Rabu, Januari 15, 2025

Materi Ketua DPD RI Focus Group Discussion Ditjian Ideologi dan Politik Lemhannas RI “Konstitusionalitas Haluan Negara Guna Menjaga Kesinambungan Pembangunan Nasional”

Sub Tema: “Konsep Konstitusionalitas Haluan Negara dan Posisi Strategis DPD dalam Kesinambungan Pembangunan Nasional”

Loading

Jakarta, 28 Agustus 2023

Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua.

Saya sampaikan terima kasih kepada Gubernur Lemhannas Republik Indonesia, Bapak Andi Widjajanto, yang mengundang saya untuk menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam FGD yang diselenggarakan hari ini.

Sebelum saya masuk dalam pemaparan tema dan sub tema yang diberikan kepada saya, ijinkan saya untuk memberi ‘Haluan’ terlebih dahulu bagi kita semua, dengan beberapa pertanyaan retorik, yang tidak perlu dijawab. Karena saya yakin, Bapak Ibu dan Hadirin yang berada di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia pada hari ini pasti punya spirit kejuangan, nasionalisme dan patriotisme.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah;
1. Apakah Bapak Ibu Saudara masih menganggap bahwa Pancasila itu penting bagi bangsa dan negara ini?
2. Apakah Bapak Ibu Saudara masih menganggap bahwa Pancasila itu Falsafah Dasar Republik ini?
3. Apakah Bapak Ibu Saudara masih menganggap bahwa Pancasila itu merupakan Norma Hukum Tertinggi?
4. Apakah Bapak Ibu Saudara setuju bahwa Pancasila harus menjadi Identitas Konstitusi Indonesia?
5. Apakah Bapak Ibu Saudara sependapat bahwa nilai-nilai Pancasila yang digali oleh para pendiri bangsa, yang terdiri dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, merupakan nilai-nilai dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di negara yang super majemuk ini?

Bapak Ibu peserta FGD yang saya hormati,
Negara ini lahir dari negara-negara lama dan bangsa-bangsa lama yang telah menghuni kepulauan Nusantara ini. Negara-negara lama itu adalah kerajaan dan kesultanan Nusantara. Sedangkan bangsa-bangsa lama adalah masyarakat adat yang berbasis suku, marga dan nagari yang menghuni kepulauan Nusantara ini.

Negara yang jarak bentang dari Sabang sampai Merauke sama dengan jarak dari London ke Kazakhstan. Sedangkan jarak bentang dari Miangas sampai Pulau Rote sama dengan jarak bentang dari Moskwo ke Kairo. Dan Alhamdulillah saya sudah kunjungi semua provinsi dan lebih dari 300 kabupaten dan kota di Indonesia, sebagai amanat dan tugas saya sebagai Ketua DPD RI.

Oleh karena itu, Indonesia adalah negara super majemuk. Karena penduduk Indonesia, selain terpisah-pisah oleh lautan, menurut data Indonesia.Go.Id, dihuni oleh lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa dengan bahasa, adat, agama, dan budaya yang berbeda-beda.

Sehingga Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara homogen di Eropa Timur atau Barat. Juga berbeda dengan Amerika Serikat yang mengaku sebagai negara multi RAS, tetapi pada dasarnya dibangun oleh pendatang dari Inggris Raya.

Inilah mengapa, para pendiri bangsa berpikir serius untuk menemukan suatu Azas dan Sistem bernegara yang paling sesuai untuk Indonesia. Azas dan Sistem yang digali dari nilai-nilai Asli bangsa Nusantara ini, untuk dapat mengikat dan menyatukan negara yang super majemuk ini.

Oleh karena itu, ditemukanlah Pancasila sebagai Falsafah Dasar Bangsa ini. Sekaligus sebagai Norma Hukum Tertinggi yang menjadi Identitas Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sehingga dirumuskan menjadi Azas dan Sistem Demokrasi Pancasila. Yang di dalamnya mengatur sistem bernegara Pancasila dan sistem ekonomi Pancasila.

Azas dan Sistem inilah yang disebut sebagai azas dan sistem tersendiri. Bukan sistem barat. Juga bukan sistem timur. Sistem Tersendiri ini karena antara Proklamasi dengan Konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 adalah ‘Dwi Tunggal’.

Karena Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah kemerdekaan yang diproklamirkan, sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah deklarasi atas kemerdekaan tersebut.

