Minggu, Oktober 13, 2024

Kuliah Umum Ketua DPD RI “Rekonstruksi Terhadap Kewenangan Istimewa Lembaga Legislatif di Indonesia Melalui Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Loading

Universitas Sumatera Utara, Rabu 24 Agustus 2022

Bismillahirrohmannirrohim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera untuk kita semua.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.

Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.

Saya sampaikan terima kasih kepada PEMA dan IKA Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan hari ini.

Tema tentang Konstitusi yang dipilih oleh panitia memang sesuai dengan apa yang sedang diperjuangkan oleh DPD RI, khususnya saya sebagai Ketua DPD RI, agar persoalan Konstitusi ini menjadi diskursus bangsa. Karena bagi saya, persoalan Konstitusi adalah pengaturan di sektor Hulu, sehingga dampaknya bisa kita rasakan di Hilir.

Bapak Ibu dan Para Mahasiswa yang saya hormati,
Para pendiri bangsa telah merumuskan satu sistem yang paling ideal untuk Indonesia, sebagai bangsa yang super majemuk, dengan ratusan pulau yang berpenghuni yang terpisah-pisah oleh lautan, dengan 512 suku penghuni di pulau-pulau tersebut.

Negara kepulauan yang jarak bentang antara Sabang sampai Merauke sama dengan jarak antara London sampai Khazakhstan. Sedangkan bentangan dari Miangas sampai Pulau Rote sama dengan jarak Moskow sampai Kairo.

Sehingga para pendiri bangsa memutuskan bangsa ini tidak akan bisa menjalankan sistem demokrasi liberal barat murni, atau sistem komunisme timur. Karena itu dipilihlah Sistem Demokrasi Pancasila. Karena hanya sistem demokrasi Pancasila yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari unsur perwakilan dan unsur penjelmaan rakyat.

Sehingga ciri utama dan yang mutlak harus ada dalam Sistem Demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, yang terpisah-pisah, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini. Sehingga terjadi perwakilan rakyat dan penjelmaan rakyat.

Siapakah semua elemen bangsa yang harus berada di Lembaga Tertinggi Negara yang merupakan perwakilan dan penjelmaan dari Kedaulatan Rakyat tersebut?

Pertama, harus ada: Anggota DPR yang merupakan Representasi dari Partai Politik.

Kedua, harus ada: Utusan Daerah yang merupakan Representasi seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. Mereka adalah wakil-wakil dari daerah; meskipun daerah tersebut terpencil, terisolasi secara sosial-kultural, atau daerah khusus dan sebagainya.

Ketiga, harus ada: Utusan Golongan yang merupakan Representasi etnis tertentu sebagai unsur kebhinnekaan, badan-badan kolektif, koperasi, petani, nelayan, veteran, para raja dan sultan Nusantara, ulama dan rohaniawan, cendekiawan, profesional, guru, seniman dan budayawan, maha putra bangsa, penyandang cacat dan seterusnya. Termasuk di dalamnya TNI dan Polri.

Dengan demikian utuhlah demokrasi kita, semuanya terwadahi. Sehingga menjadi demokrasi yang berkecukupan. Tanpa ada yang ditinggalkan.

Itulah konsep Demokrasi Pancasila yang tertuang dalam Konstitusi Asli Indonesia yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945.

Untuk kemudian mereka bersama-sama Menyusun Arah Perjalanan Bangsa melalui GBHN dan Memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris atau petugas yang diberi mandat. Sehingga Presiden adalah petugas rakyat. Bukan petugas partai.

Karena rakyatlah yang menentukan cara bagaimana mereka, –rakyat pemilik kedaulatan ini–, harus diperintah oleh pemerintah yang dibentuk oleh rakyat itu sendiri.

Karena pada hakikatnya: Kedaulatan Rakyat itu adalah ‘Supreme’ atau ‘Yang Tertinggi’. Sehingga perwakilan dan penjelmaan seluruh elemen rakyat terwujud tanpa ada yang ditinggalkan dan berada di Lembaga Tertinggi di negara ini.

Itulah Sistem Demokrasi asli yang sesuai dengan D.N.A bangsa ini. Sistem yang tertulis di dalam Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, dengan struktur urutan: Pembukaan, Batang Tubuh yang terdiri dari Bab serta Pasal, dan Penjelasan.

Dimana Pembukaan UUD sebagai Staats fundamental norm atau norma hukum tertinggi yang juga menempatkan cita-cita dan tujuan nasional serta Pancasila sebagai grondslag.

Sedangkan Pasal-Pasal di dalam UUD 1945, adalah penjabaran atau derifatif yang koheren dengan basis filosofi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Dan dilengkapi Penjelasan UUD 1945 yang menjelaskan empat hal mendasar. Yaitu; Makna Undang-Undang Dasar, Pokok-Pokok Pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, Sistem Pemerintahan Negara dan Pasal-Pasal.

