Kuliah Umum Ketua DPD RI Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Wawasan Kebangsaan dan Kewirausahaan
Sidoarjo, 19 Oktober 2022
Bismillahirrohmannirrohim, Assalamu’alaikum Wr. Wb., Salam sejahtera untuk kita semua.
Yang saya hormati dan banggakan; Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, beserta keluarga dan sahabatnya. Semoga kita mendapat syafaat beliau di hari hisab nanti.
Saya sampaikan terima kasih kepada Civitas Akademika Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, yang mengundang saya untuk ikut menyumbangkan pikiran dan pendapat dalam kegiatan yang diselenggarakan hari ini.
Senin kemarin, saya hadir ke Universitas Muhammadiyah Surabaya, untuk berbicara di forum Stadium General yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Mahasiswa Univesitas Muhammadiyah Surabaya.
Saya sampaikan saat itu, bahwa sudah seharusnya kampus Muhammadiyah menjadi penjaga spirit perjuangan dan pemikiran para pendiri bangsa ini. Karena banyak sekali tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terlibat dalam proses pembentukan negara ini. Termasuk merumuskan sistem apa yang paling sesuai dengan bangsa Indonesia.
Baik itu sistem demokrasi-nya, maupun sistem ekonomi-nya. Sehingga seharusnya perguruan tinggi Muhammadiyah di seluruh Indonesia, seperti yang sudah ada di Universitas Muhammadiyah Jakarta, memiliki Pusat Studi Pancasila.
Mengapa ini saya sampaikan, karena fakta bahwa bangsa ini perlahan tapi pasti telah meninggalkan Pancasila. Telah meninggalkan sistem demokrasi Pancasila. Dan telah meninggalkan sistem ekonomi Pancasila.
Padahal sistem Demokrasi Pancasila adalah sistem asli yang lahir dari pemikiran luhur para pendiri bangsa. Yang berbeda dengan Isme-Isme yang ada saat itu, seperti Liberalisme di Barat atau Komunisme di Timur.
Liberalisme Barat bersifat Sekularistik dan Individualistik, karena lahir dari gerakan protes terhadap dominasi Gereja yang saat itu begitu mendominasi keputusan pemerintah melalui dogma-dogma.
Sedangkan Komunisme lahir dari perlawanan rakyat terhadap kaum Tuan Tanah dan kelompok Borjuis yang berlindung di balik pemerintah.
Oleh karena itu, ciri utama dari Demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan yang berada di dalam sebuah Lembaga Tertinggi di negara ini. Sehingga terjadi penjelmaan rakyat. Tidak sekedar perwakilan rakyat.
Untuk kemudian mereka Menyusun Arah Perjalanan Bangsa dan Memilih Mandataris alias petugas rakyat yang diberi mandat. Sehingga rakyatlah yang menentukan cara bagaimana mereka harus diperintah oleh pemerintah yang mereka bentuk.
Karena pada hakikatnya: Kedaulatan Rakyat itu adalah ‘Superanus’ atau ‘Yang Tertinggi’. Sehingga perwakilan dan penjelmaan seluruh elemen rakyat harus berada di Lembaga Tertinggi di negara.
Ini adalah konsep Majelis Syuro yang sebenarnya sangat dikenal dalam Islam. Itulah mengapa negara ini menjadikan Agama sebagai dasar negara. Seperti tertulis di dalam Pasal 29 Ayat 1 Konstitusi kita. Karena memang negara ini adalah negara yang berketuhanan.
Oleh karena negara yang berketuhanan, maka negara ini tempat orang-orang yang beradab dan membangun peradaban dengan persatuan. Negara ini juga tempat semua perwakilan elemen bangsa yang disebut para hikmat untuk bermusyawarah. Demi menuju satu hakikat tujuan negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Begitu sistem ekonomi Pancasila, yang pada hakikatnya, negara harus berkuasa penuh atas bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Termasuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak.
Sehingga ekonomi Indonesia dijalankan dengan tiga pilar utama. Koperasi atau usaha rakyat. Lalu, perusahaan negara. Kemudian swasta, baik swasta nasional maupun asing.
Dengan posisi pembagian yang tegas, antara wilayah public goods dan wilayah commercial goods, serta irisan di antara keduanya.
Sehingga terjadi proses usaha bersama. Atau yang sering saya sebut sebagai Public, Privat, People, Partnership atau 4 P. Yaitu keterlibatan yang jelas antara negara, swasta dan masyarakat dalam aktivitas ekonomi.
