Dipublikasikan pada Sabtu, 4 Desember 2021 13:47 WIB
BANDUNG – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan sistem demokrasi dan ekonomi Pancasila sudah hilang. Hal itu dikatakan LaNyalla saat membuka secara virtual di Musyawarah Besar VII Himpunan Keluarga Massenrempulu (HIKMA), Sabtu (4/12/2021).
LaNyalla menjelaskan, sistem-sistem Pancasila tersebut tergantikan dengan demokrasi liberal dan ekonomi dengan corak kapitalistik.
Pada acara yang mengambil tema ‘Bersinergi di Era New Normal untuk Kemajuan Massenrempulu’, LaNyalla mengatakan jika sistem tata negara Indonesia secara mutlak ditentukan oleh satu entitas saja, yaitu partai politik.
“Mereka bersepakat untuk menciptakan aturan yang membatasi lahirnya calon-calon pemimpin nasional melalui aturan Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden,” kata LaNyalla.
Imbasnya, dalam dua kali Pilpres Indonesia hanya mampu memunculkan dua pasang calon yang berhadap hadapan dengan keras. Akibatnya terjadi polarisasi dan pembelahan di masyarakat yang sangat tajam.
“Dan itu masih kita rasakan sampai hari ini. Sungguh suatu yang merugikan kita sebagai bangsa,” tutur LaNyalla.
Yang terjadi, Senator asal Jawa Timur itu melanjutkan, sesama anak bangsa saling melakukan persekusi, saling melaporkan ke ranah hukum. Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Dan semakin menjadi lebih parah, ketika ruang-ruang dialog yang ada juga semakin dibatasi dan dipersekusi.
“Kita menyaksikan sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Tetapi lebih kepada tradisi bar-bar. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran,” katanya.
Di mata LaNyalla, hal tersebut merupakan dampak buruk dari penerapan ambang batas pencalonan presiden dan pemilihan kepala daerah, di mana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan.
Padahal, kata LaNyalla, ambang pencalonan presiden itu sama sekali tidak ada di dalam konstitusi.
“Yang ada adalah aturan ambang batas keterpilihan, di mana dimaksudkan untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar,” papar LaNyalla.
Menurut alumnus Universitas Brawijaya Malang itu, hal ini membuat potensi bangsa ini menjadi kerdil. Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten, tetapi kemunculannya dihalangi aturan main, yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya.
“Padahal, Indonesia punya banyak putra terbaik bangsa yang seharusnya menjadi alternatif calon pemimpin nasional, termasuk dari Keluarga Massenrempulu,” tegas dia.
Pertanyaannya adalah desain siapakah ini? Siapa yang berkepentingan, atau siapa yang mengambil keuntungan dengan ricuhnya bangsa ini? Siapa yang mengambil manfaat dari lemahnya persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa? Siapakah yang memaksakan demokrasi liberal di Indonesia? Siapakah yang membuat Pancasila semakin terasing secara perlahan tapi pasti?
Inilah yang juga harus menjadi perhatian Himpunan Keluarga Massenrempulu dalam Mubes kali ini, sehingga HIKMA dapat mengambil peran kebangsaan yang lebih besar untuk Indonesia yang lebih baik.
“Kita harus berani bangkit, harus berani melakukan koreksi untuk tujuan Indonesia yang lebih baik. Untuk Indonesia yang lebih berdaulat dan berdikari, serta mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Termasuk, melakukan koreksi atas sistem ekonomi negara ini,” tutur LaNyalla.
DPD RI, LaNyalla melanjutkan, akan berusaha sekuat tenaga memperjuangkan hal itu.
“Tentu DPD RI akan mendapatkan dorongan energi, bila Himpunan Keluarga Massenrempulu juga memiliki agenda yang sama,” demikian LaNyalla.(*)