Tetapi pada tahun 1999 hingga 2002 dilakukan perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945 sebanyak 4 tahap. Sehingga lahirlah Konstitusi baru. Yang menghapus total Penjelasan, dan mengganti 95 persen isi pasal-pasalnya. Sekaligus mengubah Sistem Demokrasi yang dirumuskan para pendiri bangsa, menjadi sistem demokrasi barat dengan memberikan kekuasaan kepada Partai Politik dan Presiden – Wakil Presiden yang dipilih langsung.

Konstitusi baru tersebut telah dikaji dan diteliti oleh Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada dengan peneliti di antaranya Profesor Kaelan dan Profesor Sofian Effendi, dimana ditemukan bahwa perubahan yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 itu bukanlah Amandemen Konstitusi. Tetapi penggantian Konstitusi. Sehingga Profesor Kaelan tidak sependapat bila Konstitusi baru itu tetap disebut sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Seharusnya disebut sebagai Undang-Undang Dasar 2002.

Karena secara fundamental ada beberapa hal yang terjadi dalam proses Penggantian UUD yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 tersebut.

Yang pertama adalah Pembubaran Negara Proklamasi. Karena berdasarkan analisis fungsi dan tujuan konstitusi, maka penggantian UUD 1945 dengan UUD 2002 merupakan suatu penggantian norma fundamental negara. Sehingga pada hakikatnya Pemberlakuan UUD 2002 sama halnya dengan pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

UUD 2002 memang masih mencantumkan dasar filsafat negara Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 Alinea IV. Namun penjabaran dalam pasal-pasal UUD 2002 tersebut merupakan penjabaran dari ideologi lain, yaitu: Liberalisme-Individualisme.

Karena logika dari pasal-pasal yang ada sudah tidak konsisten dan tidak koheren dengan basis filosofi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Hal ini seperti disampaikan Komisi Konstitusi MPR RI, dimana disebutkan: UUD 2002, telah menghilangkan nilai perjanjian luhur bangsa Indonesia, meniadakan nilai Proklamasi sebagai suatu kelahiran baru, menghapus dokumen nasional yang mengandung suatu perjanjian luhur bangsa, sebagai identitas nasional dan lambang persatuan.

Yang kedua adalah Penghilangan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi. Karena identitas suatu konstitusi adalah merupakan suatu esensi dan substansi dari suatu konstitusi, sekaligus suatu ciri khas suatu konstitusi. Dimana ciri dari Konstitusi yang berdasar Pancasila ada di Sila ke-Empat dan Sila ke-Tiga yang menjadi penjelmaan seluruh elemen rakyat di dalam Lembaga Tertinggi Negara.

Karena peran MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang melaksanakan sekaligus penjelmaan kedaulatan rakyat dan pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan Republik Indonesia telah dibubarkan.

UUD 2002 juga menghapus sistem pembangunan dan sistem ekonomi berbasis perencanaan dengan menghapus GBHN yang merupakan instrumen kebijakan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan Sila ke-Lima Pancasila.

Yang ketiga adalah Menghapus Penjelasan UUD 1945. Fakta bahwa UUD 2002 tidak memiliki Penjelasan sudah dinyatakan sendiri dalam Aturan Tambahan UUD 2002. Hal ini jelas melanggar diktum bahwa “Penjelasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pembukaan dan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.”

Inilah yang disebut sebagai Kudeta Terselubung terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dan menggunakan Pancasila sebagai grondslag dan staats fundamental norm Pancasila.

Yang keempat adalah Meninggalkan Kesejahteraan Sosial. Penghapusan Penjelasan UUD 1945 telah menjadi kunci berubahnya orientasi Pasal 33 di UUD 2002, dari sebelumnya di Naskah Asli mengatur Kesejahteraan Sosial, menjadi mengatur Perekonomian Nasional.

Bahkan dalam UUD 2002 Pasal 33 menjadi 5 Ayat, dengan penambahan Ayat 4 dan Ayat 5. Yang akibatnya menghasilkan turunan sekitar 25 Undang-Undang yang bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 1, 2 dan 3. Dan sekitar 115 Undang-Undang yang bertentangan dengan Pancasila. Angka ini adalah hasil penelitian yang dilakukan Profesor Sri Edi Swasono.

Itulah mengapa sistem ekonomi yang seharusnya berorientasi “Daulat Rakyat” menjadi “Daulat Pasar” yang semakin liberal dan kapitalistik.

