Orasi Ketua DPD RI Tabligh Akbar Maulid Nabi 1444 H Keluarga Besar Alumni Ponpes Al Falah
Tangerang, 20 November 2022
Yang saya hormati dan banggakan; Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad, wa ala alihi wasohbihi aj’main.
Saya sampaikan terima kasih kepada Keluarga Besar Alumni Ponpes Al Falah Temboro, Jawa Timur, bersama Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Tangerang, yang mengundang saya untuk menghadiri Majelis yang mulia ini, dalam acara Tabligh Akbar dalam rangkaian Peringatan Maulid Nabi 1444 Hijriah yang diselenggarakan pada hari ini.
Bagi saya, peringatan Maulid Nabi sejatinya adalah mengingat untuk selalu meneladani akhlak Baginda Rosul, sebagai Uswatun Khasanah.
Empat karakter Rasulullah yang sudah seharusnya kita amalkan, yakni; Siddiq, yang artinya sesuai antara perkataan dan perbuatan, lalu Amanah yang artinya dapat dipercaya, dan Tabligh yang artinya mampu menyampaikan kebaikan, serta Fathonah yang artinya cerdas.
Jika empat hal ini dapat kita teladani dan amalkan, Insya Allah bangsa ini akan menjadi bangsa panutan. Sekaligus menjadi bangsa Adi Daya, karena kualitas manusianya yang unggul. Apalagi jika kualitas tersebut dilakukan oleh para pejabat dan pemegang kekuasaan negara.
Dan bangsa ini akan semakin besar, karena masih adanya para penjaga moral serta pengingat akan semua itu, yaitu Para Ulama. Karena Ulama adalah pewaris nabi.
Karena itu, selain Maulid Nabi, acara Haul terhadap Ulama-Ulama besar, penting untuk dilakukan, karena acara tersebut selain sebagai pengingat dan pemberi inspirasi, sekaligus pelecut generasi penerus, bahwa kita adalah bangsa yang besar, karena kita memiliki banyak Ulama besar. Bahkan Ulama yang masuk dalam kategori Waliyullah.
Apalagi hari ini hadir di tengah-tengah kita para ulama, kiai, dan ahli sholawat. Sungguh sebuah momen yang sangat berharga bagi saya.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati, Dalam kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan situasi kebangsaan dan kenegaraan kita. Bangsa yang telah merdeka selama 77 tahun ini. Bangsa yang memiliki cita-cita untuk melindungi rakyatnya. Memajukan kesejahteraan umum. Dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga tujuan hakikinya adalah terwujudnya Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karena itulah para pendiri bangsa kita, yang mayoritas adalah tokoh-tokoh agama dan ulama telah bersepakat, bahwa sistem politik yang paling cocok bagi Indonesia adalah sistem Demokrasi Pancasila. Yang merupakan sistem Syuro, dengan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang merupakan penjelmaan seluruh elemen rakyat.
Karena di dalam Lembaga Tertinggi Negara terdapat bukan saja unsur dari Partai Politik. Tetapi juga unsur dari Daerah-Daerah dan unsur dari Golongan-Golongan. Sehingga ciri utama dari sistem Demokrasi Pancasila adalah semua terwakili.
Begitu pula dengan sistem Ekonomi Pancasila, yang pada hakikatnya adalah negara harus berkuasa penuh atas bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Termasuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak.
Sehingga ekonomi Indonesia dijalankan dengan tiga pilar utama. Koperasi atau usaha rakyat. Lalu perusahaan negara. Kemudian swasta, baik swasta nasional maupun asing.
Dengan posisi pembagian yang tegas, antara wilayah public goods, yang mutlak harus dikuasai negara, dan wilayah commercial goods untuk swasta, serta irisan di antara keduanya yang menggabungkan kerja bersama.
Sehingga terjadi proses usaha bersama. Atau yang sering saya sebut sebagai Public, Privat, People, Partnership atau 4 P. Yaitu keterlibatan yang jelas antara negara, swasta dan masyarakat dalam aktivitas ekonomi.
