Pidato Ketua DPD RI
Pondok Pesantren Wali Barokah
Wawasan Kebangsaan dan Santripreneur
Kediri, 23 Oktober 2022
Bismillahirrohmannirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati dan banggakan; Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Saya sampaikan terima kasih kepada Pimpinan Pondok Pesantren Wali Barokah, yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam acara yang diselenggarakan hari ini.
Bapak Ibu dan Para Santri yang saya banggakan, Bulan September yang lalu, saya diundang di Kongres ke-2 Umat Islam Sumatera Utara, untuk menyampaikan pandangan terkait Islamophobia di Indonesia.
Saya membuka paparan saya dengan melihat sejarah dan kontribusi Umat Islam dalam kemerdekaan Indonesia. Dimana kontribusi umat Islam sangat besar. Bahkan saya katakan, umat Islam sejatinya adalah pemegang saham terbesar republik ini.
Di tahun 1916, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, Haji Omar Said Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam, secara terbuka di ruang publik menyampaikan perlunya Indonesia, yang saat itu masih Bernama Hindia Belanda, untuk merdeka dan memiliki pemerintahan sendiri.
Begitu pula para pendiri bangsa kita yang lain. Ada banyak nama ulama-ulama besar di dalamnya. Bahkan mereka juga yang terlibat aktif dalam perumusan Norma Hukum Tertinggi Negara ini, yaitu Pancasila.
Mereka juga terlibat aktif di dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Mereka juga menyusun Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 dan Penjelasannya.
Ada banyak nama. Sebut saja di antaranya; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Abdul Kahar Muzakir, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, dan masih banyak lainnya.
Bahkan dalam peristiwa mempertahankan Kemerdekaan, sejarah Indonesia tidak terlepas dari Resolusi Jihad yang dikeluarkan Hadratus Syeikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Sehingga meletuslah peristiwa 10 November 1945 yang dikenal sebagai hari Pahlawan di Kota Surabaya. Dimana teriakan atau pekik dari Bung Tomo, yaitu kalimat; Allahu Akbar, menjadi bahan bakar semangat para pejuang saat itu.
Sehingga dapat disimpulkan, hampir semua aktor-aktor peristiwa pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan adalah mayoritas beragama Islam. Tentu, tanpa mengurangi peran besar dari tokoh-tokoh non-muslim yang juga tercatat dalam sejarah.
Sehingga sangat tidak masuk akal bila belakangan ini Indonesia dilanda gejala terjadinya Islamophobia.
Jadi pertanyaannya? Mengapa fenomena Islamophobia ini belakangan semakin menguat terjadi di Indonesia?
Selain faktor Geopolitik Internasional, saya akan mencoba membedah faktor di dalam negeri.
Menurut saya ada tiga persoalan mendasar di dalam negeri yang memicu meningkatnya Islamophobia di Indonesia.
Pertama; karena kita sebagai bangsa telah terpolarisasi. Potensi konflik antar kelompok masyarakat sebenarnya terjadi sejak era kontestasi pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung yang disertai dengan Ambang Batas pencalonan.
Kita semua pasti mengenal istilah Presidential Threshold. Di sinilah akar masalahnya. Karena akibat aturan ambang batas inilah, pasangan calon yang dihasilkan terbukti sangat terbatas.
Celakanya, dari dua kali Pemilihan Presiden, negara ini hanya mampu menghasilkan dua pasang calon, yang head to head. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam.
Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan Anti-Thesa. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.
Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan vis-à-vis Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam.
Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.
Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya. Sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.
Lalu muncul istilah kampret, cebong, kadrun, radikal dan lain sebagainya. Sungguh sangat tidak sehat untuk sebuah proses perjalanan politik sebuah bangsa.
Faktor kedua adalah semangat membangun kebhinekaan dilakukan dengan kampanye Moderasi Agama yang kurang tepat sasaran. Seolah Agama harus secara massif dan dipaksa untuk dimoderatkan. Tetapi yang menjadi sasaran pembahasan selalu Islam.
Islam seolah menjadi tertuduh sebagai penyebab kemunduran dalam hal kemampuan mengelola perbedaan dan keberagaman. Islam menjadi tertuduh dihuni oleh orang-orang yang memahami agama secara tekstual dan ekslusif.