Proklamasi adalah puncak dari sumber kekuatan dan sumber tekad perjuangan bangsa ini. Sedangkan Konstitusi adalah prinsip dan pedoman untuk mengisi kemerdekaan itu.

Pemikiran tentang hal ini sudah tuntas dikaji oleh para pendiri bangsa dalam sidang-sidang BPUPK dan PPKI seperti tertulis dengan rapi di dalam buku Risalah Sidang BPUPK dan PPKI yang diterbitkan Setneg pada tahun 1998.

Juga bisa kita dalami dari Pidato Presiden Soekarno, yang disampaikan di Universitas Airlangga Surabaya, pada tanggal 24 September 1955.

Sehingga antara Proklamasi dan Konstitusi itu sebenarnya mengikat bangsa Indonesia kepada beberapa prinsip sendiri, sekaligus memberi tahu kepada seluruh dunia tentang apa prinsip-prinsip kita itu.

Itulah sistem tersendiri yang seharusnya kita jaga dan kita banggakan. Seperti halnya disiplin ilmu hukum, yang tidak mau dimasukkan ke dalam penggolongan ilmu eksak, atau ilmu sosial, bahkan ilmu humaniora. Tetapi ilmu hukum adalah ilmu tersendiri. Dan itu tentu menjadi kebanggaan bagi ahli-ahli ilmu hukum.

Bapak Ibu peserta FGD yang saya hormati,
Sistem terbaik hasil rumusan para pendiri bangsa itu akhirnya kita buang dan kita kubur di era Reformasi, hanya gara-gara kita menganggap sistem tersebut identik dengan perilaku Orde Baru. Padahal apa yang dipraktekkan oleh Orde Baru adalah penyimpangan dari rumusan luhur tersebut.

Akibatnya kita mengubah Konstitusi dan mengadopsi sistem bernegara ala Barat. Sehingga sejak saat itu, kita telah menghilangkan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi. Karena kita tidak lagi menjalankan Azas dan Sistem Bernegara yang sesuai dengan Falsafah Dasar bangsa ini. Tetapi kita menjalankan Sistem Bernegara yang meniru bangsa-bangsa Barat.

Karena adanya teori-teori tata negara ala barat yang dijejalkan kepada para mahasiswa kita. Dengan dalih penguatan sistem presidensial. Dengan dalih pemisahan kekuasaan. Dengan dalih pendekatan trias politica dan lain-lain. Lalu kita merasa menjadi sebagai The Second Founding Fathers. Merasa yang paling mengerti dan mengalami suasana kebatinan sejarah bangsa Nusantara dan sejarah kemerdekaan Indonesia.

Siapa yang memberi hak mutlak kepada mereka untuk mengatakan bahwa sistem bernegara ala barat itu terbaik untuk Indonesia? Sangat cocok untuk Indonesia? Sesuai dengan nilai bangsa Indonesia?

Lalu kita ubah Konstitusi bangsa ini. Tidak dengan Teknik Adendum. Tetapi mengganti sistem bernegara. Menghancurkan ruang penjelmaan rakyat sebagai ciri dari Pancasila. Menghapus konsep sistem demokrasi yang sufficient. Sehingga kedaulatan rakyat tidak berada di perwakilan rakyat yang utuh di Lembaga Tertinggi Negara. Tetapi kita serahkan kepada Presiden terpilih.

Karena kita telah mengubah bentuk dan kedaulatan negara ini dari asalnya di Pasal 1 Ayat (2) yang menyebutkan; “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Kita ubah secara fundamental menjadi Pasal 1 Ayat (2) yang menyebutkan; “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Kita juga mengubah mazhab perekonomian kita yang akhirnya membuat kita mengikuti penyeragaman teori pertumbuhan ekonomi berbasis Produk Domestik Bruto, dengan ukuran kesuksesan neraca APBN yang disumbang oleh sektor pajak. Bukan oleh Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Karena memang negara dipaksa untuk melepaskan perekonomian kepada pasar. Sehingga perekonomian disusun oleh pasar dengan kekuatan modal. Bukan disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

Karena penambahan Ayat (4) di Pasal 33 Undang-Undang Dasar hasil perubahan telah memberi celah kepada mekanisme pasar dan kekuatan modal yang berbasis kepada pendekatan efisiensi.

Sehingga negara terpaksa juga melepas pembatasan yang ketat dalam penguasaan public goods dan public services. Sektor yang awalnya tidak boleh diberikan kepada orang per orang, harus dilepaskan. Inilah yang kemudian menyumbang sejumlah paradoksal sepanjang 25 tahun perjalanan era reformasi.

