Pidato Ketua DPD RI
Dialog Kebangsaan
Yayasan Indonesia LaNyalla Center
Ketua DPD RI Menerima Mandat dari Masyarakat Madura
"Kembali kepada UUD 1945 yang Asli Murni dan Konsekuen"
Pamekasan, 27 Januari 2024
Bismillahirrohmannirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua. Yang saya hormati dan banggakan; Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Saya sampaikan terima kasih kepada Pengurus Yayasan Indonesia LaNyalla Center, yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam Dialog Kebangsaan hari ini yang mengambil tema “Kembali kepada UUD 1945 yang Asli Murni dan Konsekuen”.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati, DPD RI secara kelembagaan, melalui Sidang Paripurna tanggal 14 Juli 2023, telah memutuskan untuk mengajak seluruh stakeholder bangsa agar kita kembali menerapkan Sistem Bernegara sesuai Rumusan Pendiri Bangsa, yang kemudian kita sempurnakan dan perkuat, agar tidak terjadi penyimpangan seperti yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.
Peta Jalannya adalah dengan mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 naskah 18 Agustus 1945, untuk kemudian dilakukan Amandemen dengan Teknik Adendum. Sehingga tidak mengubah Azas dan Sistem bernegara Indonesia, tetapi menyempurnakan dan memperkuat, dengan mengakomodasi tuntutan Reformasi, yang di antaranya adalah pembatasan masa jabatan presiden, pemberantasan KKN dan penegakan hukum serta HAM.
Oleh karena itu, DPD RI telah Menyusun dan menyiapkan Kajian Akademik tentang penyempurnaan dan penguatan Konstitusi asli tersebut, yang nantinya dilakukan melalui Amandemen-Adendum. Penyempurnaan dan Penguatan tersebut terdapat di dalam Lima Proposal Akademik DPD RI yang secara garis besar, isinya adalah;
1). Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang lengkap dan berkecukupan, yang tidak hanya di-isi oleh anggota DPR yang dipilih melalui pemilu, tetapi juga di-isi oleh utusan-utusan komponen masyarakat secara utuh, tanpa ada yang ditinggalkan. Untuk kemudian MPR Menyusun GBHN, memilih Presiden sebagai mandataris, dan mengevaluasi kinerja mandataris di akhir masa jabatan.
2). Membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Sehingga anggota DPR tidak hanya di-isi dari peserta pemilu dari unsur anggota partai politik saja. Hal ini sebagai bagian dari memastikan bahwa proses pembentukan Undang-Undang yang dilakukan DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga secara utuh dibahas juga oleh perwakilan penduduk daerah yang berbasis provinsi. Sehingga anggota DPD RI, yang juga dipilih melalui Pemilu Legislatif, berada di dalam satu kamar di DPR RI, sebagai bagian dari pembentuk Undang-Undang.
3). Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme utusan dari bawah. Bukan ditunjuk oleh presiden, atau dipilih DPRD seperti yang terjadi di Era Orde Baru. Dengan komposisi Utusan Daerah yang berbasis sejarah Negara-negara lama dan Bangsa-bangsa lama di kepulauan Nusantara, yaitu pewaris raja dan sultan Nusantara, serta suku dan penduduk asli Nusantara. Sedangkan Utusan Golongan bersumber dari Organisasi Sosial Masyarakat, Organisasi Profesi dan Serikat-Serikat yang memiliki sejarah dan bobot kontribusi bagi pemajuan Ideologi, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan Keamanan dan Agama bagi Indonesia.
4). Memberikan wewenang untuk pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan terhadap materi Rancangan Undang-Undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden, sehingga terjadi mekanisme keterlibatan publik yang utuh dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR.
5). Menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.
Itulah 5 proposal yang kami tawarkan berdasarkan hasil serap aspirasi kami di seluruh penjuru tanah air.
Khusus terhadap Proposal nomor dua tadi, dimana Kamar DPR RI, sebagai pembentuk Undang-Undang agar dibuka peluang bagi peserta pemilu dari Unsur Perseorangan, sebenarnya bukan gagasan baru.
Dunia Internasional juga sudah melakukan hal itu. Termasuk 12 Negara di Uni Eropa dan yang terbaru adalah Afrika Selatan, yang membuka pintu kamar DPR tidak hanya dari unsur peserta pemilu dari anggota Partai Politik saja. Tetapi juga perseorangan berbasis wilayah atau provinsi.
Sehingga Undang-Undang yang dihasilkan, yang mengikat secara hukum kepada seluruh warga negara tidak hanya dibuat oleh keterwakilan partai politik saja. Tetapi juga oleh keterwakilan masyarakat non-partisan atau people representative.
Karena faktanya di Indonesia, anggota DPR dari partai politik dalam mengambil keputusan masih sangat didominasi oleh arahan Ketua Umum Partai. Sehingga sangat tidak adil, bila penduduk Indonesia yang berjumlah 275 juta jiwa ini menyerahkan kepatuhan hukum atas UndangUndang yang dibentuk atas arahan Ketua Umum Partai yang hanya segelintir orang itu.