Rakyat harus berada dalam posisi sebagai bagian dari pemilik kedaulatan atas wilayah, termasuk sumber daya di daerahnya. Sehingga keterlibatan rakyat itu mutlak dan wajib jika kita membaca konsep ekonomi usaha bersama yang dirumuskan para pendiri bangsa kita.
Konsep inilah yang tertuang dalam Pasal 33 naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya. Sebelum dilakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam.
Karena setelah Amandemen tersebut, Pasal 33 ditambah menjadi 5 ayat, dari sebelumnya 3 ayat. Dimana Naskah Penjelasannya dihapus total. Sehingga perubahan itu telah mengubah sistem ekonomi Indonesia, perlahan tapi pasti, menjadi sistem ekonomi liberal kapitalistik.
Bapak Ibu dan Para Mahasiswa yang saya banggakan, Tema yang diberikan kepada saya hari ini adalah Wawasan Kebangsaan dan Kewirausahaan. Dalam konsep bernegara, tema ini adalah bagaimana sistem ekonomi suatu negara mampu melindungi kepentingan warga negaranya secara ekonomi.
Termasuk memastikan bahwa kepentingan nasional suatu negara, dalam kontek penguatan ekonomi adalah di atas segala-galanya. Karena dalam norma hukum internasional, kedaulatan negara, termasuk dalam konteks ekonomi, dapat dijalankan secara bebas sesuai kepentingan negara tersebut, selama tidak melanggar kedaulatan negara lain.
Dalam hukum internasional kedaulatan negara memiliki tiga aspek, yaitu; Pertama; kedaulatan yang bersifat eksternal. Yaitu hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan dengan negara lain atau kelompok lain, tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.
Kedua; kedaulatan yang bersifat internal, yaitu hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga, cara kerja dan hak membuat aturan dalam menjalankan.
Ketiga; kedaulatan teritorial, yang berarti kekuasaan penuh yang dimiliki negara atas individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah itu. Baik yang ada di darat, laut maupun udara.
Sehingga para pendiri bangsa kita merumuskan bahwa ekonomi Indonesia harus disusun atas usaha bersama dan dijalankan dengan tiga pilar utama. Koperasi atau usaha rakyat. Lalu, perusahaan negara. Kemudian swasta, baik swasta nasional maupun asing.
Dengan posisi pembagian yang tegas, antara wilayah public goods yang harus dikuasai negara, dan wilayah commercial goods untuk swasta, serta irisan di antara keduanya.
Sehingga terjadi proses usaha bersama. Atau yang sering saya sebut sebagai Public, Privat, People, Partnership atau 4 P. Yaitu keterlibatan yang jelas antara negara, swasta dan masyarakat dalam aktivitas ekonomi.
Rakyat harus berada dalam posisi sebagai bagian dari pemilik kedaulatan atas wilayah, termasuk sumber daya di daerahnya. Sehingga keterlibatan rakyat itu mutlak dan wajib jika kita membaca konsep ekonomi usaha bersama yang dirumuskan para pendiri bangsa kita.
Tetapi saat ini mekanisme ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar. Dibiarkan tersusun dengan sendirinya. Bukan lagi disusun atas usaha bersama.
Begitu pula posisi negara, sudah tidak lagi menguasai secara mutlak bumi air dan kekayaan alam. Tetapi hanya berfungsi sebagai pemberi ijin atas konsesi-konsesi yang diberikan kepada swasta nasional yang sudah berbagi saham dengan swasta asing.
Ini semua dilakukan hanya demi angka Pertumbuhan Ekonomi yang ekuivalen dengan Tax Ratio. Padahal Negara dengan keunggulan Komparatif Sumber Daya Alam seperti Indonesia, seharusnya lebih mengutamakan Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP.
Karena konsep pertumbuhan ekonomi yang dikampanyekan oleh masyarakat Global, memang berbeda dengan konsep pemerataan ekonomi yang dirancang para pendiri bangsa kita.
Bapak Ibu dan Para Mahasiswa yang saya banggakan, Konsep pertumbuhan ekonomi atau mazhab ekonomi yang mengandalkan pemasukan negara dari Pajak Rakyat atas Pendapatan Domestik Bruto di beberapa negara memang sukses diterapkan.