Termasuk beban negara yang selalu dihantui dengan Defisit Neraca APBN akibat Angka Tax Ratio Indonesia yang berada di kisaran 9 persen dari PDB. Sehingga Angka Tax Ratio Indonesia berada di urutan bawah di antara negara-negara G20 dan Asean. (note: pernyataan Menkeu di sejumlah media massa)

Itulah mengapa defisit neraca APBN harus selalu ditutupi dengan Utang. Karena PNBP kita tidak menyumbang secara signifikan bila dibandingkan dengan Kekayaan Sumber Daya Alam yang terkandung di dalam Bumi, Air, dan Udara Indonesia.

Itulah mengapa Bank Indonesia mengakui perbedaan antara Angka Devisa Hasil Ekspor yang tercatat, terutama dari sektor Sumber Daya Alam, dengan Angka Devisa Hasil Ekspor yang tersimpan di Bank Sentral.

Sedikit saja saya tampilkan beberapa gambar yang berisi fakta dan angka, sebagai bahan perenungan bagi kita semua.

Gambar 1.
Percepatan laju deforestasi Pulau Kalimantan di era Reformasi.word image 52633 2

Gambar 2.
PDB dan PDRB di Area Tambang tidak mengentas kemiskinan. Bisa kita baca sendiri ulasan mendalam (depth reporting) dari media Katadata Media Network.

word image 52633 3

Gambar 3.
Cadangan Emas Indonesia menduduki peringkat 9 dunia, dengan kandungan yang masih tersimpan (untuk sementara yang dideteksi) sebesar 2.600 Ton. Tetapi cadangan emas yang berada di Bank Indonesia hanya 78,6 Ton.

Berikut angka Cadangan Emas di Bank Sentral negara-negara di dunia:

word image 52633 4

Gambar 4.
Tingkat Pendidikan Penduduk Indonesia (data tahun 2022), yang menyebutkan hanya 6 persen penduduk Indonesia yang berpendidikan tinggi.

word image 52633 5

Gambar 5.
Indonesia memiliki tiga posisi strategis: Pertama, geoposisi silang di antara dua Samudra dan dua Benua; Kedua, jalur perdagangan laut yang padat; Ketiga, dari tujuh Selat Strategis dunia, empat di antaranya berada di Indonesia: Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Sulawesi. Tetapi kita tidak mampu melakukan optimalisasi PNBP di sektor tersebut.

word image 52633 6

Dari sedikit cuplikan gambar di atas, sejatinya telah memberi gambaran kepada kita bahwa untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan lahirnya negara ini, terasa semakin jauh dari momentum waktu yang kita harapkan dapat terjadi di tahun 2045, di saat Indonesia memasuki usia 100 tahun, yang kita sebut sebagai Indonesia Emas.

Karena kedaulatan negara telah kita serahkan kepada kedaulatan pasar. Sehingga yang terjadi justru ketidakadilan yang semakin dirasakan oleh masyarakat. Sementara kita semua tahu, bahwa kemakmuran hanya bisa diwujudkan melalui adanya keadilan.

Ini terjadi karena kita telah mengoyak Azas bangsa ini dengan mengubah Sistem bernegara secara fundamental. Dengan memaksakan bangsa ini mengadopsi sistem bernegara yang diterapkan negara-negara barat.

Kita rela meninggalkan Sistem Tersendiri yang dirumuskan para pendiri bangsa hanya demi pujian semu dari negara-negara barat, bahwa Indonesia adalah negara yang mampu menjalankan demokrasi barat, meskipun berlangsung secara prosedural saja.

Tetapi secara substansi dan kualitas semakin tidak menjawab tuntutan Reformasi, dan semakin menjauh dari tujuan dan cita-cita lahirnya bangsa dan negara ini.

Karena pada hakikatnya, kemajuan atau kemunduran suatu negara, ditentukan oleh desain institusi politik, ekonomi dan hukum. Suatu negara dapat terus berjalan dan mencapai titik kemakmuran, bila dikelola dengan cara yang tepat. Sehingga menghasilkan stabilitas politik dan stabilitas harga.

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keunggulan Komparatif yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, sudah seharusnya menjadi Negara yang mampu mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Sehingga mampu melahirkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kita sebagai bangsa harus memiliki saluran dan sarana untuk membangun cita-cita bersama kita. Cita-cita bersama yang melahirkan tekad bersama itu hanya bisa dirajut melalui saluran dan sarana yang memberikan ruang kedaulatan kepada rakyat, sebagai pemilik negara ini. Dalam sebuah ikatan yang mampu menyatukan. Mampu memberikan rasa keadilan. Dan mampu menjawab tantangan masa depan melalui jati diri bangsa ini.

