Rabu, Februari 19, 2025

Pidato Ketua DPD RI Musyawarah Nasional III SAPMA Pemuda Pancasila Masihkah UUD 1945 Bernafaskan Pancasila?

Loading

Bandung, 24 Agustus 2023

Bismillahirrohmannirrohim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera untuk kita semua,

M e r d e k a ……!!!
P a n c a s i l a …… 3 x !!!

Yang saya hormati dan banggakan;
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.

Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.

Saya ucapkan Selamat kepada Pengurus Pusat Satuan Siswa Pelajar dan Mahasiswa Pemuda Pancasila, yang telah menjalankan kewajiban roda organisasi, dengan menyelenggarakan Musyawarah Nasional ke-III pada hari ini.

Saudara-saudara Peserta Munas SAPMA yang saya banggakan,
Tema yang diberikan kepada saya hari ini adalah sebuah pertanyaan yang sudah saya jawab dan jelaskan saat saya menyampaikan Pidato dalam sidang Bersama MPR, DPR dan DPD RI pada tanggal 16 Agustus 2023 pekan lalu.

Saya sampaikan dengan terang-benderang dan tegas, bahwa Konstitusi hasil Amandemen yang dilakukan pada tahun 1999 hingga 2002 silam telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi. Sejak saat itu, Pancasila tidak lagi menjadi identitas Konstitusi kita. Karena Konstitusi hasil perubahan itu justru menjabarkan nilai-nilai Individualisme dan Liberalisme. Sekaligus menjabarkan perekonomian pasar yang Kapitalistik.

Pendapat yang saya sampaikan saat itu bukan asal bicara. Tetapi hasil dari kajian akademik dan ilmiah yang dilakukan sejumlah profesor ahli filsafat dan hukum di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.

Bahkan juga merupakan kesimpulan pendapat dari Komisi Konstitusi yang dibentuk melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2002 yang bertugas melakukan kajian atas Amandemen di tahun 1999 hingga 2002.

Mereka menyatakan; Akibat tiadanya Kerangka Acuan atau Naskah Akademik dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan salah satu sebab timbulnya in-konsistensi Teoritis dan Konsep, dalam mengatur materi muatan Undang-Undang Dasar.

Ini artinya perubahan tersebut tidak dilengkapi dengan pendekatan yang menyeluruh dari sisi Filosofis, Historis, Sosiologis, Politis, Yuridis, dan Komparatif.

Jadi, terhadap tema yang diberikan kepada saya hari ini, yaitu pertanyaan; Masihkah UUD 1945 Bernafaskan Pancasila? Jawabannya jelas: Tidak !

Saudara-saudara Peserta Munas SAPMA yang saya banggakan,
Sebenarnya saya menemukan persoalan mendasar akibat perubahan Konstitusi tersebut sudah lama. Sejak saya dilantik menjadi Ketua DPD RI, saya sengaja berkeliling ke 34 provinsi dan lebih dari 300 kabupaten/kota di Indonesia.

Untuk apa? Untuk melihat dan mendengar langsung suara dari daerah. Agar Lembaga DPD RI ini memiliki manfaat sebagai wakil daerah. Apalagi Lembaga ini dibiayai dari APBN. Meskipun jauh lebih kecil dibanding anggaran DPR RI.

Dan apa yang saya temukan? Ada dua persoalan yang hampir sama terjadi di daerah. Yaitu; Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan Kemiskinan Struktural yang sulit dientaskan.

Dari temuan itu, saya simpulkan bahwa dua persoalan tersebut adalah persoalan yang fundamental. Tidak bisa diatasi dengan pendekatan karitatif dan kuratif.

Saya berdiskusi dan berdialog dengan banyak orang. Kolega di DPD RI dan para sahabat. Memang benar. Persoalan tersebut ada di hulu. Bukan di hilir. Ini tentang arah kebijakan negara. Yang dipandu melalui Konstitusi dan ratusan Undang-Undang yang ada.