Contoh paling konkrit adalah Amerika Serikat. Puluhan perusahaan raksasa dunia semua berkantor pusat dan dimiliki oleh warga negara Amerika Serikat. Sebut saja Apple, Alphabet, yang merupakan induk usaha Google, Microsoft, Tesla, Facebook, Zoom, JP Morgan, Bank of America, Chevron, Freeport McMoran, Citibank dan lain-lain.
Mereka semua tidak memindahkan kantor atau unit usahanya keluar dari Amerika Serikat. Sehingga miliaran US Dolar keuntungan mereka terdistribusi menjadi pemasukan Pajak bagi pemerintah Amerika Serikat.
Begitu pula industri lainnya, seperti industri film Hollywood yang sampai hari ini mampu mencetak laba miliaran US Dolar dari monetize royalty atas pemutaran film-film produksi mereka di ratusan negara di dunia. Dan industri-industri lainnya. Termasuk farmasi dan obat-obatan serta industri senjata dan militer.
Jadi konsep atau mazhab Pertumbuhan Ekonomi untuk kepentingan Pajak sebagai sumber pemasukan utama bisa dilakukan oleh negara seperti Amerika Serikat. Tetapi belum tentu cocok diterapkan untuk negara seperti Indonesia.
Sehingga jangan heran bila perkembangan ekonomi digital melalui Platform Market Place di Indonesia didominasi produk barang impor dari Tiongkok. Padahal nilai transaksi Market Place di Indonesia di tahun 2020 lalu, mencapai Rp. 266 triliun. Artinya uang Rp 266 triliun itu mayoritas kita belanjakan untuk produk impor.
Karena anak bangsa ini hanya menjadi para penjual saja di Market Place. Dan mereka hanya mendapat sedikit keuntungan dari penjualan. Nilai tambah utama tentu ada pada produsen di negara asal barang itu didatangkan.
Dan belakangan ini mulai terjadi pengurangan tenaga kerja yang dilakukan sejumlah Market Place yang beroperasi di Indonesia. Mulai dari Shopee, JD.ID, TaniHub dan lain-lain.
Mereka mulai menutup sejumlah gudang dan mengurangi jumlah tenaga kerja. Artinya, mereka sudah membaca dari Big Data, tentang produk-produk apa yang best seller dan diminati pembeli di Indonesia. Sehingga yang tidak laku, mereka hapus.
Dan sebagian dari Market Place ini, yang berkantor pusat bukan di Indonesia, melainkan di Singapura, juga sudah melakukan IPO ke lantai bursa. Sehingga modal awal yang mereka tanamkan sudah kembali. Sehingga bisa dialihkan ke bisnis yang baru lagi, yaitu bisnis energi terbarukan, yang menjadi tuntutan masa depan global.
Inilah mengapa salah satu tujuan lahirnya negara ini, yaitu memajukan Kesejahteraan Umum terasa masih sulit diwujudkan hingga hari ini. Bahkan penduduk Indonesia semakin banyak yang rentan untuk menjadi miskin. Dan kita terus menerus menjadi negara berpendapatan rendah.
Bapak Ibu dan Para Mahasiswa yang saya banggakan, Perubahan fundamental sistem demokrasi Indonesia dari konsep perwakilan menjadi presidensial murni dengan mengadopsi sistem demokrasi liberal terjadi saat bangsa ini melakukan perubahan Konstitusi atau Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 empat tahap di tahun 1999 hingga 2002 yang lalu.
Saya memahami situasi saat itu. Dimana bangsa ini memiliki satu common sense untuk melakukan anti-thesa terhadap apa yang berlangsung di era Orde Baru. Sama halnya dengan situasi di era tahun 1966 dan 1967, dimana rakyat saat itu menginginkan anti-thesa terhadap apa yang berlangsung di era Orde Lama.
Tetapi kita tidak menyadari dengan jernih. Bahwa praktek yang dilakukan Orde Lama dan Orde Baru adalah penyimpangan dari nilai Sistem Demokrasi Pancasila, yang memang perlu disempurnakan.
Sekali lagi saya katakan, Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli memang perlu disempurnakan. Karena masih adanya ruang untuk terjadi praktek penyimpangan, yang terbukti terjadi di era Orde Lama dan Orde Baru. Jadi wajib disempurnakan, bukan diganti total.
Tetapi yang kita lakukan di tahun 1999 hingga 2002 adalah mengganti total Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli menjadi Undang-Undang Dasar baru. Karena isi pasal-pasalnya telah berubah lebih dari 95 persen.
Sistem Demokrasi Pancasila sudah diubah total. Bahkan ditinggalkan. Karena naskah Pembukaan Konstitusi sudah tidak nyambung lagi dengan isi pasal-pasal yang ada di dalam Batang Tubuh. Bahkan Perubahan saat itu, menghapus total Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Padahal Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan adalah satu kesatuan yang utuh.
Inilah awal mulanya bangsa ini dipisahkan dari Ideologinya. Awal mula bangsa ini meninggalkan Pancasila sebagai Staats fundamental norm atau Norma Hukum Tertinggi.
Bahkan di masa Reformasi, tepatnya tanggal 13 November 1998, MPR, yang saat itu dipimpin Harmoko, melalui Ketetapan MPR Nomor. XVIII/MPR/1998 mencabut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 sebagai materi Pendidikan Ideologi yang diterapkan melalui Penataran P4, dengan pertimbangan karena materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.
Ini bagi saya sangat berbahaya. Karena jauh sebelum bangsa ini merdeka, tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1928, pejuang Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro sudah mengingatkan, bahwa jika anak didik tidak kita ajar dengan kebangsaan dan nasionalisme, maka di masa depan, sangat mungkin mereka akan menjadi lawan kita.
Karena memang penghancuran ingatan kolektif suatu bangsa dapat dilakukan dengan metode non perang militer. Tetapi dengan memecah belah persatuan, mempengaruhi, menguasai dan mengendalikan pikiran dan hati warga bangsa, agar tidak memiliki kesadaran, kewaspadaan dan jati diri serta gagal dalam regenerasi untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasional bangsa tersebut.
Dan hari ini kita sudah merasakan dan mengalami situasi yang saya sebutkan tadi. Kita sudah menjadi bangsa yang terpolarisasi. Bangsa yang terbelah. Dan tidak mempunyai karakter serta jati diri. Karena bangsa ini dipenuhi buzzer yang menggunakan narasi kebencian dan penghinaan kepada sesama anak bangsa.
Dan negara ini semakin dipenuhi dengan paradoksal yang kita rasakan dan lihat sendiri. Bangsa yang sebenarnya diberi anugerah oleh Allah SWT dengan kekayaan sumber daya alam di bumi dan di laut, tetapi rakyatnya semakin banyak yang miskin dan rentan menjadi miskin.
APBN negara selalu defisit dan harus ditutupi dengan utang yang terus membengkak. Kewajiban negara terhadap rakyat dianggap subsidi yang sewaktu-waktu bisa dicabut. Sementara segelintir orang menjadi super kaya raya mengendalikan kebijakan melalui lahirnya Undang-Undang yang menguntungkan kepentingan mereka.
Memang harus diakui, ada gerakan sistematis sejak tahun 80-an, untuk membuat negara ini harus melepaskan diri dari penguasaan atas Sumber Daya Alam dan cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak. Dan membuat negara ini terjebak dengan utang luar negeri untuk pembangunan. Ini dapat kita baca dari pengakuan Jhon Perkins dalam bukunya tentang Economic Hit Man.
Negara seolah dipaksa untuk menyerahkan penguasaan tersebut kepada Swasta Nasional maupun Swasta Asing, atau mereka yang menyatu melalui share holder.
Tidak ada lagi pemisahan yang tegas antara public goods dan commercial goods atau kuasi di antara keduanya.
Sehingga negara ibaratnya hanya sebagai “host” atau master of ceremony alias “MC” untuk investor yang akan mengeruk Sumber Daya Alam dan lahan hutan di Indonesia.
Itulah mengapa saya menawarkan gagasan untuk kita mengingat dan membaca kembali pikiran para pendiri bangsa. Tentang sistem demokrasi dan sistem ekonomi yang paling sesuai dengan bangsa yang super majemuk ini. Bangsa yang kaya akan sumber daya alam ini.
Kita harus kembali kepada Pancasila. Agar kita tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa. Agar kita tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akar bangsanya. Agar kita tidak menjadi bangsa yang kehilangan jati diri dan karakter.
Gagasan yang saya tawarkan telah saya tuliskan di dalam buku Peta Jalan Mengembalikan Kedaulatan dan Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Silakan nanti dipelajari sebagai sebuah tawaran gagasan untuk menata ulang arah perjalanan bangsa ini ke depan.
Akhir kata, semoga Allah SWT senantiasa memberi petunjuk jalan yang lurus, memberikan rahmat dan hidayah kepada kita semua. Amiin yaa robbal alamiin.