Narasi-narasi seperti ini secara tidak langsung justru memicu menguatnya Politik Identitas, sebagai reaksi alami dari bentuk ketidaksetujuan terhadap konsep Moderasi Agama yang dirasakan menyudutkan Islam.
Faktor ketiga adalah Perubahan atas Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 1999 hingga 2002 silam, yang telah mengubah 95 persen isi Pasal-Pasal di dalamnya, sehingga tidak nyambung lagi dengan Pancasila. Bahkan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli dihapus total.
Sehingga Pasal-Pasal dalam Konstitusi baru tersebut justru menjabarkan Ideologi lain; yaitu Ideologi Individualisme dan Liberalisme. Karena itu tidak mengherankan jika belakangan ini Kapitalisme dan Sekulerisme semakin menguat di Indonesia.
Inilah pangkal dari semua persoalan yang semakin membuat Indonesia karut marut karena penghilangan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi dilakukan secara “malu-malu tapi mau”, atau “malu-malu kucing”.
Termasuk perubahan Pasal 6 UUD 1945 naskah asli yang menyebutkan: Presiden ialah Orang Indonesia Asli telah diganti dengan menghapus kata ‘Asli’.
Sehingga kita membuka peluang bagi para pendatang asing untuk menguasai tiga sektor strategis; yaitu kuasai perekonomiannya. Kuasai politiknya, dan terakhir, kuasai Presiden atau Wakil Presidennya. Dan Indonesia akan mengulang sejarah yang terjadi di Singapura di masa lalu.
Karena itu, saat pertemuan Ketua Lembaga Negara dengan Presiden Joko Widodo pada bulan Agustus yang lalu, saya minta Presiden, selaku Kepala Negara untuk meratifikasi keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Melawan Islamophobia.
Saya minta Indonesia juga secara resmi menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari melawan Islamophobia.
Karena jelas, Negara ini berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti tertulis di Pasal 29 Ayat 1 Konstitusi kita.
Bahkan di Ayat 2 tertulis dengan sangat jelas; ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’.
Makna dari kalimat Ayat 2 itu jelas, bahwa beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu dijamin negara.
Artinya, kalau ada umat Islam yang menjalankan Sunnah Nabinya dengan memelihara jenggot, itu wajib dijamin oleh negara sebagai kemerdekaan atas pilihannya. Bukan malah distigma Teroris atau belakangan ini malah disebut Kadrun dan Radikal. Ini salah satu dari sekian banyak fenomena Islamophobia di Indonesia.
Dan harus diingat, bahwa Pancasila menempatkan kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ di dalam Sila Pertama, sebagai payung hukum spirit teologis dan kosmologis dalam menjalankan negara ini.
Sehingga sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada spirit Ketuhanan. Sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral serta spirit agama.
Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas, kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral serta spirit agama. Yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar norma hukum tertinggi yaitu Pancasila.
Jadi, bila disimpulkan, para pendiri bangsa ini sebenarnya sudah berpikir jauh ke depan. Dengan pikiran luhurnya, untuk menyiapkan negara ini sebagai negara yang berketuhanan. Sehingga mampu menjaga marwah rakyat Indonesia yang juga berketuhanan. Sehingga propaganda Islamophobia sudah seharusnya tidak bisa tumbuh subur di negeri ini.
Untuk itu kita harus kembali membuka sejarah. Membaca pemikiran-pemikiran luhur para pendiri bangsa. Membaca ulang Pancasila yang hari ini sudah ditinggalkan.
Kita harus membaca kembali watak dasar dan DNA Asli Sistem Demokrasi bangsa ini. Dimana para pendiri bangsa telah sepakat menggunakan Sistem Syuro. Sistem yang sebenarnya diadopsi dari sistem yang sudah sangat dikenal dalam ajaran Islam.
Yaitu kedaulatan rakyat yang diberikan kepada para hikmat yang duduk di Lembaga Tertinggi Negara sebagai penjelmaan dari seluruh elemen rakyat sebagai pemilik sah bangsa dan negara. Dimana di dalamnya bukan saja diisi oleh politisi dari Partai Politik. Tetapi juga ada Utusan dari seluruh Daerah dan Utusan Golongan-Golongan yang lengkap.