Akibatnya, Swasta Nasional maupun Asing yang berkolaborasi melalui pasar modal dan share holder dapat dengan mudah menguasai Sumber Daya Alam negara ini. Termasuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Sehingga segelintir orang yang telah diverifikasi dalam beberapa riset lembaga yang kredibel disebutkan menguasai dan menguras kekayaan alam Indonesia. Sementara ratusan juta rakyat hanya jadi penonton. Ketidakadilan inilah yang menjadi salah satu faktor penyumbang kemiskinan struktural.

Ketidakadilan inilah yang membuat Oligarki Ekonomi semakin membesar dan menguat dalam dua dasawarsa ini. Dan kemiskinan struktural tidak kunjung dapat diatasi oleh negara.

Ketidakadilan itu terjadi karena Oligarki Ekonomi telah menyandera kekuasaan dengan kekuatan modal dan uang yang didapat dari pengerukan kekayaan alam negara ini. Karena fakta yang telah diteliti oleh banyak pemerhati dan akademisi, bahwa Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai lahirnya pemimpin nasional, akan menyandera kekuasaan untuk berpihak kepada kepentingan mereka. 


Yang kelima adalah Merusak Kohesi Bangsa. Karena fakta, bahwa UUD 2002 telah terbukti menjadi penyebab merenggangnya kohesi sosial akibat pemilihan presiden dan pilkada langsung. Merenggangnya kohesi sosial ini juga menyumbang memudarnya kehendak hidup bersama. Dan memudarnya kehendak hidup bersama dipicu oleh ketidakadilan dan ketidakmakmuran ekonomi. Situasi ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa.

Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Sehingga marak Islamophobia. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak ada satupun tesis yang menyebutkan pertentangan antara Pancasila dengan Islam dan agama apapun.

Padahal bagi bangsa super majemuk seperti Indonesia, membangun kohesi sosial jauh lebih sulit dan lebih vital dibanding bangsa yang lebih homogen. Karena proses peleburan aneka kelompok yang super majemuk dengan segala kepentingannya ke dalam Kuali Kebangsaan ini hanya dimungkinkan oleh semangat gotong-royong dan musyawarah para hikmat.

Bapak Ibu dan Para Mahasiswa yang saya hormati,
Kita sudah seharusnya bisa membedakan apa itu ‘Nilai’ dan apa itu ‘Praktek’ dari nilai.

UUD 1945 dengan naskah asli pernah dipraktekkan oleh Orde Lama dan Orde Baru. Kedua rezim tersebut pernah melakukan praktek penyimpangan dari nilai UUD 1945.

Karena itulah selalu saya katakan, bahwa gerakan kembali ke Naskah Asli UUD 1945 harus diikuti dengan Penyempurnaan melalui Adendum. Bukan penggantian Konstitusi baru yang justru meninggalkan Pancasila dan meniru copy paste demokrasi Liberal yang diusung negara-negara Barat.

Nilai dari UUD 1945 asli yang merupakan pemikiran luhur para pendiri bangsa harus kita kembalikan, dengan menyempurnakan beberapa kelemahan yang ada.

Amerika Serikat melakukan Amandemen dengan adendum sebanyak 27 kali. India melakukan 104 kali. Tetapi sama sekali tidak menghapus identitas Konstitusi dan Sistem bernegara mereka.

Kalau pun mengganti dengan sistem baru, harus dinyatakan secara terang benderang, seperti yang dilakukan Perancis, yang secara tegas menyatakan meninggalkan bentuk Monarchi menjadi Republik. Sehingga di dalam Konstitusinya tertulis larangan untuk melakukan perubahan yang mengancam bentuk Republik negaranya.

Sedangkan Indonesia, tetap menempatkan Pancasila di dalam Pembukaan UUD 2002, tetapi sudah tidak koheren dan tidak derivatif lagi terhadap isi Pasal-Pasalnya. Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena Penghilangan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi dilakukan secara ‘malu-malu tapi mau’.

Inilah yang kerap saya sebut, kita sebagai bangsa, telah durhaka kepada para pendiri bangsa, yang telah menggali dan merumuskan Pancasila sebagai sebuah wadah yang utuh untuk bangsa yang super majemuk ini.

Bapak Ibu dan Para Mahasiswa yang saya hormati,
Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staats fundamental norm.

Sehingga bangsa ini harus kembali mengingat kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Karena dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam, yakni Res-Publica, yang artinya ‘Kemaslahatan Bersama’ dalam arti seluas-luasnya.

Akhir kata, semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk jalan yang lurus, memberikan rahmat dan hidayah kepada kita semua. Amiin.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.

 

Ketua DPD RI

 

AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Foto Terkait

WhatsApp Image 2022 08 24 at 16.43.36 1
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattailtti Menjadi Pembicara Pada Kuliah Umum Universitas Sumatera Utara

Berita Foto Terkait

Video Terkait

Pidato Terkait