Sehingga sering saya katakan. Ini bukan persoalan pemerintah hari ini saja. Atau Presiden hari ini saja. Tetapi persoalan kita sebagai bangsa.

Oleh karena itu, saat DPD RI menjadi penyelenggara Sidang Tahunan MPR dua tahun yang lalu, tepatnya 16 Agustus tahun 2021, saya sudah mulai menyampaikan persoalan kebangsaan ke muka publik dalam sidang kenegaraan.

Sejak saat itu, saya terus menerus menggulirkan gagasan, bahwa kita harus melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Karena negara ini semakin hari, semakin Liberal dan Kapitalis.

Karena itu saya juga sampaikan berulangkali. Bahwa saya mengajak semua pejabat negara untuk berpikir dan bertindak sebagai negarawan. Bukan politisi. Karena negarawan tidak hanya berpikir tentang next election. Tetapi wajib berpikir tentang next generation.

Sebagai negarawan kita harus mampu melihat persoalan dengan jernih dan adil. Dan saya melihat ada persoalan di dalam Konstitusi kita. Dimana kedaulatan rakyat di dalam Azas dan Sistem demokrasi perwakilan yang dirumuskan para pendiri bangsa kita, sudah terkikis dan hilang.

Sebagai catatan penting di sini, dan perlu digaris bawahi. Bahwa Azas dan Sistem rumusan para pendiri bangsa tersebut belum pernah diterapkan secara utuh dan benar, baik di Era Orde Lama, maupun di Era Orde Baru.

Jadi tidak bisa disederhanakan dengan anggapan bahwa jika kita kembali menerapkan Sistem Demokrasi Pancasila, sama artinya dengan kita kembali ke Era Orde Baru. Tidak bisa disederhanakan seperti itu. Karena apa yang terjadi di Era Orde Baru adalah praktek penyimpangan dari azas dan sistem bernegara serta perekonomian yang dirumuskan para pendiri bangsa.

Apalagi di era Reformasi. Karena dalam demokrasi pemilihan langsung, kedaulatan rakyat sudah kita serahkan sepenuhnya kepada Partai Politik dan Presiden Terpilih. Sehingga arah perjalanan bangsa ditentukan hanya oleh mereka. Karena faktanya, pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang adalah DPR yang merupakan anggota partai politik dan Presiden. Tidak ada mekanisme check and balances lagi. Karena presiden bukan lagi mandataris MPR dan tidak harus menjalankan GBHN.

Dan karena Konstitusi memberi ruang, maka sejak Amandemen itu, semakin banyak lahir undang-undang dan regulasi yang menyumbang Ketidakadilan dan Kemiskinan Struktural. Dan itulah yang saya temukan setelah saya berkeliling ke 34 provinsi di Indonesia.

Mengapa itu terjadi? Karena kita telah meninggalkan mazhab ekonomi Pemerataan dan meninggalkan perekomian yang disusun atas azas kekeluargaan, dengan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar.

Kita telah meninggalkan ciri utama dari Demokrasi Pancasila dimana semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini.

Kita telah meninggalkan Sistem Demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar dan DNA bangsa yang super majemuk ini. Dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan musyawarah perwakilan untuk mencapai konsensus. Bukan dengan pendekatan menang-menangan angka dalam Pilpres Langsung yang sulit divalidasi.

Karena itu, bagi saya, untuk memperbaiki Indonesia, harus kita mulai dengan mengembalikan kemurnian sistem demokrasinya. Sistem demokrasi yang sesuai dengan watak dasar bangsa yang super majemuk dan bangsa kepulauan yang terpisah-pisah oleh lautan ini.

Sistem demokrasi yang telah dirumuskan para pendiri bangsa kita. Mereka yang telah memperdebatkan pikiran-pikiran dengan niat luhur dan kesadaran intelektual. Karena para pendiri bangsa kita adalah kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur.