Untuk itu, diperlukan Sistem Ketatanegaraan dan Sistem Bernegara yang lebih sempurna. Yang mampu memberi jawaban atas tantangan dan ancaman masa depan.

Sebuah Sistem yang mampu mewadahi atau menjadi wadah yang utuh bagi semua elemen bangsa. Sehingga benar-benar terwujud menjadi Penjelmaan Seluruh Rakyat. Maka, hakikat Kedaulatan Rakyat benar-benar memiliki tolok ukur yang jelas di dalam ketatanegaraan kita.

Dimana pada akhirnya, bangsa ini akan semakin kuat. Karena pemilik kedaulatan, yaitu rakyat, berhak untuk ikut menentukan Arah Perjalanan Bangsa. Sehingga pembentukan jiwa Nasionalisme dan Patriotisme seluruh rakyat akan terbangun dengan sendirinya, untuk bersama mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Itulah Sistem Bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa ini. Yang kita kenal dengan nama Sistem Demokrasi Pancasila dan Sistem Ekonomi Pancasila. Sebuah sistem tersendiri. Sistem asli Indonesia. Yang tidak mengadopsi Sistem Negara manapun.

Bapak Ibu peserta FGD yang saya hormati,
Terkait dengan Materi FGD hari ini, saya berpandangan bahwa Haluan Negara sangat diperlukan untuk memberikan Arah Perjalanan Bangsa. Tetapi dengan beberapa catatan penting di sini.

Pertama, Haluan Negara harus menjadi pedoman tertinggi atau peta jalan dalam tataran implementasi untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan lahirnya negara.

Kedua, Haluan Negara harus disusun oleh perwakilan Seluruh Elemen Bangsa tanpa ada yang ditinggalkan. Sehingga Haluan Negara harus disusun di dalam Lembaga Tertinggi Negara, yang terdiri dari Unsur mereka yang dipilih melalui Pemilu, yaitu anggota DPR, dan Unsur mereka yang diutus, yaitu Utusan Daerah dan Utusan Golongan.

Ketiga, Haluan Negara harus menjadi pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, sehingga menjadi tolok ukur kinerja di akhir masa jabatan Presiden sebagai Mandataris MPR.

Dengan demikian, penerapan kembali Haluan Negara atau dalam istilah lain, Pokok-Pokok Haluan Negara tanpa dibarengi dengan kembalinya negara ini kepada Azas dan Sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa, hanya akan menimbulkan persoalan baru.

Karena selama kedaulatan rakyat secara langsung diberikan kepada Presiden terpilih dalam Pemilihan Presiden Langsung, maka sejatinya Presiden harus menunaikan janji dan program kampanye yang disampaikan kepada rakyat.

Maka, kita telah membuka peluang terjadinya perbedaan Visi, Misi dan Tujuan antara satu calon presiden dengan calon presiden lainnya.

Padahal ini adalah persoalan yang sangat serius, bila kita tinjau dari Visi dan Misi lahirnya bangsa ini yang sudah termaktub di Naskah Pembukaan Konstitusi kita di Alinea kedua dan Alinea Keempat.

Sehingga yang terjadi, Presiden terpilih juga dapat menghapus program yang sudah ditetapkan oleh Presiden sebelumnya. Atau sebaliknya, tidak meneruskan Program yang sudah dijanjikan Presiden sebelumnya yang belum tuntas.

Apalagi jika kita mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dimana di dalam BAB VIII tentang Kelembagaan, di Pasal 32 Ayat (1) dan (2) disebutkan;

Pasal 32
1. Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas Perencanaan Pembangunan Nasional.
2. Dalam menyelenggarakan Perencanaan Pembangunan Nasional, Presiden dibantu oleh Menteri.

Sangat jelas, bahwa Presiden mempunyai kewenangan yang diberikan Undang-Undang, untuk Menyelenggarakan Perencanaan Pembangunan Nasional. Dan Presiden mempertanggungjawabkan kepada dirinya sendiri selaku perencana.

Dalam melaksanakan kewenangan itu, Presiden dibantu oleh Menteri Kabinet, yang jelas bertanggungjawab kepada Presiden. Dan dapat diganti melalui Hak Prerogatif Presiden.

