Tana Toraja, 21 September 2022
Bismillahirrohmannirrohim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera untuk kita semua,
Shalom.
Yang saya hormati dan banggakan;
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Hari ini saya akan menyampaikan gagasan dan pikiran tentang Peta Jalan, untuk mengembalikan kedaulatan rakyat dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dengan cara mengembalikan sistem demokrasi yang asli milik bangsa Indonesia. Yaitu sistem demokrasi Pancasila.
Sistem yang paling sesuai untuk Indonesia. Sistem yang paling sesuai untuk bangsa yang super majemuk. Dan sistem yang paling sesuai untuk negara kepulauan yang terpisah-pisah oleh lautan. Sekaligus sistem yang mampu mewadahi semua elemen bangsa.
Sistem Demokrasi Pancasila yang asli ditandai dengan adanya Lembaga Tertinggi Negara, yang merupakan wadah perwakilan dan penjelmaan rakyat Indonesia. Karena di dalam Lembaga Tertinggi tersebut, bukan hanya diisi oleh Partai Politik saja. Tetapi juga ada utusan dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Dan juga ada utusan golongan-golongan yang ada di Indonesia. Sehingga sistem demokrasi kita lengkap dan utuh. Tanpa ada yang ditinggalkan.
Sistem yang digali dan ditemukan serta disepakati oleh para pendiri bangsa kita ini pernah diterapkan di era Orde Lama dan Orde Baru. Namun karena belum sempat disempurnakan, sehingga terjadi praktek penyimpangan di masa itu. Karena itulah, dalam Peta Jalan yang saya tawarkan sebagai gagasan ini, saya sertakan perlunya kita sempurnakan, agar kita tidak mengulang praktek penyimpangan yang pernah terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.
Peta Jalan tersebut adalah kita kembalikan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, yaitu dengan adendum.
Mengapa kita harus kembali? Karena fakta yang terjadi pada saat bangsa ini melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam, bangsa ini telah mengganti sistem Demokrasi Pancasila dengan Sistem Demokrasi Liberal barat, dengan alasan untuk memperkuat sistem presidensial.
Sehingga hasilnya, dalam 20 tahun terakhir ini, Indonesia secara perlahan tapi pasti menjadi semakin liberal, kapitalis, sekuler dan individualis.
Ketimpangan dan kemiskinan struktural semakin sulit dientaskan. Karena segelintir orang telah menjadi Oligarki yang menguasai ekonomi dan menguasai sumber daya alam Indonesia.
Dan Oligarki Ekonomi tersebut mulai menyatu dengan Oligarki Politik, karena mereka juga masuk ke dalam lingkar kekuasaan dan politik. Sehingga semakin menyandera kebijakan negara untuk berpihak kepada kepentingan mereka.
Dan proses tersebut akan diteruskan dengan mendisain dan membiayai proses lahirnya pemimpin nasional berikutnya. Agar tetap dapat menyandera kebijakan-kebijakan yang harus berpihak kepada kepentingan mereka.
Inilah persoalan kita yang sesungguhnya. Sebagai akibat dari perubahan total Konstitusi kita pada tahun 1999 hingga 2002 silam. Dan yang membuat saya prihatin adalah, masih banyak elemen masyarakat yang tidak menyadari tentang perubahan dan dampak dari perubahan tersebut.
Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa perubahan Konstitusi yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 telah mengubah hampir 95 persen isi Pasal-Pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli.
Masih banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa perubahan itu telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi, karena isi dari Pasal-Pasal UUD baru tersebut justru menjabarkan ideologi lain, yaitu Liberalisme dan Individualisme.
Masih banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa perubahan itu sama dengan membubarkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, karena telah menghilangkan nilai perjanjian luhur bangsa Indonesia, dengan menghapus dokumen nasional sebagai identitas nasional, serta menghilangkan nilai Proklamasi sebagai suatu kelahiran baru.
