Rabu, Januari 15, 2025

Kuliah Umum Ketua DPD RI Wawasan Kebangsaan Mengembalikan Kedaulatan & Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia Universitas Madura

Loading

Sabtu, 8 Juli 2023

Bismillahirrohmannirrohim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera untuk kita semua.

Yang saya hormati dan banggakan;
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.

Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.

Saya sampaikan terima kasih kepada Civitas Akademika Universitas Madura, yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dalam Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan yang diselenggarakan hari ini.

Bapak Ibu dan Para Mahasiswa yang saya banggakan,
Tema kita hari ini adalah; Mengembalikan Kedaulatan Rakyat dan Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia. Artinya, saat ini rakyat berada dalam posisi tidak berdaulat. Sekaligus belum sejahtera.

Kita akan uji hipotesa tersebut. Yang pertama tentang kedaulatan rakyat. Benarkah rakyat saat ini tidak berdaulat? Dan yang kedua tentang kesejahteraan rakyat. Benarkah rakyat sulit menggapai kesejahteraan?

Mahasiswa sebagai insan terdidik tentu memiliki tanggung jawab untuk mampu membaca dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis sebagai seorang intelektual. Sehingga dapat membaca situasi dan kondisi secara utuh dan dari semua sisi.

Jika kita bicara hakikat dari Demokrasi, tentu ada satu syarat utama yang harus dipenuhi. Yaitu sistem bernegara yang menjamin rakyat, sebagai pemilik negara punya saluran, baik langsung maupun tidak langsung untuk terlibat dalam perumusan, pengembangan serta pembuatan hukum. Sehingga dengan kata lain, rakyat sebagai pemilik kedaulatan, ikut menentukan arah perjalanan bangsa dan negaranya.

Arah perjalanan bangsa dan negara tentu dipandu dengan Konstitusi sebagai norma hukum tertinggi, yang kemudian dijabarkan dengan Undang-Undang sebagai alat yang memaksa semua warga negara untuk taat dan menjalankan.

Di sinilah akar masalahnya. Sejak era Reformasi, ketika bangsa dan negara ini melakukan Perubahan Konstitusi, melalui Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 di tahun 1999 hingga 2002 silam, isi Pasal-Pasal di dalam Naskah Asli telah diubah sebanyak 95 persen lebih. Sehingga isi dari Pasal-Pasal di dalam Konstitusi yang dihasilkan di era Reformasi itu sudah mengganti Sistem Bernegara Indonesia, dari sebelumnya Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, diubah menjadi Partai Politik dan Presiden Terpilih yang menjadi pelaksana kedaulatan rakyat.

Akibatnya; kekuasaan dalam menjalankan negara sejak saat itu hanya berada di tangan Ketua Partai dan Presiden terpilih. Sehingga, jika Presiden terpilih membangun koalisi dengan Ketua-Ketua Partai, maka kemanapun negara ini akan dibawa, terserah mereka. Rakyat sama sekali tidak memiliki ruang kedaulatan.

Meskipun ada Dewan Perwakilan Daerah, yang merupakan wakil dari daerah, tetapi pada faktanya di dalam Konstitusi, DPD RI bukan pembentuk Undang-Undang, sehingga jika sekarang banyak rakyat yang kecewa dengan Undang-Undang yang ada, maka DPD RI tidak bisa secara maksimal memperjuangkan.

Inilah sistem bernegara hasil dari era Reformasi. Sehingga yang terjadi, Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi semakin membesar dan menguasai negara. Karena terjadi hubungan timbal balik antara Oligarki Politik dan Oligarki Ekonomi akibat biaya politik yang mahal di dalam Pemilihan Presiden secara langsung. Begitu pula dengan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secara langsung.

Sehingga, selama sistem Liberal ini kita tempuh, maka siapapun calon presiden Indonesia, pasti tidak akan mampu membiayai mahalnya biaya Pilpres. Sehingga pasti melibatkan Oligarki Ekonomi yang selama ini memang semakin mendekat ke dalam lingkar kekuasaan, baik di dalam Partai Politik, maupun di dalam Kabinet Presiden.

Sehingga sekali lagi, produk Undang-Undang, yang bersifat mengikat seluruh penduduk Indonesia, hanya dihasilkan oleh anggota DPR yang merupakan kepanjangan tangan Ketua Umum Partai. Tanpa mekanisme check and balances, bahkan seringkali tanpa keterlibatan publik yang cukup, atau public meaningful participation.

Dan kita sekarang menyaksikan lahirnya puluhan Undang-Undang yang pro kepada mekanisme pasar dalam penataan ekonomi nasional. Karena faktanya, sampai hari ini kesejahteraan dan kekayaan hanya dinikmati segelintir orang. Sementara jutaan rakyat dalam keadaan miskin, dan puluhan juta lainnya sangat berpotensi untuk menjadi miskin.