Kita tidak bisa menyerahkan arah perjalanan bangsa yang lahir dari perabadan besar Nusantara ini hanya kepada partai politik. Karena akomodasi partai politik secara resmi di dalam sistem tata negara adalah setelah Wakil Presiden Muhammad Hatta mengeluarkan Maklumat X pada tanggal 3 November 1945.

Maklumat itu pun diberi restriksi yang sangat jelas dan tegas. Bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan menjamin keamanan rakyat.

Sehingga maknanya jelas. Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini. Dimana visinya jelas tercantum di Alinea kedua Pembukaan Konstitusi, yaitu untuk menjadi negara yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Mamur.

Sedangkan misi negara juga jelas tertulis di Alinea keempat Pembukaan Konstitusi kita, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Saya meyakini, masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme. Yang sangat ideologis dengan platform perjuangan partainya. Tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak, maka mereka seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasan biaya kampanye.

Saya juga meyakini masih ada anggota DPR RI yang masih memiliki idealisme. Yang sangat ingin untuk memperjuangkan janjinya. Tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan re-call serta ancaman PAW, tentu akan tunduk kepada apapun keputusan ketua umum partainya.

Oleh karena itu, salah satu proposal kenegaraan yang disampaikan DPD RI adalah membuka peluang anggota DPR RI dari unsur peserta pemilu perseorangan. Sehingga di dalam DPR RI akan ada anggota dari unsur partai politik, dan anggota dari unsur non-partai politik.

Sehingga proses pembentukan Undang-Undang yang memiliki kekuatan hukum mengikat kepada 275 juta penduduk Indonesia, tidak kita percayakan tunggal pembuatannya hanya kepada anggota-anggota Partai Politik di DPR.

Dengan begitu, bangsa ini akan konsisten dengan kedalaman makna dari kata ‘Republik’ yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini. Yaitu Res-Publica, yang artinya Kemaslahatan Bersama dalam arti seluas-luasnya.

Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita gaungkan kepada seluruh elemen bangsa ini. Bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali. Karena rakyat adalah pemilik sah negara ini. Dan karena ini di Kota Bandung, saya ingatkan slogan perjuangan di kota ini. Mari bung rebut kembali !

Saudara-saudara Peserta Munas SAPMA yang saya banggakan,
Silakan partai politik sibuk menyusun koalisi copras-capres, tetapi rakyat juga berhak menyusun koalisi. Yaitu; Koalisi Rakyat Bersatu untuk mengembalikan sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa.

Kapan itu harus kita perjuangan. Jawabnya: Sekarang. Karena perjuangan ini untuk Indonesia yang lebih baik. Untuk Indonesia yang lebih berdaulat. Untuk Indonesia yang lebih siap menyongsong momentum Indonesia Emas.

Saya berharap kader SAPMA di seluruh Indonesia bersatu-padu bersama elemen bangsa lainnya, untuk memperjuangkan cita-cita luhur para pendiri bangsa kita. Pancasila harus kita kembalikan sebagai identitas Konstitusi kita, karena Pancasila memang harus Abadi.

Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Akhir kata, semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk jalan yang lurus. Memberikan rahmat dan hidayah kepada kita semua. Aamiiin yaa robbal alamiin.

P a n c a s i l a ….. 3 x !!!
M e r d e k a ….. !!!

Wabillahi Taufiq wal Hidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Ketua DPD RI
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Foto Terkait

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menjadi keynote speech pada acara Musyawarah Nasional III SAPMA Pemuda Pancasila dengan tema 'Masihkan UUD 1945 Bernafaskan Pancasila?' di The Trans Luxury Hotel - Trans Grand Ballroom, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (24/8/2023).
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti Menjadi Keynote Speech Pada Acara Musyawarah Nasional III SAPMA Pemuda Pancasila di Kota Bandung

Berita Foto Terkait

Pidato Terkait