Pasal tersebut kontradiktif dengan pertimbangan Undang-Undang tersebut, yang termaktub di huruf C, yang menyatakan; “bahwa tugas pokok bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan”.

Frasa kata pembangunan berkeadilan jelas berorientasi kepada pembangunan yang pro kepada rakyat dan untuk semua. Sedangkan frasa kata demokratis, jelas merupakan agenda yang disusun atau yang menjadi keinginan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 juga masih memberi peluang kepada Perencana Pembangunan untuk Menyusun Visi dan Misi. Hal ini tentu juga bertentangan bila kita kaji dari makna kalimat di Alinea kedua dan keempat Naskah Pembukaan Konstitusi yang merupakan hakikat dari Visi dan Misi negara.

Karena sejatinya, Presiden sebagai Mandataris MPR hanya bertugas menyiapkan Strategi Pencapaian sebagai langkah untuk mewujudkan Haluan Negara.

Untuk itu, Presiden menyusun Program sebagai instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan untuk memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.

Jadi, dapat saya simpulkan bahwa Undang-Undang SPPN, meskipun diberi sarana melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional atau Musrenbang, tetap saja bukan merupakan pembanding atau persamaan dengan Sistem Haluan Negara. Karena sekali lagi, Haluan Negara merupakan pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Karena itu, bagi saya, bangsa ini harus kembali kepada sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa. Untuk kemudian kita sempurnakan dan perkuat. Caranya dengan kita kembali dulu kepada Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945, lalu kita lakukan Amandemen dengan Teknik Adendum, sebagai penyempurnaan dan penguatan agar kita tidak mengulang praktek penyimpangan yang terjadi di masa lalu.

Sehingga kita tidak mengubah total sistem bernegara. Karena mengubah total sistem bernegara seperti yang kita lakukan pada tahun 1999 hingga 2002 terbukti telah membuat Konstitusi kita meninggalkan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi dan Norma Hukum Tertinggi.

Ini bukan pendapat saya. Tetapi hasil kajian sejumlah akademisi di sejumlah perguruan tinggi.

Bahkan Komisi Konstitusi yang dibentuk melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2002 yang bertugas melakukan kajian atas Amandemen di tahun 1999 hingga 2002 telah menyatakan; “Akibat tiadanya Kerangka Acuan atau Naskah Akademik dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan salah satu sebab timbulnya in-konsistensi Teoritis dan Konsep, dalam mengatur materi muatan Undang-Undang Dasar.”

Ini artinya perubahan tersebut tidak dilengkapi dengan pendekatan yang menyeluruh dari sisi Filosofis, Historis, Sosiologis, Politis, Yuridis, dan Komparatif.

Bapak Ibu peserta FGD yang saya hormati,
Sebelum memasuki akhir dari makalah ini, saya hanya ingin mengingatkan kita semua, terutama di Lembaga Ketahanan Nasional ini, bahwa salah satu ancaman serius terhadap Kebhinekaan Indonesia adalah rusaknya Kohesi Bangsa akibat sistem Pemilihan Presiden Langsung. Dimana Calon Presiden yang disodorkan kepada rakyat untuk dipilih adalah pilihan Ketua Umum Partai Politik. Itu pun masih diberi hambatan Presidential Threshold 20 persen. Sehingga partai kecil harus melakukan koalisi yang terpaksa, untuk dapat mengusung calon presiden. Begitu pula dengan pemilihan Gubernur dan Bupati atau Walikota secara langsung. Sama prinsipnya.

Dan lebih celaka lagi, dalam sistem pemilihan presiden, gubernur, bupati atau walikota yang dilakukan secara langsung, ternyata batu uji yang digunakan adalah popularitas, elektabilitas dan akseptabilitas.

Padahal ketiga variable tersebut dapat dibentuk atau difabrikasi melalui media dan teori-teori komunikasi dengan biaya yang mahal.

Semakin mahal biaya yang dikeluarkan, maka semakin populer nama calon tersebut. Karena setiap hari, wajahnya akan menghiasi media massa besar melalui kegiatan-kegiatan yang dibuat.

Semakin mahal biaya yang dikeluarkan, maka semakin tinggi elektabilitas nama calon tersebut karena dirilis oleh lembaga-lembaga survei ternama dengan angka-angka yang kita tidak tahu bagaimana dihasilkan.

Semakin mahal biaya yang dikeluarkan, maka semakin tinggi akseptabilitas nama calon tersebut karena diisi dengan kegiatan-kegiatan deklarasi dukungan oleh elemen masyarakat di seluruh pelosok tanah air.