Karena data menunjukkan, kondisi ekonomi Indonesia sejujurnya dalam keadaan yang tidak sehat. Karena angka ICOR atau Incremental Capital Output Ratio kita, yang merupakan alat ukur Total Factor Productivity dan Ukuran Besaran Investasi, ternyata Indonesia tercatat lebih buruk dari negara-negara tetangga kita di Asean.

Angka ICOR kita yang lebih buruk dari negara-negara tetangga itu, menandakan bahwa perekonomian Indonesia tidak efisien, yang artinya penggunaan anggaran belanja pemerintah tidak menghasilkan output yang optimal.

Hal itu dipicu oleh rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia, tingginya biaya logistik, dan rumitnya birokrasi yang memicu munculnya pungli serta korupsi.

Sehingga dalam 25 tahun terakhir ini, kita melihat semakin banyak keganjilan atau paradoksal yang terjadi di tengah-tengah kita. Bahkan Amanat Reformasi yang dituntut para mahasiswa saat itu, di antaranya adalah menghapus Korupsi, Kolusi dan Nepostisme, faktanya di tahun 2022 yang lalu, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia malah meningkat tajam.

Mengapa ini terjadi? Karena sejak Amandemen di era Reformasi tersebut, Negara tidak lagi berdaulat untuk menyusun ekonomi. Karena ekonomi dipaksa disusun oleh mekanisme pasar bebas.

Negara tidak lagi berkuasa penuh atas bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, karena cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak sudah dikuasai swasta.

Sehingga hipotesa bahwa kesejahteraan rakyat semakin jauh dari harapan terbukti benar. Rakyat hanya bisa menjalani hidup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Tetapi cita-cita lahirnya negara ini, yaitu Memajukan Kesejahteraan Umum dan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dengan muara terwujudnya Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, terasa semakin jauh dari kenyataan.

Bapak Ibu dan Para Mahasiswa yang saya banggakan,
Dahulu, para pendiri bangsa kita, telah merumuskan suatu sistem demokrasi yang memberi ruang rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk duduk di Lembaga Tertinggi Negara, yaitu di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dimana mereka mendapat tempat sebagai Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Selain ada juga anggota DPR yang dipilih melalui Pemilu Legislatif.

Sehingga, MPR itu adalah penjelmaan seluruh elemen bangsa. Menjadi sebuah sistem Demokrasi yang berkecukupan atau sufficient, karena menampung semua elemen bangsa tanpa ada yang ditinggalkan.

Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, MPR menyusun Haluan Negara dan Memilih Presiden. Sehingga Presiden tunduk di bawahnya, karena Presiden menjadi petugas MPR, alias Petugas Rakyat. Bukan Petugas Partai. Karena MPR adalah pelaksana Kedaulatan Rakyat. Sehingga Presiden sebagai kepala pemerintahan wajib melaksanakan Haluan Negara yang disusun oleh MPR.

Konsep bernegara yang sangat baik tersebut sayangnya belum pernah diterapkan secara sempurna di era Orde Lama dan Orde Baru. Karena di era Orde Lama, dari tahun 1945 hingga tahun 1966, MPR belum dapat dibentuk secara utuh dan konsisten. Karena situasi saat itu yang tidak mendukung. Akibat beberapa perubahan Model Konstitusi dan adanya Agresi Militer Belanda serta beberapa pemberontakan di dalam negeri.

Di era Orde Baru, rumusan para pendiri bangsa tersebut malah tidak diterapkan secara benar. Justru terjadi penyimpangan terang-terangan. Karena MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara faktanya tidak menjadi Penjelmaan Rakyat, karena Utusan Daerah dan Utusan Golongan secara tidak langsung ditentukan oleh Presiden. Bahkan anggota DPR dipenuhi oleh Golongan Karya, yang ditopang oleh kekuatan Birokrasi dan Militer serta anggota Golongan Karya itu sendiri.

Dan lebih celaka lagi, Sistem Rumusan para pendiri bangsa yang ideal untuk Indonesia tersebut, justru kita buang dan kubur di era Reformasi 25 tahun yang lalu melalui Perubahan Konstitusi.

Bapak Ibu dan Para Mahasiswa yang saya banggakan,
Oleh karena itu tidak ada pilihan. Sistem bernegara saat ini yang diakibatkan oleh Kecelakaan Perubahan Konstitusi di era Reformasi harus kita akhiri dengan cara kembali kepada rumusan asli sistem bernegara dan sistem ekonomi Pancasila.

Karena hanya sistem Demokrasi Pancasila yang memiliki Lembaga Tertinggi yang mampu menampung semua elemen bangsa sebagai bagian dari Penjelmaan Rakyat.

Sehingga ciri utama dan yang mutlak harus ada dalam Sistem Demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, yang terpisah-pisah, harus berada sebagai pemilik Kedaulatan Utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini, yaitu di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR.

Itulah konsepsi sistem bernegara kita yang tertuang di dalam Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945. Dimana terdapat wakil-wakil yang dipilih. Dan utusan-utusan yang diutus untuk berada di MPR.

Wakil-wakil yang dipilih, adalah peserta Pemilihan Umum. Sedangkan Wakil-wakil yang diutus, adalah mereka yang diusung dan diberi amanat oleh kelompok mereka.

Sehingga dirumuskan terdapat dua utusan. Utusan Daerah; yaitu mereka para tokoh masyarakat adat dan Raja serta Sultan Nusantara. Sedangkan Utusan Golongan adalah mereka yang terdiri dari unsur organisasi masyarakat dan organisasi profesi yang aktif memberi kontribusi untuk kemajuan Indonesia.

Dengan demikian, maka utuhlah demokrasi kita. Semuanya terwadahi. Sehingga menjadi demokrasi yang berkecukupan. Tanpa ada yang ditinggalkan.

Untuk kemudian mereka bersama-sama Menyusun Arah Perjalanan Bangsa melalui GBHN dan Memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris atau petugas yang diberi mandat. Sehingga Presiden adalah petugas rakyat. Bukan petugas partai. 

Disain atau Rumusan Asli Sistem Bernegara para pendiri bangsa itu tidak mengenal Sistem Bi-Kameral. Tidak mengenal Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui Pemilu.

Oleh karena itu, sebagai tawaran penyempurnaan Undang-Undang Dasar Naskah Asli melalui Amandemen dengan Teknik Adendum, saya mengusulkan agar Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, tidak hanya diisi oleh Peserta Pemilu dari Unsur Partai Politik saja. Tetapi juga diisi oleh Peserta Pemilu dari Unsur Perseorangan.

Sehingga anggota Dewan Perwakilan Daerah yang juga dipilih melalui Pemilu dari unsur perseorangan, berpindah menjadi satu kamar di DPR RI. Karena pada hakikatnya mereka sama-sama dipilih melalui Pemilu.

Dengan adanya anggota DPR RI peserta pemilu dari unsur perseorangan atau Non-Partai tersebut, akan membawa dampak positif setidaknya dalam 3 hal.

Pertama; Memperkuat mekanisme check and balances terhadap eksekutif, apabila terjadi koalisi besar partai politik dengan pemerintah. Kedua, proses pembuatan Undang-Undang di DPR tidak hanya kita serahkan kepada kepanjangan tangan Partai Politik saja. Tetapi juga dilakukan oleh People Representative di dalam DPR. Dan ketiga; Sebagai penyeimbang dan penentu dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di DPR RI, karena anggota dari Unsur Non-Partai tidak dapat dikendalikan oleh Ketua Umum Partai.

Sedangkan Utusan Daerah dan Utusan Golongan harus diberi hak untuk memberikan pertimbangan yang wajib diterima oleh DPR RI dalam penyusunan Undang-Undang. Hal itu sekaligus sebagai penguatan fungsi Public Meaningful Participation atau keterlibatan publik dalam penyusunan Undang-Undang.

Sehingga hasil akhirnya, kita memperkuat sistem bernegara yang telah dirumuskan para pendiri bangsa, tanpa mengubah struktur atau konstruksi sistem bernegara, dimana penjelmaan rakyat harus berada di Lembaga Tertinggi Negara.

Lalu bagaimana caranya? Jawabnya; kita dorong lahirnya Konsensus Nasional, agar bangsa ini kembali kepada Pancasila. Dengan mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli, untuk kemudian kita amandemen dan sempurnakan kelemahannya dengan teknik addendum. Tanpa mengubah sistem bernegaranya.

Inilah Peta Jalan yang sekarang sedang saya tawarkan kepada bangsa ini. Mari kita perbaiki kelemahan naskah asli Konstitusi kita. Tetapi jangan kita mengubah total Konstruksi Bernegara yang telah dirumuskan para pendiri bangsa.

Akhir kata, semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk jalan yang lurus, memberikan rahmat dan hidayah kepada kita semua. Amiin yaa robbal alamiin.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwomit Thoriq,
Wassalamualaikum Wr. Wb.

 

Ketua DPD RI
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Foto Terkait

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengisi Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan dengan tema 'Mengembalikan Kedaulatan dan Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia di Universitas Madura, Sabtu (8/7/2023).
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengisi Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan di Universitas Madura

Berita Foto Terkait

Video Terkait

Pidato Terkait