Masih banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa perubahan itu merupakan pelanggaran terhadap norma hukum tertinggi yaitu Pancasila, karena telah menghapus peran MPR sebagai Lembaga Tertinggi yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan merombak total sistem demokrasi permusyawaratan-perwakilan, sebagai perwujudan sistem demokrasi Pancasila, khususnya Sila ke-empat.
Masih banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa perubahan itu telah menghapus ‘Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia’, dimana hal itu jelas melanggar diktum bahwa ‘Penjelasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pembukaan dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.’
Masih banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa perubahan itu telah membuat Negara ini meninggalkan azas Kesejahteraan Rakyat yang identik dengan konsep ekonomi Pemerataan menjadi ekonomi Pertumbuhan. Sehingga semakin memperkuat Oligarki Ekonomi, baik Swasta Nasional maupun Asing, untuk menguasai Sumber Daya Alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak.
Masih banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa perubahan itu telah terbukti merusak kohesi bangsa akibat Pemilihan Presiden langsung yang kemudian diperparah dengan pemberlakuan Ambang Batas Pencalonan atau Presidential Threshold.
Merenggangnya kohesi bangsa atau kohesi sosial ini sangat berbahaya. Karena bisa berakibat memudarnya kehendak hidup bersama. Padahal bagi bangsa super majemuk seperti Indonesia, membangun kohesi sosial jauh lebih sulit dibanding bangsa yang lebih homogen.
Masih banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa perubahan itu telah membuka peluang pencaplokan Indonesia oleh Bukan Orang Indonesia Asli. Karena perubahan itu telah mengubah Pasal 6 Konstitusi dengan menghapus kalimat; Presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli, diganti menjadi warga negara Indonesia.
Maka, ancaman bahwa bukan orang Indonesia asli untuk menguasai Indonesia dapat dengan mudah dilakukan. Apalagi jika mereka telah menguasai perekonomian dan politik. Tinggal selangkah lagi, yaitu menjadi presiden atau wakil presiden.
Dan masih banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa perubahan itu telah memberikan kekuasaan penuh kepada partai politik untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini.
Karena faktanya, hanya DPR RI yang merupakan representasi Partai Politik yang berkuasa di Legislatif. Sedangkan DPD RI yang merupakan representasi peserta Pemilu Perseorangan jumlahnya saja tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR RI. Bahkan DPD RI tidak memiliki kekuasaan sebagai pembentuk Undang-Undang.
Bapak Ibu dan para mahasiswa yang saya banggakan,
Jadi, tugas utama kita semua hari ini adalah mempercepat dan memperluas kesadaran ini kepada seluruh masyarakat. Terutama masyarakat di lapis bawah. Karena perjuangan ini adalah perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Bahwa kita tidak bisa terus-menerus seperti ini. Kita tidak bisa terus menerus mengikuti sistem yang tidak cocok dan tidak tepat untuk bangsa yang super majemuk ini.
Kita tidak bisa terus menerus dalam keadaan defisit APBN yang kemudian harus kita tutupi dengan terus menerus berhutang keluar negeri. Sehingga kita tidak mampu menyiapkan diri menghadapi perubahan global karena keterbatasan kemampuan finansial.
Kita tidak bisa terus menerus membiarkan perekonomian tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar, sehingga membuat semakin tinggi gap dan ketimpangan kekayaan antara segelintir orang dengan ratusan juta rakyat yang berkubang dalam kemiskinan.
Untuk itu saya menawarkan gagasan untuk kita kembalikan sistem demokrasi asli bangsa Indonesia, yaitu sistem demokrasi Pancasila, dengan cara kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara adendum. Sehingga tidak mengubah sistem Demokrasi Pancasila.
Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Bagi para mahasiswa yang berminat memperlajari Peta Jalan tersebut, dapat melihat di website saya, di alamat; lanyalla center dot id.
Terima kasih atas perhatian Bapak Ibu dan para mahasiswa yang saya banggakan, semoga ikhtiar ini mendapat ridlo dari Allah SWT. Amiin.
Wabillahi Taufiq wal Hidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ketua DPD RI
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti