Desember lalu, saya diundang PB HMI MPO. Untuk memberikan orasi dalam Training Politik Nasional. Temanya saat itu; “Dilema Otonomi Daerah: Antara Aspirasi Lokal dan Desentralisasi Praktik Korupsi”.
Saat itu saya sengaja tidak banyak berbicara tentang praktik korupsi di daerah. Karena sudah terlalu banyak yang membahas hal itu. Mulai dari para pakar sampai pegiat anti korupsi. Karena memang faktanya, ada puluhan gubernur dan ratusan bupati dan walikota yang ditahan KPK dan Kejaksaan.
Saya menawarkan pemikiran baru. Masih tentang korupsi. Tapi dari perspektif yang lebih luas. Dengan memahami secara utuh apa itu korupsi. Dari terminologi dan makna.
Secara umum, korupsi adalah tindakan memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain atau kelompok, dengan merugikan banyak pihak, baik masyarakat luas maupun negara.
Dari sini bisa kita tarik ke perspektif yang lebih luas, tentang makna merugikan masyarakat luas dan negara. Dengan pemikiran yang lebih luas, atau out of the box. Terutama menyangkut kerugian yang dialami masyarakat luas.
***
Terbentuknya negara ini, tentu memiliki tujuan. Dan tujuan itu dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita. Dimana salah satunya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya. Hingga pada ujungnya adalah terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah undang-undang sebagai petunjuk bagi aparatur negara. Sekaligus sebagai pengikat semua elemen bangsa. Undang-undang dibuat oleh pembentuk: DPR dan Pemerintah.
Nah, persoalannya, kita sebut apakah apabila ada Undang-Undang yang dibentuk, dan nyata-nyata menguntungkan kelompok dan merugikan masyarakat banyak, serta melenceng dari tujuan lahirnya negara ini?
Saya sebut Undang-Undang Koruptif. Karena dilahirkan dan dibentuk dalam perspektif korupsi dalam arti yang luas.
Jadi, ketika lahir sebuah Undang-Undang yang menguntungkan segelintir orang atau kelompok dan menyengsarakan rakyat kebanyakan, maka sejatinya Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang yang Koruptif!
Apakah itu Undang-Undang, Peraturan Daerah, atau regulasi apapun. Selama merugikan negara dan menguntungkan kelompok tertentu, sejatinya hal itu adalah praktik korupsi.
Dan tentu melanggar Konstitusi. Apalagi Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti termaktub di dalam Undang-Undang Dasar Pasal 29 Ayat (1).
Karena negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka sudah seharusnya dalam mengatur kehidupan rakyatnya. Para pembuat undang-undang, harus berpegang pada kosmologi dan spirit Ketuhanan. Sehingga kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan, wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral agama.
Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, dan merugikan kebanyakan rakyat. Apalagi membuat rakyat sengsara dan menderita, maka jelas kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral agama. Yang artinya kebijakan tersebut telah melanggar Konstitusi.
Dan pelanggaran terhadap konstitusi adalah pelanggaran terhadap sumpah jabatan yang diucapkan dengan menyebut nama Tuhan mereka.
***
Kita semua tahu, ada beberapa Undang-Undang yang lahir atas pesanan sponsor. Apakah sponsor pemberi pinjaman dari luar negeri. Atau sponsor oligarki yang menguasai kekayaan sumber daya alam.
Kita sering mendengar kritik keras tersebut dari para akademisi dan pengamat.
Tetapi tetap saja Undang-Undang tersebut lahir. Meskipun ada yang berujung dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tetapi tidak sedikit yang terus berlaku.
Bahkan ada juga yang dikatakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai open legal policy. Artinya tetap sah, karena merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang.
Singkatnya, hal ini menunjukkan kepada kita, adanya kepentingan kelompok tertentu yang diakomodasi oleh pembentuk Undang-Undang.
Jika kelompok tertentu –yang jumlahnya sedikit– diuntungkan. Maka jelas ada kelompok lebih besar yang dirugikan. Siapa? Kitalah. Rakyat kebanyakan.
***
Belakangan ini marak diskusi publik tentang Presidential Threshold. Atau ambang batas pencalonan presiden. Yang ditetapkan melalui Undang-Undang Pemilu –yang terbaru: UU Nomor 7 tahun 2017.
