Pengantar Ketua DPD RI
Ragab Pimpinan Alat Kelengkapan
Dalam Pembahasan
Konsekuensi Kenegaraan Indonesia
Terhadap Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023
Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian
Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat
Jakarta, 10 April 2023
Bismillahirrohmannirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati dan banggakan; Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Saya ucapkan terima kasih kepada semua pimpinan alat kelengkapan DPD RI dan juga narasumber yang telah hadir dalam Rapat Gabungan yang kita selenggarakan dalam rangka pembahasan; ‘Konsekuensi Kenegaraan Indonesia Terhadap Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023, Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat’.
Mengapa saya gunakan kata Konsekuensi Kenegaraan, karena memang ada beberapa hal penting yang harus kita pelajari dan ketahui lebih dalam, terkait isi dari Instruksi Presiden ini yang berdampak kepada Kenegaraan Indonesia. Dan kita sebagai salah satu Lembaga Negara, sudah sepatutnya mempelajari dan mencermati hal tersebut.
Saya tidak akan berpanjang lebar menyampaikan pengantar ini. Tetapi saya ingin kita fokus kepada Konsekuensi Kenegaraan Indonesia terhadap lahirnya Inpres Nomor 2 Tahun 2023 ini.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati, Seperti kita ketahui bersama, Inpres ini didahului dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022, tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Masa Lalu, atau disingkat Tim PP-HAM.
Keppres tersebut menugaskan Tim PP-HAM yang menerima data dari Komnas HAM tentang pelanggaran HAM berat masa lalu, untuk kemudian memberikan rekomendasi penyelesaian non-yudisial.
Dimana rekomendasi kepada korban dan keluarga korban meliputi rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa dan atau rekomendasi lainnya.
Harus diakui, saat itu, sejak lahirnya Keppres tahun 2022 tersebut, terjadi polemik di masyarakat. Mengingat salah satu rekomendasi dari Komnas HAM yang harus diselesaikan adalah peristiwa tahun 1965-1966. Dimana kita semua tahu bahwa pada saat itu terjadi peristiwa upaya kudeta yang dilakukan Partai Komunis Indonesia terhadap negara ini.
Yang kemudian TNI Angkatan Darat mengambil langkah untuk melakukan operasi pemulihan keadaan melalui penangkapan tokoh-tokoh utama PKI yang diduga terlibat dalam upaya kudeta tersebut.
Yang kemudian diikuti terjadinya situasi konflik horizontal di kalangan sipil, antara pengikut dan pendukung PKI dengan Non-PKI. Dimana kita juga tahu, bahwa konflik horizontal sipil tersebut juga dipicu oleh rangkaian sejarah panjang aksi-aksi kelompok Komunis di Indonesia yang terjadi jauh sebelum tahun 1965.
Sehingga bangsa ini masih belum dapat menerima secara hitam putih bahwa dalam peristiwa 1965-1966, seperti dinyatakan Komnas HAM, bahwa posisi korban adalah mereka yang terlibat atau pengikut PKI. Atau dengan kata lain, pegiat PKI dan keluarga pegiat PKI adalah korban pelanggaran HAM berat.
Tetapi Keppres tersebut telah berjalan. Dan setahun kemudian ditindaklanjuti dengan Inpres Nomor 2 tahun 2023 serta Keppres Nomor 4 Tahun 2023, yang merupakan satu kesatuan.
Sehingga yang perlu kita bedah, pelajari dan pahami di sini adalah; seberapa jauh konsekuensi kenegaraan bagi Indonesia atas Inpres Nomor 2 tersebut?
Saya akan sampaikan beberapa hal yang penting untuk kita cermati.
Yang pertama; Inpres tersebut memerintahkan kepada 19 institusi negara, yang terdiri dari Kementerian, Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri untuk melaksanakan rekomendasi Tim PP-HAM.
Dimana di dalam Diktum Pertama huruf (a) tertulis; memulihkan hak korban atas peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara adil dan bijaksana;
Ini penting untuk kita gali, tentang seberapa luas makna kata memulihkan hak korban? Karena salah satu yang diperjuangkan PKI saat itu, dalam konteks peristiwa tahun 1965-1966 adalah menawarkan ideologi komunisme sebagai alat mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan kita hari ini telah bersepakat, bahwa Pancasila adalah satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Bahkan, saya pribadi menilai bahwa kita masih harus memperjuangkan agar Pancasila dapat kembali menjadi norma hukum tertinggi dalam Konstitusi kita, yang telah mengalami perubahan di tahun 1999 hingga 2002 silam.
Yang kedua; Inpres tersebut jelas menugaskan alat negara, yaitu TNI dan Polri untuk melaksanakan rekomendasi Tim PP-HAM. Sedangkan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan, dalam menjalankan tugasnya berdasarkan atas kebijakan dan keputusan politik negara.
Pertanyaanya; Apakah Inpres sudah cukup sebagai konsideran atau payung hukum untuk sebuah kebijakan dan keputusan Politik Negara? Ini perlu kita kaji dengan jernih dan cermat.
Yang ketiga; Inpres tersebut juga mengandung konsekuensi pengunaan uang negara melalui APBN. Sehingga juga harus dilakukan telaah atas output dan outcome terhadap penggunaan uang negara dalam koridor sosial benefit bagi negara ini.
Dan terakhir, jika rekomendasi dari Tim PP-HAM dalam durasi masa lalu hanya berhenti di tahun 1965-1966, bagaimana dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya? Termasuk peristiwa di dekade tahun 1948, dimana aksi-aksi Komunisme juga membawa korban yang tidak sedikit di kalangan masyarakat sipil.
Kiranya itu pengantar dari saya. Semoga dengan pembahasan ini, kita bisa melihat lebih jernih dan luas dalam perspektif kenegaraan, sebagai bagian dari upaya kita untuk memperjuangkan Pancasila untuk kembali kokoh sebagai grondslag dan staats fundamental norm bangsa ini.
Semoga Allah SWT meridhoi niat baik dan perjuangan kita demi Indonesia yang lebih baik, berdaulat, adil dan makmur.