Itulah mengapa, anggota DPD RI, yang juga peserta pemilu dari unsur perseorangan yang berbasis Provinsi secara merata, harus berada di dalam Kamar DPR RI, sebagai bagian dari mekanisme check and balances yang utuh. Sekaligus sebagai bagian dari suara provinsi dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Rote.
Hal ini berbeda dengan Utusan Daerah di MPR. Karena Utusan Daerah di MPR bukan pembentuk Undang-Undang. Dan mereka di-isi dengan mekanisme utusan, bukan Pemilu, dengan latar belakang atau basis unsur dari Bangsa-Bangsa Lama dan Negara-Negara Lama yang sudah ada di Nusantara ini sebelum Indonesia merdeka.
Yaitu pewaris Raja dan Sultan Nusantara serta Masyarakat Adat dan Penduduk Asli Nusantara.
Oleh karena itu, perlu saya sampaikan dalam kesempatan ini, bahwa saya tidak punya agenda politik untuk terlibat dalam pemenangan salah satu pasangan calon presiden yang ada. Tetapi saya punya agenda untuk mengalahkan mazhab individualisme, pragmatisme dan materialism yang telah menyusup ke dalam sistem bernegara di Indonesia, sejak Undang-Undang Dasar 1945 diubah atau diamandemen pada tahun 1999 hingga 2002 yang lalu.
Ini penting untuk didengarkan dan dipahami. Yang saya perjuangkan adalah memenangkan mazhab bernegara yang sesuai dengan rumusan para pendiri bangsa, yaitu negara yang berfalsafah kepada azas Pancasila, dengan sistem bernegara asli Indonesia, yaitu sistem Syuro, yang sesuai dengan nilai-nilai yang diperjuangkan Islam. Bukan nilai-nilai barat yang liberal dan individualistik serta kapitalistik.
Bapak Ibu dan Hadirin yang saya hormati, Indonesia telah memiliki sistem bernegara tersendiri. Sistem yang paling sesuai dengan watak asli bangsa Indonesia yang super majemuk. Sistem yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Tetapi sistem itu kita buang, dan kita ganti pada saat Reformasi, hanya karena penyimpangan yang dilakukan Orde Baru. Padahal, seharusnya, saat Reformasi itu, yang kita benahi adalah penyimpangan yang terjadi di era Orde Baru. Bukan mengganti sistem bernegara. Karena para pendiri bangsa kita telah melakukan uji tuntas atas semua sistem bernegara, baik ala barat maupun timur. Yang semuanya tidak cocok diterapkan di Indonesia, sebagai negara majemuk dan kepulauan ini.
Sehingga apa yang terjadi dan kita rasakan dari tahun ke tahun sejak reformasi. Degradasi moral dan akhlak. Oligarki ekonomi dan politik semakin menggurita. Polarisasi dan pembelahan di masyarakat. Kemiskinan struktural dan ketidakadilan yang ada di mana-mana. Semakin banyak paradoksal yang kita lihat dan rasakan.
Pemilihan Presiden, Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota semua dilakukan secara Langsung. Akibatnya batu uji untuk memilih pemimpin bukan lagi berbasis Integritas, Moralitas dan Intelektualitas. Tetapi berbasis Popularitas dan Elektabilitas. Padahal popularitas bisa difabrikasi melalui ilmu komunikasi dan teknologi. Begitu juga elektabilitas bisa difabrikasi melalui hasil-hasil survei yang bertujuan mempengaruhi pendapat dan mengarahkan pilihan masyarakat. Padahal semua itu adalah politik kosmetik. Atau politik polesan. Alias palsu.
Pemilihan-pemilihan langsung itu juga mengakibatkan polarisasi di masyarakat. Dan hal itu sangat tidak produktif, serta menurunkan kualitas kita sebagai bangsa yang beradab dan beretika. Kita menyaksikan maraknya penyebaran berita hoax dan fitnah, karena kita hanya menghasilkan buzzer-buzzer di media sosial yang memproduksi narasinarasi jahat dan saling hujat.
Sampai hari ini, masih saja terjadi olok-olok antar kelompok, dengan sebutan-sebutan yang jelek. Padahal sudah sangat jelas, olok-olok dengan sebutan yang jelek, dilarang oleh Al-Quran.
Pilpres Langsung juga sangat rawan terjadi kecurangan yang massif dalam pelaksanaannya. Karena tidak satupun calon presiden yang bisa memiliki bukti formulir C-1 dari 800 ribu lebih TPS di seluruh Indonesia.
Inilah yang seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Bagaimana mungkin bangsa yang berketuhanan ini dapat melakukan apa saja, termasuk kecurangan dan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan dan kekuasaan?
Saya berharap masyarakat Madura yang dikenal sangat agamis, memiliki kesadaran kolektif, untuk kita mengajak umat Islam khususnya, dan seluruh bangsa Indonesia untuk bertaubat dari penerapan Sistem Liberal Barat yang dipaksakan diterapkan di Indonesia. Yang ternyata memiliki daya rusak yang luar biasa terhadap nilai-nilai luhur bangsa dan negara ini.
Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Semoga ikhtiar kita untuk Indonesia yang lebih baik, melalui cara yang baik, mendapat ridho dari Allah SWT, dan menjadi amal jariyah yang tidak terputus. Aamiin yaa robbal alamiin.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwomith Thoriq Wassalamualaikum Wr. Wb .