Dipublikasikan pada Senin, 13 Desember 2021 11:40 WIB
JAKARTA – Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan India, Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai amandemen konstitusi yang dilakukan Indonesia dalam kurun waktu 1999-2002 lebih brutal dan massif.
Menurutnya, amandemen yang terjadi pascareformasi itu merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Oleh karenanya, kita harus sudahi kerusakan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan imbas dari amandemen konstitusi yang dilakukan secara brutal dan massif pada kurun waktu 1999-2002,” kata LaNyalla saat menjadi Keynote Speech Diskusi Nasional Amandemen UUD 1945 kerja sama DPD RI dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya di Gedung Nusantara IV Komplek Parlemen Senayan, Senin (13/12/2021).
Senator asal Jawa Timur itu memaparkan, konstitusi asli Amerika Serikat terdiri dari 4.500 kata. Lalu dilakukan amandemen sebanyak 27 kali yang hanya menambah 2.500 kata.
Sedangkan konstitusi India, terdiri lebih dari 117.000 kata dan dilakukan Amandemen 104 kali dengan hanya menambah 30.000 kata.
“UUD 1945 asli sekitar 1.500 kata, dilakukan amandemen empat tahap menjadi 4.500 kata yang secara substansi juga berbeda dengan aslinya. Artinya terjadi perubahan besar-besaran dan tidak dilakukan dengan cara adendum. Inilah yang saya sebut Kecelakaan Konstitusi,” tegas LaNyalla.
Pada kegiatan yang mengambil tema ‘Urgensi UUD 1945 Dalam Rangka Menuju Indonesia Maju’, LaNyalla mengatakan partai politik telah menjadi penentu tunggal arah perjalanan bangsa.
Partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. Dan hanya Partai politik melalui fraksi di DPR RI yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga negara,” ujarnya.
Sebaliknya, kata LaNyalla, DPD RI sebagai wakil dari daerah, wakil dari golongan-golongan, wakil dari entitas-entitas civil society yang non-partisan, tidak memiliki ruang dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa.
Faktanya, sejak amandemen saat itu hingga hari ini, entitas civil society non-partisan terpinggirkan.
“Semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik. Tanpa second opinion dan tanpa reserve. Inilah yang kemudian menghasilkan pola the winner takes all,” ucapnya.
Dikatakan LaNyalla, partai-Partai besar menjadi tirani mayoritas untuk mengendalikan semua keputusan melalui voting di parlemen. Mereka juga bersepakat membuat Undang-Undang yang memberi ambang batas parlemen atau parlementary threshold, dan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Sehingga lengkap sudah dominasi dan hegemoni partai politik untuk memasung Vox Populi dengan cara memaksa suara rakyat terhadap pilihan terbatas yang telah ditentukan.
Akibatnya, terjadi pembelahan yang tajam di masyarakat yang masih kita rasakan hingga hari ini. Karena dari dua kali Pilpres, mereka hanya menyajikan dua pasang calon yang berhadapan-hadapan.
“Inilah wajah konstitusi hasil amandemen 2002 yang telah mengubah lebih dari 90 persen isi pasal-pasal di UUD 1945 naskah asli. Dan telah mengganti sistem tata negara yang dirumuskan para pendiri bangsa yang mengacu kepada demokrasi asli Indonesia, yaitu Demokrasi Pancasila,” tutur LaNyalla.
“Sejak amandemen 2002, Indonesia telah meninggalkan Demokrasi Pancasila menjadi Demokrasi Liberal. Begitu pula dengan sistem Ekonomi Nasional, sejak amandemen 2002, Indonesia telah meninggalkan sistem Ekonomi Pancasila yang menitikberatkan kepada pemisahan yang jelas antara wilayah koperasi, BUMN dan swasta menjadi sistem Ekonomi Kapitalistik,” paparnya.
Hal itu sebagaimana tertuang dalam konstitusi amandemen 2002 yang telah menambah 2 ayat di pasal 33, sehingga membuka peluang kepada swasta nasional maupun asing untuk menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak, dengan dalih efisiensi.
“Tidak heran, bila mereka yang kaya semakin kaya, dan yang miskin akan tetap miskin. Dan, mereka yang kaya raya adalah segelintir orang yang menguasai hampir separo kekayaan Indonesia. Padahal negeri ini kaya raya. Sejatinya tidak ada kemiskinan akut di negeri ini selama tidak ada segelintir orang yang dengan brutal dan rakus menumpuk kekayaan untuk kemudian dibawa keluar Indonesia,” tegas LaNyalla.
Sekarang, kata LaNyalla, bola ia lemparkan kepada para rektor yang hadir di acara tersebut mengenai apa yang harus dilakukan dalam kondisi dan situasi seperti ini. ‘Apakah kita akan memperbaiki konstitusi yang sudah dibongkar total itu melalui amandemen ke-5 nanti atau kita harus kembali terlebih dahulu ke konstitusi asli untuk kemudian kita lakukan adendum dengan cara yang benar? Saya berhadap diskusi ini mampu menjawab pertanyaan saya tersebut,” harap LaNyalla.
Yang pasti, ia menegaskan, kerusakan ini harus disudahi. Ia mengajak semua pihak berpikir sebagai negarawan.
“Kita harus memikirkan nasib anak cucu kita. Sebab, hukum alam akan memangsa mereka yang berbuat kerusakan di muka bumi. Dan alam tidak mengenal siapa yang melubangi kapal, tetapi semua penumpang kapal akan tenggelam,” demikian LaNyalla.
Kegiatan ini dihadiri Wakil Ketua 1 DPD RI Nono Sampono, serta sejumlah senator, yaitu Sylviana Murni (DKI Jakarta), Ahmad Nawardi (Jawa Timur), Bustami Zainudin (Lampung), Sukiryanto (Kalbar), dan Sudirman (Aceh), Angelius Wake Kako (NTT), Leonardi Harmaini (Sumbar) dan Darmansyah Husein (Babel) serta Abdul Hakim (Lampung).
Narasumber kegiatan adalah Rektor UINSA Masdar Hilmy, Staf Ahli Jaksa Agung Jan S Maringka, dan Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.(*)
BIRO PERS, MEDIA, DAN INFORMASI LANYALLA www.lanyallacenter.id