Dan semua informasi tersebut diresonansikan oleh buzzer-buzzer di media sosial dengan narasi-narasi yang berisi puja dan puji. Sementara di satu sisi, ada pula narasi-narasi menghujat dan menjelek-jelekkan calon yang lain. Sehingga tercipta julukan olok-olok yang masih berlangsung hingga hari ini. Sehingga semakin tajam dan kuat jurang pemisah antar kelompok masyarakat.

Inilah dampak dari Pemilihan Presiden Langsung yang kita adopsi begitu saja dari sistem barat, yang akhirnya melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. Mengancam kebhinekaan kita sebagai bangsa.

Padahal sudah berabad-abad bangsa Nusantara ini memiliki tradisi musyawarah dan perwakilan. Bahkan partai politik dan organisasi masyarakat di Indonesia menggunakan sistem perwakilan dalam memilih ketuanya. Tetapi mengapa giliran memilih presiden harus dilakukan secara langsung?

Dan penentu akhir siapa presiden yang menang adalah Komisi Pemilihan Umum, yang mengumumkan angka-angka suara dari 820 ribu lebih jumlah TPS di Indonesia, yang sulit kita validasi kebenaran angkanya. Sementara pekerjaan itu menyedot puluhan triliun uang rakyat.

Marilah kita hentikan kontestasi politik dalam meraih kekuasaan dengan cara Liberal. Karena telah terbukti menjadikan kehidupan bangsa kita kehilangan kehormatan, etika, rasa dan jiwa nasionalisme serta patriotisme.

Indonesia punya pekerjaan yang lebih besar, lebih penting dan lebih mendesak, daripada kita disibukkan oleh hiruk-pikuk dan biaya mahal demokrasi ala Barat.

Kita harus menata masa depan dengan kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara. Menata keunggulan komparatif yang diberikan Tuhan Yang Maha Pemurah kepada bangsa ini. Menata Bumi, Air, Udara untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat.

Kita wajib membangun kesadaran kolektif bangsa Indonesia, untuk kembali kepada Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa secara utuh.

Saya yakin, jika rakyat Indonesia ditanya dengan pertanyaan; manakah yang Anda pilih, hidup dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan kebersamaan, atau hidup dengan nilai-nilai barat yang individualistik, liberal dan kapitalistik; saya yakin rakyat Indonesia akan memilih hidup di dalam naungan Pancasila.

Karena itu, saya tidak heran dengan hasil survei yang mengatakan rakyat tidak ingin kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 asli, atau rakyat tidak ingin Presiden dipilih di MPR, karena hal itu tergantung kepada materi pertanyaan yang diajukan. Apalagi pertanyaan yang diajukan kepada rakyat Indonesia, yang lebih banyak belum berpendidikan tinggi.

Karena saya juga menerima banyak sekali aspirasi dari rakyat dan komponen masyarakat, terkait perlunya bangsa ini melakukan kaji ulang atas sistem bernegara yang kita terapkan saat ini.

Aspirasi tersebut datang dari sejumlah elemen bangsa. Baik dari kalangan tokoh organisasi masyarakat dan keagamaan. Para purnawirawan TNI dan Polri. Raja dan Sultan Nusantara, hingga akademisi dan mahasiswa. Semua aspirasi tersebut terdokumentasikan dengan baik di DPD RI.

Akhir kata, tujuan utama lahirnya negara ini adalah untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sehingga jika kita ingin sampai ke tujuan itu, maka kendaraan yang ada, yaitu Indonesia Raya dengan segala anugerahnya, harus dijalankan dengan bahan bakar Budi Pekerti Luhur, seperti yang dibayangkan oleh para pejuang kemerdekaan kita.

Dengan begitu, bangsa ini akan konsisten dengan kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Yaitu Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya.

        Terima kasih.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.

 

Ketua DPD RI

AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Foto Terkait

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menjadi narasumber pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Direktorat Kajian Ideologi dan Politik Lemhannas RI, dengan tema; ‘Konstitusionalitas Haluan Negara Guna Menjaga Kesinambungan Pembangunan Nasional’, di Ruang Kresna, Gedung Astragatra, Kantor Lemhannas, Jakarta, Senin (28/8/2023).
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti Menjadi Narasumber Pada Acara FGD yang diselenggarakan Direktorat Kajian Ideologi dan Politik Lemhannas RI

Berita Foto Terkait

Video Terkait

Pidato Terkait