Dipublikasikan pada Senin, 5 September 2022 16:30 WIB
JAKARTA – Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Indonesia dan Konfederasi Swiss Mutual Legal Assistance (MLA) bisa dipakai untuk mengembalikan kedaulatan yang dikuasai oligarki ke tangan negara.
Hal itu dikatakan Salamuddin dalam Executive Brief ‘Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat: Kembali ke UUD 1945 Naskah Asli, Khususnya Pasal 33 dan Penjelasannya’, yang diselenggarakan DPD RI di Ruang Rapat Pimpinan DPD RI, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Jakarta, Senin (5/9/2022).
“Ini bisa menjadi celah dan peluang negara untuk menggeser sumber daya ekonomi para oligarki atau para taipan itu ke negara. Gunakan UU MLA, ambil paksa kekayaan mereka, sita aset hasil kejahatan keuangan mereka. Tetapi terlebih dahulu diadili,” kata Salamuddin Daeng.
Pintu masuk membongkar dan menghabisi oligarki, menurut Daeng, melalui pengusutan kasus BLBI, dimana DPD RI juga membentuk pansus BLBI.
“Saat ini sudah terjadi institusionalisasi kepentingan asing di dalam ekonomi bangsa. Hal itu dimulai dari amandemen Konstitusi di tahun 1999-2002. Dulu asing ini masih mau memakai negara memperkuat ekonominya. Tetapi kemudian mereka ingin memindahkan kekuasaan dari tangan pemerintah ke tangan swasta. Mulai didesain BLBI. Oligarki yang bersekongkol dengan asing lebih dahulu menggoyang keuangan dulu, baru kuasai ekonomi, politik dan lain-lain,” papar dia.
Dalam skema BLBI, dana Rp 630 triliun dipindahkan dengan skema utang sampai maksimal 100 tahun pelunasan. Jumlah itu bisa mencapai Rp 4000 triliun.
“Uang ini yang digunakan menjalankan kegiatan mereka secara terstruktur. Emas, juga hasil kekayaan kita dirampas. Dengan uang kita diubah UU dan peraturan lainnya. Mereka tak mau mau keluar uangnya sendiri. Begitu dipindah, dijalankan praktik tercapai situasi seperti sekarang. Investasi, perdagangan, keuangan terkonsentrasi di tangan oligarki-taipan. Infrastruktur politik yang kita punya dimiliki mereka. Semua bekerja untuk kepentingan mereka, untuk melanggengkan supremasi mereka di kepentingan ekonomi kita,” ungkap dia.
Menurut Salamuddin, saat ini salah momentum memindahkan kekuasaan mereka ke tangan negara. Pasalnya situasi geopolitik internasional yang terjadi sangat mendukung. Ada momentum global, berakhirnya satu zaman. Zaman uang kertas diganti uang kripto. Zaman tranparansi data keuangan, dimana hasil kejahatan keuangan bisa diketahui publik lewat adanya Panama Papers dan Pandora Papers.
“Ada situasi yang bisa menghabisi parasit dunia. Dulu dianggap hebat oleh dunia. Sekarang dianggap parasit. Tidak diperlukan lagi dan harus dimusnahkan. Isu ini signifikan sekali untuk menggeser ke politik nasional,” tukas dia.
Dalam kesempatan itu Salamuddin Daeng juga setuju kembali ke pasal 33 UUD 45 naskah asli. Namun Pasal 33 tak bisa berdiri sendiri harus diikuti oleh pasal lain, seperti pasal 18 misalnya.
“Kesimpulannya harus kembali kepada UUD 1945 naskah asli. Supaya supremasi politik dan ekonomi pindah ke tangan negara,” tuturnya.
Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin meminta Salamuddin Daeng untuk bisa menyampaikan data seputar BLBI terkait dengan MLA untuk memperkaya data dan bahan Pansus BLBI yang sudah dibentuk DPD RI.
“Nanti kami akan follow up terkait data dan bahan yang tadi disampaikan, untuk bisa ditindaklanjuti oleh Pansus BLBI yang sedang berproses di DPD RI,” tukasnya.
Selain Salamuddin Daeng, narasumber lain dalam Executive Brief adalah Ichsanuddin Noorsy (pengamat politik ekonomi), Ahmad Daryoko (Koordinator Indonesia Valuation for Energy and Infrastructure/INVEST) dan Muhadam Labolo (Dekan Fakultas Politik Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri/IPDN)
Dalam kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Senator Bustami Zainuddin (Lampung), Alirman Sori (Sumbar), Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifuddin dan Togar M Nero serta Kabiro Setpim DPD RI, Sanherif Hutagaol.(*)
BIRO PERS, MEDIA, DAN INFORMASI LANYALLA www.lanyallacenter.id