Dipublikasikan pada Jumat, 11 Agustus 2023 19:31 WIB
YOGYAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mendapat dukungan dan masukan berharga dari tiga orang Profesor dalam penyusunan Proposal Kenegaraan ‘menyempurnakan dan memperkuat sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa’.
Hal itu terungkap pada acara Fokus Grup Diskusi Membedah Proposal Kenegaraan DPD RI dengan tema ‘Menyempurnakan dan Memperkuat Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa’ yang diselenggarakan di UC Resto, Komplek Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (11/8/2023).
Dalam FGD itu, tiga narasumber berkompeten dihadirkan, di antaranya Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Kaelan, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Sudjito Atmoredjo dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang juga Pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila, Prof Suteki.
Dalam paparannya, Prof Kaelan menjabarkan sumber masalah kebangsaan ini terjadi ketika dilakukannya perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002. Menurut Prof Kaelan, yang dilakukan pada saat itu bukan amandemen, namun mengganti UUD, dari UUD 1945 menjadi UUD 2002.
“Itu bukan amandemen, tapi pengubahan secara fundamental yang berakibat tergantikannya seluruh konstitusi kita. Karena saat itu 95 persen, bahkan 97 persen isi UUD 1945 itu diubah. Ini sudah ganti konstitusi, ganti negara, makar konstitusi, sekaligus makar negara,” kata Prof Karlan.
Dipaparkannya, UUD 2002 hasil amandemen itu tak lagi mencerminkan Pancasila, melainkan paham Liberalisme. Prof Kaelan menyebut UUD 2002 melahirkan sistem ketatanegaraan yang paling rumit di dunia. Bagaimana tidak, antara satu lembaga dan lembaga lainnya tak memiliki keterkaitan satu sama lain.
“MPR tak jelas posisinya. Kalau tak jelas, maka kedaulatan rakyat juga tak jelas. Sehingga presiden tak ada yang menegur. Misalnya ketika Presiden melanggar konstitusi, MPR tak punya kewenangan mengontrol Presiden,” kata Prof Kaelan.
Dikatakannya, di dunia ini, konstitusi selalu berhubungan dengan identitas dan nilai bangsa. Sedangkan di Indonesia, hal itu sudah terputus, lagi-lagi imbas amandemen pada tahun 1999-2002.
Prof Kaelan sependapat dengan LaNyalla jika seluruh komponen dan elemen masyarakat harus terwakili di MPR. Maka, perlu adanya Utusan Golongan dan Utusan Daerah. “Hak-hak rakyat jangan direduksi. Jadi, saya mendukung proposal DPD RI dan itu harus diperjuangkan. MPR harus mewakili segenap komponen bangsa,” tegas dia.
Sementara Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Sudjito Atmoredjo juga memberi masukan judul proposal tersebut tentang penyebutan para pendiri bangsa. Menurutnya, harus diperjelas yang dimaksud para pendiri bangsa itu siapa saja. “Lalu, penyempurnaan sistem negara hukum dan Pancasila. Itu juga menjadi masukan saya dalam proposal kenegaraan ini,” ujar Prof Sudjito.
Hal lain yang menjadi sorotannya adalah harus adanya sistem yang mengikat seluruh warga negara. Dikatakannya, seluruh rakyat merupakan subyek dari negara dan memiliki kedudukan setara, yang saling berinteraksi dan saling melengkapi.
Hal yang mendapat perhatian Prof Sudjito juga dari aspek hukum. Para founding father, menegaskan bahwa Indonesia ini adalah rechtsstaat. “Rechtsstaat itu konsep yang mendasarkan pada hukum Barat, tepatnya didasarkan pada Eropa Barat yang pada saat itu memang sudah modern. Rechtsstaat itu mengedepankan logika dan mengesampingkan aspek religiusitas. Indonesia tak seperti itu. Amandemen sebaiknya membahas itu, yaitu negara hukum yang berdasarkan Pancasila,” tegas Prof Sudjito.
Masukan terakhirnya adalah soal Pancasila. Dikatakannya, sebelum Indonesia merdeka, Pancasila itu sudah tumbuh dan hidup di tengah-tengah rakyat Indonesia. “Sebelum Indonesia ada, Pancasila sudah menjadi way of life masyarakat Indonesia. Itu yang kemudian digali oleh Bung Karno. Pancasila itu Grondslag. Pancasila itu ruhnya. Jiwanya adalah staats fundamental norm,” tegas dia.
Sementara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang juga Pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila, Prof Suteki secara tegas mendukung gagasan Ketua DPD RI. Kendati begitu, ada satu masukan dari Prof Suteki agar proposal kenegaraan tersebut semakin memiliki kekuatan untuk diwujudkan.
“Lima proposal tadi itu saya setuju. Tapi kita harus ingat bahwa Indonesia ini negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, Religius Nation State harus menjadi bingkai dari lima proposal yang tadi ditawarkan oleh Ketua DPD RI,” tegas Prof Suteki.
Dikatakannya, Pancasila itu sesungguhnya sudah mendarah daging di dalam masyarakat Indonesia. Hanya saja, dalam praktiknya justru terjadi penyimpangan yang luar biasa. “Bahkan sejak bangsa ini berdiri sudah ada penyimpangan Pancasila. Kita lihat era Bung Karno, dasarnya Pancasila, tapi mempraktikkan konsep republik serikat dan lain sebagainya. Bahkan, penyimpangan itu terjadi hingga kini,” tutur Prof Suteki.
Pada titik itulah Prof Suteki menilai pentingnya konsistensi paradigma. Sebab, katanya, Pancasila ibarat kertas murni. “Tintanya tergantung rezim mana yang menuliskan,” tegas dia.