Apakah Undang-Undang tersebut juga termasuk Undang-Undang yang koruptif? Mari kita uji dengan tiga pisau analisis. Dengan tiga pertanyaan mendasar.
Yang pertama, apakah Presidential Threshold sesuai dengan Konstitusi. Jawabnya adalah Tidak. Karena memang TIDAK ADA perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden. Yang ada adalah ambang batas KETERPILIHAN presiden. Apalagi dalam hal pencalonan kepala daerah. Sama sekali tidak ada di dalam Konstitusi.
Tentang itu kita dapat membaca di Undang-Undang Dasar hasil Amandemen, di dalam Pasal 6A ayat (3) dan (4). Di situ disebutkan perlu ada Ambang Batas Keterpilihan sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar.
Sebaliknya, tentang Ambang Batas Pencalonan sama sekali tidak ada. Justru disebutkan di Pasal 6A Ayat (2) yang tertulis; “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Yang normanya, dari frasa kalimat itu adalah; setiap partai politik peserta pemilu DAPAT mengajukan pasangan capres dan cawapres. Dan pencalonan itu diajukan SEBELUM Pilpres dilaksanakan.
Tetapi kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
Dalam Undang-Undang tersebut, di Pasal 222 disebutkan; “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Selain memberi ambang batas yang angkanya entah dari mana dan ditentukan siapa, di Pasal tersebut juga terdapat kalimat; “pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Yang kemudian menjadikan komposisi perolehan suara partai secara nasional atau kursi DPR tersebut diambil dari komposisi yang lama. Atau periode 5 tahun sebelumnya.
Sungguh Pasal yang aneh, dan menyalahi Konstitusi. Apalagi menggunakan basis hasil suara yang sudah “basi”. Karena basis suara hasil pemilu 5 tahun yang lalu.
Lalu atas pertanyaan kedua. Apakah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah sesuai dengan keinginan masyarakat. Terutama menyangkut Presidential Threshold?
Jelas Presidential Threshold mengerdilkan potensi bangsa. Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik.
Belum lagi jika kita lihat dari sisi Partai Politik sendiri. Setiap partai politik pasti bertujuan mengusung kadernya untuk menjadi calon pemimpin bangsa. Faktanya, dengan adanya Presidential Threshold, partai politik yang memperoleh kursi kecil, tidak berdaya di hadapan partai politik besar. Terkait keputusan tentang calon yang akan diusung bersama.
Sehingga yang ada adalah: kita hanya akan menyaksikan partai-partai besar yang berkoalisi untuk mengusung calon. Dan bila perlu hanya ada dua calon yang head to head. Atau kalau perlu ada calon melawan kotak kosong. Seperti terjadi di beberapa Pilkada.
Lalu atas pertanyaan ketiga, apakah Presidential Threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem Presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah.
Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensiil, agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru secara teori dan praktek, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah. Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih.
Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan Partai Politik melalui Fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Termasuk secepat kilat menyetujui apapun kebijakan pemerintah. Termasuk terhadap PERPPU atau Calon-Calon Pejabat Negara yang dikehendaki pemerintah.
Jadi kalau ditimbang dari sisi manfaat dan mudarat-nya, Presidential Threshold ini penuh dengan mudarat.
Apalagi Ambang Batas pencalonan itu juga menyumbang polarisasi yang tajam di masyarakat. Akibat minimnya jumlah calon. Terutama dalam dua kali Pilpres, dimana kita hanya dihadapkan dengan dua pasang calon saja yang berhadap-hadapan.
Dan kita sebagai bangsa disuguhi kegaduhan nasional. Dimana sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik secara frontal oleh pressure group, maupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.
Kita menyaksikan sweeping bendera. Sweeping kaos. Pembubaran forum diskusi. Pembubaran forum pertemuan dan lain sebagainya. Yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan yang beradab. Tetapi lebih kepada tradisi bar-bar.
Inilah dampak buruk dari penerapan Ambang Batas Pencalonan Presiden. Dalam kasus tertentu, juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah. Dimana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan.
Jadi, apakah Undang-Undang tersebut merugikan rakyat atau tidak? Atau kita balik pertanyaannya. Siapa yang diuntungkan dengan aturan tersebut? Rakyat kebanyakan, atau kelompok tertentu? Saya kembalikan kepada Anda semua.
Penulis adalah Ketua DPD RI