Rakyat harus berada dalam posisi sebagai bagian dari pemilik kedaulatan atas wilayah, termasuk sumber daya di daerahnya. Sehingga keterlibatan rakyat itu mutlak dan wajib jika kita membaca konsep ekonomi usaha bersama yang dirumuskan para pendiri bangsa kita.
Konsepsi ini sama dan sebangun dengan konsepsi Islam dalam memandang sumber daya alam.
Dalam Islam, komoditas kepemilikan publik atau Public Goods ini dikategorikan dalam tiga sektor strategis. Yaitu air, ladang atau hutan, dan api atau energi. Ketiganya harus dikuasai Negara.
Bahkan dalam hadist Riwayat Ahmad, diharamkan harganya. Artinya tidak boleh dikomersialkan menjadi Commercial Goods. Seperti tertulis dalam Hadist Riwayat Ahmad, yang artinya; “Umat Islam itu sama-sama membutuhkan untuk berserikat atas tiga hal, yaitu air, ladang, dan api dan atas ketiganya diharamkan harganya.”
Jadi, jelas bahwa air, hutan, dan api atau energi itu merupakan Infrastruktur penyangga kehidupan rakyat, yang tidak boleh di komersialkan atau dijual ke pribadi-pribadi perorangan yang kemudian dikomersialkan menjadi bisnis pribadi.
Contoh konkrit dalam perspektif di atas adalah bagaimana Sahabat Usman bin Affan diperintah oleh Rosulullah untuk membeli sumur air milik seorang Yahudi di Madinah saat itu, yang kemudian setelah dibeli, dia gratiskan airnya untuk seluruh penduduk Madinah. Sehingga sampai hari ini sumur itu dikenal dengan nama sumur Usman bin Affan.
Karena memang komoditas publik itu harus dikuasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang di dalam Naskah Penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, yang sudah dihapus total sejak Amandemen Konstitusi di tahun 1999 hingga 2002 silam.
Sehingga saat ini, negara semakin membiarkan ekonomi tersusun sesuai mekanisme pasar. Dan diberi jalan dengan lahirnya beragam Undang-Undang yang memberi kesempatan dan peluang kepada Swasta Nasional maupun Asing yang sudah berkolaborasi melalui pasar modal dan kepemilikan saham, untuk menguasai Sumber Daya Alam negara ini. Termasuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak.
Sehingga segelintir orang, dapat menguasai dan menguras kekayaan alam Indonesia. Sementara ratusan juta rakyat hanya jadi penonton. Ketidakadilan inilah yang menjadi salah satu faktor penyumbang kemiskinan struktural.
Ketidakadilan inilah yang membuat Oligarki Ekonomi semakin membesar dan menguat sejak era reformasi. Dan kemiskinan struktural tidak kunjung dapat diatasi oleh negara.
Ketidakadilan itu terjadi karena Oligarki Ekonomi telah menyandera kekuasaan dengan kekuatan modal dan uang yang didapat dari pengerukan kekayaan alam negara ini. Karena fakta yang telah diteliti oleh banyak pemerhati dan akademisi, bahwa Oligarki Ekonomi yang mendisain dan membiayai lahirnya pemimpin nasional, akan menyandera kekuasaan untuk berpihak kepada kepentingan mereka.
Jadi diskusi-diskusi tentang kesejahteraan rakyat tidak akan pernah berujung dan tidak akan dapat kita wujudkan di tataran fraksis. Karena memang Konstitusi negara ini sudah tidak berpihak ke sana.
Seperti dikemukakan dalam hasil penelitian akademik Profesor Kaelan dari UGM, bahwa Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Dasar hasil Amandemen sudah tidak nyambung dan sudah tidak menjabarkan lagi nilai-nilai Pancasila sebagai norma hukum tertinggi. Malah sebaliknya pasal-pasal baru tersebut justru menjabarkan ideologi lain, yaitu Liberalisme dan Individualisme.
