiri yang tepat untuk Indonesia. Sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Yaitu; sistem Demokrasi Pancasila. Sistem demokrasi asli milik Indonesia. Sesuai dengan D.N.A. Indonesia. Dengan dilengkapi Konstitusi yang bernama Undang-Undang Dasar 1945.

Demokrasi Pancasila berbeda dengan Isme-Isme yang ada. Seperti Liberalisme di Barat atau Komunisme di Timur. Liberalisme di Barat bersifat sekularistik dan kapitalistik. Karena lahir dari gerakan protes terhadap dominasi Gereja ata pemerintah pada saat itu. Sedangkan Komunisme atau Sosialisme lahir dari perlawanan rakyat terhadap Tuan Tanah dan kelompok Borjuis yang berlindung di balik pemerintah.

Tetapi Demokrasi Pancasila sangat berbeda. Demokrasi Pancasila dengan titik tekan Permusyawaratan Perwakilan adalah jalan tengah yang lahir dari akal fitrah manusia sebagai makhluk yang berfikir dengan keadilan. Itulah prinsip Syuro dalam sistem tata negara kita yang asli. Atau dapat kita sebut sebagai sistem tata negara sesuai D.N.A. asli bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, ciri utama dari Demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini.

Itulah mengapa pada Konstitusi kita yang asli, sebelum dilakukan Amandemen pada tahun 1999 hingga 2002, MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara. Karena MPR adalah perwujudan Kedaulatan Rakyat dari semua elemen bangsa ini. Baik itu elemen Partai Politik, Elemen Daerah-Daerah, dan Elemen Golongan-Golongan.

Utusan Daerah adalah representasi seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke. Harus ada wakil-wakil dari daerah. Meskipun daerah tersebut terpencil. Terisolasi secara sosial-kultural, daerah khusus dan sebagainya.

Harus pula ada wakil dari golongan-golongan, seperti etnis tertentu sebagai unsur kebhinnekaan, badan-badan kolektif, koperasi, petani, nelayan, veteran, para raja dan sultan Nusantara, ulama dan rohaniawan, cendekiawan, guru, seniman dan budayawan, maha putra bangsa, penyandang cacat dan seterusnya. Dengan demikian utuhlah demokrasi kita, semuanya terwakili.

Sehingga menjadi Demokrasi yang berkecukupan. Karena semua terwakili. Tanpa ada yang terpaksa ditinggalkan, atau suara yang dibuang, seperti demokrasi barat, karena akibat kurangnya Bilangan Pembagi Pemilih atau BPP hasil pemilu.

Itulah sebabnya, dengan bijaksana, founding fathers kita menggariskan bahwa “kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” sebagai Lembaga Tertinggi Negara.

Tidak semua dipilih. Tetapi semua harus terwakili. Semua harus ada. Itu merupakan prinsip rumah kedaulatan rakyat. Karena tidak semua rakyat anggota partai politik. Ada rakyat yang menjadi anggota partai politik. Ada juga rakyat lain, di luar partai politik.

Ada golongan-golongan yang tidak mungkin mengikuti kontestasi pemilu untuk mewakili golongannya. Demikian pula ada penduduk di daerah terisolir dan terpencil yang juga tidak mungkin mengikuti kontestasi pemilu untuk mewakili daerahnya.

Maka anggota-anggota MPR terdiri dari anggota-anggota DPR (yang “dipilih” dari hasil pemilihan umum) ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan yang “diangkat” (sesuai peraturan perundangan –tentu peraturan ini harus dibenahi sesuai azas keadilan dan ketepatan).

***

Tahun 1999 hingga 2002, bangsa ini melakukan Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar. Dilakukan empat tahap.

Saat itu terjadi euforia reformasi pasca tumbangnya Orde Baru. Euforia menyelimuti hampir semua warga bangsa. Termasuk para tokoh dan mahasiswa.

Ada catatan menarik dari buku yang ditulis Valina Singka Subekti, yang berjudul “Menyusun Konstitusi Transisi”, yang terbit tahun 2007 lalu. Dikatakan, ada keterlibatan aktor-aktor asing dalam proses Amandemen tersebut.

Mereka adalah United Nations Development Program (UNDP) dan United State Agency for International Development (USAID), Institute of Democracy and Electoral Assistance (IDEA), International Foundation for Election System (IFES), dan National Democratic Institute (NDI) serta International Republican Institution (IRI).

Mereka semua dalam buku itu disebut terlibat dalam Amandemen UUD 1945 yang terjadi dalam kurun waktu 1999 hingga 2002.

Dikatakan Valina Singka, mereka tidak hanya terlibat dalam masalah pendanaan. Tetapi juga memberi konsep pemikiran dan hadir dalam rapat-rapat.

Sebelum itu. Tepatnya tanggal 13 November 1998, melalui Ketetapan Nomor 18 Tahun 1998, MPR mencabut ketetapan tentang Pendoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Alasan pencabutannya, karena materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.

Hasil akhirnya: Negara ini memiliki konstitusi baru, hasil amandemen 1999- 2002. Amandemen untuk penyempurnaan tehadap UUD 1945 naskah asli. Apakah UUD 1945 naskah asli punya kelemahan. Jawabnya: Iya. Pasti.

Oleh karena itu para pendiri bangsa telah memberi ruang untuk dilakukan penyempurnaan dengan membuka ruang tersebut melalui Pasal 37 UUD 1945.

Tetapi penyempurnaan terhadap Konstitusi sebuah negara, secara norma hukum, harus dilakukan dengan Adendum. Tanpa mengganti sistem negara tersebut. Oleh karena itu, Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak boleh diubah.

