Rabu, Februari 12, 2025

Keynote Speech Ketua DPD RI Focus Group Discussion Universitas Wijaya Putra Membedah Proposal Kenegaraan DPD RI Menyempurnakan dan Memperkuat Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa

Loading

Surabaya, 27 November 2023

Bismillahirrohmannirrohim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera untuk kita semua.

Yang saya hormati dan banggakan;
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.

Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.

Saya sampaikan terima kasih kepada Civitas Akademika Universitas Wijaya Putra Surabaya, yang membuka ruang diskusi tentang tema besar kenegaraan, yang menurut saya perlu mendapat perhatian serius, mengingat tantangan masa depan yang dihadapi Indonesia akan semakin kompleks, seiring perubahan global dan situasi dunia yang tidak menentu.

Bapak Ibu dan Mahasiswa UWP yang saya banggakan,
Sebelum masuk ke topik FGD hari ini, saya ingin memaparkan apa yang terjadi di Era Reformasi 25 tahun yang lalu. Karena mungkin ada beberapa mahasiswa di sini, yang saat itu masih di Sekolah Dasar, atau belum lahir.

Gerakan Reformasi yang saat itu dimotori mahasiswa, dipicu krisis moneter dan puncak penolakan terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto, yang dianggap otoriter dan menyuburkan KKN di sekitar keluarga dan orang dekatnya.

Oleh karena itu, tuntutan Reformasi saat itu adalah turunkan dan adili Soeharto beserta kroninya, batasi masa jabatan presiden, hapus praktek KKN dan penegakan hukum, serta cabut dwi fungsi ABRI.

Tuntutan tersebut wajar. Karena memang Orde Baru melakukan praktek penyimpangan terhadap sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa. Dimana seharusnya Presiden itu adalah Mandataris MPR, tetapi Presiden Soeharto berhasil mengisi anggota MPR dengan orang-orangnya. Sehingga setiap lima tahun evaluasi kepemimpinan terhadap Mandataris MPR, selalu disepakati secara bulat untuk menunjuk kembali Presiden Soeharto sebagai Mandataris lagi.

Padahal sistem rumusan para pendiri bangsa bukan seperti itu. MPR itu dihuni oleh tiga unsur. Pertama, unsur yang dipilih melalui Pemilu Legislatif, yaitu anggota DPR RI, lalu ada dua unsur lagi yang diutus dari bawah, oleh kelompoknya masing-masing, yaitu Utusan Golongan dan Utusan Daerah. Bukan ditunjuk presiden. Dan juga bukan atas restu presiden. Seperti yang terjadi di era Orde Baru.

Mereka inilah yang disebut Penjelmaan Rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Mereka berada di lembaga tertinggi negara. Mereka menyusun Haluan Negara, sebagai wujud dari kehendak politik rakyat, dan memilih Mandataris MPR, sekaligus melakukan evaluasi di akhir masa jabatan Mandataris. Sehingga kedaulatan rakyat tetap berada di tangan rakyat. Bukan berpindah menjadi kedaulatan presiden.

Tetapi, satu tahun setelah Reformasi, mulai terjadi perubahan sistem ketatanegaraan. Yang terjadi adalah penggantian Konstitusi Indonesia. Bukan pembenahan atas praktek penyimpangan Orde Baru, tetapi justru mengganti Sistem Bernegara Indonesia, dari Sistem Pancasila yang dirumuskan Pendiri Bangsa, menjadi mengadopsi Sistem Barat yang liberal dan individualistik.

Inilah yang terjadi di dalam proses Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan di tahun 1999 hingga 2002 yang lalu.

Akibatnya, sejak tahun 2004 hingga hari ini, sistem bernegara Indonesia telah berubah total. Kedaulatan rakyat tidak lagi dijelmakan di dalam lembaga tertinggi negara. Melainkan berpindah menjadi kedaulatan Partai Politik dan kedaulatan Presiden Terpilih. Yang dipilih melalui Pemilu dan Pilpres Langsung.

Lembaga tertinggi negara dibubarkan. Tidak ada lagi utusan golongan dan utusan daerah. Tidak ada lagi Haluan Negara, karena Presiden terpilih sebagai eksekutif dapat membuat kebijakan apapun, selama mendapat dukungan dari partai politik.

Sehingga Partai Politik dan Presiden, masing-masing memegang kedaulatannya sendiri. Bahkan Partai Politik menjadi sangat dominan, karena mereka yang mengusung dan memilih calon presiden, untuk disodorkan kepada rakyat.

Lalu jika partai politik dan presiden terpilih menjalin koalisi dengan bagi-bagi jatah menteri di kabinet, maka apapun yang mereka kehendaki pasti akan terlaksana. Karena partai politik melalui anggota DPR adalah pemegang kekuasaan pembentuk Undang-Undang.

Memang faktanya ada Dewan Perwakilan Daerah. Tetapi DPD di Indonesia bukan pembentuk Undang-Undang dan tidak memiliki kewenangan seperti Senat dalam sistem Kongres di Amerika Serikat atau Inggris dan Australia. Karena memang Indonesia bukan negara federal.