Oleh karena itu, saya menawarkan Peta Jalan untuk mengembalikan Kedaulatan dan Kesejahteraan Rakyat dengan cara kita kembalikan UUD 1945 naskah asli, untuk kemudian kita sempurnakan kelemahannya dengan cara yang benar. Bukan dengan mengobrak-abrik, sehingga total menjadi Konstitusi Baru yang malah membuat bangsa ini semakin sekuler dan berwatak kapitalistik.
Bapak Ibu dan para hadirin yang saya hormati, Sebagai umat yang memiliki andil besar lahirnya bangsa dan negara ini, maka sudah seharusnya Umat Islam kritis melihat dan mengamati arah perjalanan bangsa ini.
Untuk itu, Umat Islam harus kritis terhadap sejumlah fenomena paradoksal yang terjadi di tengah-tengah kita. Baik itu soal pembangunan, hingga ketidakadilan ekonomi dan kemiskinan struktural akibat ketidakadilan tersebut.
Pembangunan haruslah menjadi Pembangunan Indonesia. Bukan sekedar Pembangunan “di” Indonesia. Begitu pula Daulat Rakyat, tidak boleh digantikan menjadi Daulat Pasar. Karena Ekonomi harus disusun untuk kepentingan bersama. Bukan dibiarkan tersusun oleh mekanisme pasar.
Oligarki Ekonomi yang semakin membesar, pasti menimbulkan ketidakadilan. Dan ketidakadilan menyumbang kemiskinan struktural. Dan ketidakadilan yang melampaui batas, adalah awal dari datangnya musibah dan bencana.
Umat Islam juga harus kritis terhadap konsep dan kebijakan Pendidikan Nasional bangsa ini. Dimana mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai cita-cita negara ini, bukanlah sekedar mencerdaskan otak, tetapi mencerdaskan kehidupan. Yang artinya mencerdaskan kemanusiaan secara utuh. Termasuk moral dan akhlak. Jasmani dan rohani.
Tanpa budi pekerti, tanpa nasionalisme, tanpa patriotisme dan tanpa ideologi serta ilmu agama, kita hanya akan menghasilkan generasi yang akan menjadi lawan kita di masa depan.
Saya ingin mengajak kita semua untuk melihat sejarah. Terutama sejarah lahirnya negara ini. Melalui disain dan konsep yang dirumuskan para pendiri bangsa kita. Terutama tentang Sistem Demokrasi dan Sistem Ekonomi seperti apa yang paling tepat untuk Indonesia.
Peran para ulama di negeri ini bukan saja sebagai penjaga moral. Tetapi jauh sebelum Indonesia merdeka, para Ulama di Nusantara ini telah memberi kontribusi yang tidak kecil, melalui kehadiran pondok-pondok pesantren sebagai entitas masyarakat madani, yang melahirkan generasi terdidik yang berakhlak.
Apalagi jika kita melihat sejarah awal kemerdekaan Indonesia, dimana peran Resolusi Jihad yang dikeluarkan Rois Akbar NU saat itu, Hadratus Syeikh Kiai Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, yang kemudian memicu lahirnya peristiwa 10 November 1945, yang kita kenal dengan Hari Pahlawan, jelas sangat berarti bagi bangsa ini.
Dan jika kita tarik lagi ke belakang, maka sejarah mencatat bagaimana peran para Ulama dalam memberikan sumbangan pemikiran dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI, dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI.
Para Ulama saat itu aktif memberikan sumbangan pemikiran, terutama terkait bentuk dan dasar dari negara ini. Yang akhirnya disepakati sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.
Dan dasar dari negara ini adalah Ketuhanan. Seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar kita di Pasal 29 Ayat (1) yang tertulis; “Negara berdasarkan Ketuhanan”. Sungguh luar biasa sumbangsih para Ulama kita terdahulu.