Sehingga, Adendum terhadap Pasal dan Ayat di dalam Batang Tubuh, harus tetap Derifatif atau mengacu kepada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut.

Tetapi yang terjadi dalam perubahan empat tahap itu, sistem tata negara Indonesia berubah total.

MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara. Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapus. Digantikan Dewan Perwakilan Daerah. Presiden dan Wakil Presiden dicalonkan oleh Partai Politik dan dipilih langsung oleh rakyat.

Sehingga mandat rakyat diberikan kepada dua ruang politik. Yaitu kepada Parlemen dan kepada Presiden. Sehingga masing-masing bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Melalui mekanisme pemilu 5 tahunan.

Selain melanggar prinsip Adendum, UUD hasil Amandemen 1999-2002 terdapat BAB yang kosong. Yaitu BAB IV. Karena BAB IV Pasal 16 tentang Dewan Pertimbangan Agung dihapus begitu saja.

Dan kalau kita bandingkan dengan Amandemen yang dilakukan di Amerika Serikat dan India, maka Amandemen di Indonesia adalah paling brutal dan massif.

Konstitusi asli Amerika Serikat terdiri dari 4.500 kata. Lalu dilakukan Amandemen 27 kali yang hanya menambah 2.500 kata.

Konstitusi India terdiri lebih dari 117.000 kata, dilakukan Amandemen 104 kali, hanya menambah 30.000 kata.

UUD 1945 asli sekitar 1.500 kata, dilakukan Amandemen empat tahap menjadi 4.500 kata, yang secara substansi juga berbeda dengan aslinya. Artinya terjadi perubahan besar-besaran dan tidak dilakukan dengan cara Adendum.

Hasilnya: Partai Politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. Dan hanya Partai Politik melalui Fraksi di DPR RI yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga negara.

Entitas civil society non-partisan terpinggirkan. Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan Partai Politik. Tanpa second opinion. Tanpa reserve.

Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all. Partai-Partai besar menjadi tirani mayoritas. Mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen.

Mereka juga bersepakat membuat Undang-Undang yang memberi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Sehingga lengkap sudah dominasi dan hegemoni Partai Politik. Untuk memasung Vox Populi dengan cara memaksa suara rakyat terhadap pilihan terbatas yang telah ditentukan.

Lantas dimana konsepsi dasar dan syarat utama dari Demokrasi Pancasila yang saya sebutkan tadi? Bahwa prinsip dasar dari Demokrasi Pancasila adalah semua terwakili.

Jawabnya sudah tidak ada lagi. Karena sejak Amandemen 1999-2002, Indonesia telah secara lebih tegas meninggalkan Demokrasi Pancasila, menjadi Demokrasi Liberal.

Begitu pula dengan sistem Ekonomi Nasional, Indonesia lebih tegas meninggalkan Sistem Ekonomi Pancasila yang menitikberatkan kepada pemisahan yang jelas antara wilayah Koperasi, BUMN dan Swasta, menjadi Sistem Ekonomi Kapitalistik.

Dimana 2 Ayat tambahan di Pasal 33, sehingga membuka peluang kepada Swasta Nasional maupun Asing untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, dengan dalih efisiensi.

Sehingga tidak heran, bila mereka yang kaya semakin kaya, dan yang miskin akan tetap miskin. Dan mereka yang kaya raya adalah segelintir orang yang menguasai separo kekayaan Indonesia.

Padahal negeri ini kaya raya. Sejatinya tidak ada kemiskinan akut di negeri ini. Selama tidak ada segelintir orang yang dengan brutal dan rakus menumpuk kekayaan, untuk kemudian dibawa keluar Indonesia.

Demokrasi Pancasila telah kita benamkan. Kita ganti dengan demokrasi liberal. Sehingga jangan heran. Bila Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan anggaran untuk Pemilu (Pileg dan Pilpres) tahun 2024 sebesar Rp. 86,2 triliun, dari uang kita di APBN. Dan untuk Pilkada tahun 2024, sebesar Rp. 26,2 triliun, dari uang kita di APBD masing-masing daerah.

Itu belum lagi uang kita yang harus dikeluarkan dari pos belanja Kepolisian, TNI, Kementerian Dalam Negeri, dan lembaga lain. Untuk memastikan Pileg, Pilpres dan Pilkada serentak berjalan sesuai prosedur demokrasi. Dan menghasilkan sesuatu yang harus kita anggap sebagai yang terbaik.

Sementara kita masih kerap mendengar, kekurangan anggaran untuk pembangunan di sana-sini. Kita masih mendengar terbatasnya anggaran kementerian dan lembaga di sektor-sektor strategis. Apakah itu pertanian dan pangan, kesehatan dan pendidikan.

Kita masih mendengar besarnya komponen impor di sektor kesehatan. Kita masih mendengar industri strategis nasional yang kalah bersaing dengan asing, dan akhirnya harus ditutup. Kita mendengar cerita utang negara yang terus bertambah. Dan segudang cerita lainnya.

Amandemen Konstitusi adalah produk hukum. Sesuai sifatnya; “Lex semper dabit remedium”, bahwa hukum harus selalu memberi obat. Bukan sebaliknya.

Dan pertanyaannya; demi semua inikah kita tinggalkan pemikiran luhur para pendiri bangsa dan sejarah kelahiran negara ini? Demi semua inikah kita benamkan Nilai-Nilai Pancasila?

Surabaya, 27 Desember 2021

Penulis adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Foto Terkait

Video Terkait​

Siaran Pers Terkait

Pidato Terkait