Oleh karena itu saya sekarang berkampanye untuk menata ulang Indonesia demi menghadapi tantangan masa depan yang akan semakin berat. Kita harus kembali menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri dan berdikari.
Untuk itu kita harus kembali kepada Pancasila. Agar kita tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akar bangsanya. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tidak memiliki jati diri dan karakter.
Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Untuk kemudian kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi.
Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli mutlak harus kita sempurnakan. Agar kita tidak mengulang penyimpangan praktek yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Karena kita harus selalu belajar dari sejarah.
Bapak Ibu dan Para Santri yang saya banggakan, Saya yakin, bila Indonesia kembali ke jalan pikiran yang dirumuskan para pendiri bangsa, maka negara ini akan menjadi negara yang besar dan unggul. Sebab Indonesia adalah negara yang diberi karunia oleh Allah SWT melalui kekayaan Sumber Daya Alam dan segala isinya, baik yang di darat maupun di laut. Sehingga Indonesia adalah negara yang telah memiliki keunggulan komparatif.
Dan Indonesia adalah negara yang memiliki pondok pesantren terbanyak di dunia. Dan peran pondok pesantren sangat penting bagi perjalanan bangsa ini.
Sebab jika kita bedah dari analisa Ideologi, Ekonomi, Sosial dan Budaya, pondok pesantren masih menjadi institusi yang paling konkret dalam memberikan sumbangsihnya.
Dari sisi ideologi misalnya, jelas negara ini berdasar atas ketuhanan. Hal ini menjadi domain utama Pondok Pesantren sebagai penjaga akhlak dan adab serta moral generasi bangsa ini. Karena dengan melaksanakan ajaran agama, sisi penghayatan dari sila pertama Pancasila akan terwujud. Dan ini akan melahirkan manusia yang beradab dan berakhlak.
Dari sini ekonomi. Selain sebagai institusi mandiri, pondok pesantren saat ini sudah memasuki ruang ekonomi melalui koperasi pondok pesantren dan usaha-usaha di sektor pertanian, peternakan dan lainnya.
Bahkan beberapa pesantren telah mencatat sukses mengembangkan sektor usaha melalui koperasi pondok pesantren. Hanya perlu dilakukan secara lebih luas. Sebab, belum semua, dari pondok pesantren di Indonesia mampu membesarkan skala bisnisnya.
Padahal, potensinya ada. Apalagi jika pondok pesantren memanfaatkan peluang pasar Produk Halal. Dimana pasarnya bisa menembus manca negara, khususnya negara-negara yang membutuhkan produk halal. Tentu hal ini masih membutuhkan dukungan dan keberpihakan pemerintah, baik daerah maupun pusat.
Dari sisi sosial, tentu sebagai penjaga nilai-nilai kearifan lokal, pondok pesantren telah teruji. Di tengah gencarnya arus globalisasi dan gaya hidup global, pondok pesantren masih berperan sebagai penyeimbang, sekaligus penjaga moral generasi penerus.
Dan dari sisi budaya, pondok pesantren masih menjadi garda terdepan lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya bagi masyarakat sekitar pondok pesantren.
Itu semua bukanlah peran yang kecil. Tetapi peran yang besar dan fundamental. Belum lagi nilai-nilai adab dan budi pekerti yang diajarkan di pondok pesantren akan menjadi bekal kehidupan bagi para Alumni Santri dalam menjalani kehidupan di masyarakat.
Sebab, sejatinya pendidikan bukan hanya menghasilkan anak didik yang pintar. Tetapi menghasilkan anak didik yang berakhlak dan bermoral.
Dan bangsa ini membutuhkan para Ulama dan Tokoh Agama untuk ikut menentukan arah dan wajah bangsa ini ke depan. Karena para Ulama dan Tokoh Agama adalah representasi dari negawaran.
Dan seorang negarawan tidak berpikir tentang next election. Tetapi berpikir next generation.
Sehingga kepada para santri yang sekarang sedang belajar di Pesantren Wali Barokah, berbanggalah kalian. Karena kalian mendapatkan asuhan dan pendidikan dari para negarawan yang mengasuh pesantren ini.
Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Semoga ikhtiar kita untuk membuat Indonesia lebih baik mendapat ridlo dari Allah SWT. Amiin yaa robbal alamiin.