Karena itu saya sangat berharap Keluarga Besar Alumni Ponpes Al Falah dan pengurus Dewan Masjid Indonesia, yang sangat memahami pemikiran-pemikiran Ulama terdahulu, untuk dapat ikut berupaya menata ulang Indonesia untuk lebih baik.
Itulah mengapa saya menawarkan gagasan untuk kita mengingat dan membaca kembali pikiran para pendiri bangsa. Tentang sistem demokrasi dan sistem ekonomi yang paling sesuai dengan bangsa yang super majemuk ini. Bangsa yang kaya akan sumber daya alam ini.
Kita harus kembali kepada Pancasila. Agar kita tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akar bangsanya. Agar kita tidak menjadi bangsa yang kehilangan jati diri dan karakter.
Bapak Ibu dan para hadirin yang saya hormati, Beberapa waktu lalu, saya diundang untuk berbicara di depan Partai-Partai Politik berbasis Islam. Saat itu saya katakan, ada tugas yang lebih mulia yang seharusnya diemban partai-partai politik berbasis Islam, ketimbang sekedar sibuk Copras-Capres.
Tugas mulia tersebut adalah penempatan Sila Pertama dari Pancasila, tentang Ketuhanan, harus menjadi payung hukum spirit teologis dan kosmologis dalam menjalankan negara ini.
Sehingga sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada spirit Ketuhanan. Sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral serta spirit agama.
Sehingga bila ada kebijakan atau Undang-Undang yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas, kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral serta spirit agama. Yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi negara ini.
Karena itu, saat pertemuan Ketua Lembaga dengan Presiden pada Agustus lalu, saya minta Presiden, selaku Kepala Negara untuk meratifikasi keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Melawan Islamo-phobia.
Saya minta Indonesia juga secara resmi menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari melawan Islamo-phobia.
Karena jelas, Negara ini berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti tertulis di Pasal 29 Ayat 1 Konstitusi kita.
Bahkan di Ayat 2 tertulis dengan sangat jelas; ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’.
Makna dari kalimat Ayat 2 itu jelas, bahwa beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu dijamin negara.
Artinya, kalau ada umat Islam yang menjalankan Sunnah Nabinya dengan memelihara jenggot, itu wajib dijamin oleh negara sebagai kemerdekaan atas pilihannya.
Bukan malah distigma Teroris atau belakangan ini malah disebut Kadrun dan Radikal. Ini salah satu dari sekian banyak fenomena Islamo-phobia di Indonesia.
Karena itu Partai Politik berbasis Islam wajib untuk menyampaikan kepada semua elemen bangsa, bahwa bangsa ini lahir atas jasa besar Umat Islam. Terutama tokoh-tokoh Islam dan para ulama.
Sehingga, saya tegaskan sekali lagi, jika Indonesia ingin mewujudkan cita-cita negara ini, sesuai yang tertulis di dalam naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar kita, maka tidak ada jalan lain, kecuali kita harus kembali menerapkan sistem demokrasi dan sistem ekonomi yang telah dirancang oleh para pendiri bangsa kita.
Dengan cara kita kembali ke Naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, untuk kemudian kita sempurnakan kekurangannya, agar kita tidak mengulang praktek penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.
Sudah seharusnya Indonesia kembali berdaulat, berdikari dan mandiri. Dan Indonesia bisa menjadi negara unggul. Negara yang menjadi harapan hidup penduduk bumi. Karena Indonesia sangat mungkin untuk menjadi lumbung pangan dunia, sekaligus penghasil Oksigen dunia melalui kekayaan Bio-diversity hutan kita. Dan, Indonesia sangat bisa menjadi surga Pariwisata Alam terbaik di dunia.
Akhir kata, semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk jalan yang lurus, memberikan rahmat dan hidayah kepada kita semua. Dan dengan memperbanyak Sholawat atas Nabi, saya yakin pertolongan Allah SWT akan selalu menyertai perjuangan kita. Amiin yaa robbal alamiin.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwomit Thoriq Wassalamualaikum Wr. Wb.