Jadi, kekacauan tata negara Indonesia ini sebenarnya bermula saat bangsa ini melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam.

Hasil dari Amandemen itu, telah mengubah 95 persen isi dari pasal-pasal Undang-Undang Dasar naskah asli yang dirumuskan para pendiri bangsa. Perubahan tersebut juga membuat Konstitusi Indonesia meningalkan Pancasila sebagai identitasnya. Karena faktanya, pasal-pasal yang ada justru mencerminkan ideologi lain, yaitu Ideologi Liberalisme dan Individualisme. Sehingga ekonomi Indonesia perlahan tapi pasti menjadi Kapitalistik.

Sehingga segelintir orang, dapat menguasai dan menguras kekayaan alam Indonesia. Sementara ratusan juta rakyat hanya jadi penonton. Ketidakadilan inilah yang menjadi salah satu faktor penyumbang kemiskinan struktural.

Dan ironisnya, jumlah hutang pemerintah melesat jauh meningkat sejak awal tahun 2000 hingga hari ini. Bahkan tahun 2023 ini, pemerintah menambah hutang lagi sekitar 700 trilyun rupiah. Artinya di akhir tahun 2023 nanti, hutang pemerintah akan menembus angka 8.000 trilyun rupiah. Dan di tahun 2024 nanti akan hutang lagi sekitar 600 trilyun rupiah.

Rakyat Indonesia, sebagai pemilik negara ini tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kedaulatan rakyat sudah diberikan menjadi kedaulatan Partai Politik di DPR RI, dan kedaulatan Presiden melalui Pilpres Langsung. Inilah yang saya katakan, bahwa Pilpres Langsung sejatinya tidak cocok untuk bangsa Indonesia. Karena memang bukan nilai-nilai asli dari bangsa dan negara yang super majemuk ini.

Pilpres Langsung hanya cocok untuk negara yang homogen, tidak terpisah lautan, dan bangsa dengan karakter individualistik serta materialis pragmatis. Bukan untuk bangsa yang punya nilai-nilai gotong royong, guyup dan komunal. Akibatnya kita bisa lihat sendiri, Indonesia sekarang seperti bangsa lain. Seperti bangsa yang tercerabut dari akar bangsanya. Terbelah dan terpolarisasi.

Karena itu, saya mengajak kita semua membangun kesadaran kolektif kita sebagai bangsa. Untuk kembali ke Pancasila. Kita kembalikan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi dan Identitas Konstitusi kita.

Kita dorong semua elemen bangsa, agar terwujud Konsensus Nasional, untuk kita kembali menerapkan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 18 Agustus 1945, untuk kemudian kita sempurnakan dan perkuat melalui Amandemen dengan Teknik Adendum, tanpa mengganti Sistem Bernegara yang bermuara kepada Penjelmaan Rakyat di dalam MPR sebagai Pelaksana Kedaulatan.

Bapak Ibu dan Mahasiswa UWP yang saya banggakan,
Kami di DPD RI, berdasarkan aspirasi yang masuk dari sejumlah stakeholder bangsa, akhirnya kami sepakati, untuk mengambil inisiatif kenegaraan, dengan mengajak seluruh komponen bangsa ini, untuk  Kembali Menerapkan Sistem Bernegara sesuai Rumusan Pendiri Bangsa, untuk kemudian kita sempurnakan dan perkuat, untuk memastikan posisi kedaulatan rakyat yang lebih kuat, dan untuk menghindari praktek penyimpangan yang terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru.

Kami juga menyiapkan Proposal Kenegaraan dari DPD RI, yang nanti akan dibedah lebih mendalam oleh para narasumber dalam FGD hari ini.

Sehingga bangsa ini kembali ke Fitrah Negara Pancasila, dengan jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, dimana penyempurnaan dan penguatannya kita lakukan dengan Teknik Adendum, atau dengan kata lain; Penambahan, bukan penghapusan atau penggantian. Seperti yang telah dilakukan Amerika Serikat melalui Adendum 27 kali, dan India melalui Adendum 104 kali.

Saya berharap para Mahasiswa mendapat pemahaman yang utuh, karena masa depan bangsa dan negara ini ada di pundak kalian. Indonesia sebagai bangsa yang besar, harus kembali ke jati dirinya. Kembali kepada spirit para pendiri bangsa ini. Agar Indonesia kembali berdaulat, adil dan makmur.

Kiranya itu yang dapat saya sampaikan. Semoga ikhtiar yang kita niatkan untuk Indonesia yang lebih baik, mendapat ridho dari Allah SWT, sehingga menjadi amal jariyah bagi kita semua.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwomit Thoriq
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Ketua DPD RI
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Foto Terkait

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti saat memberikan "Keynote Speech" di acara Focus Group Discussion "Membedah Proposal Kenegaraan DPD RI Menyempurnakan dan Memperkuat Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa" di Universitas Wijaya Putra
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti saat memberikan Keynote Speech Acara FGD di Universitas Wijaya Putra

Berita Foto Terkait

Pidato Terkait