Dipublikasikan pada Senin, 24 Januari 2022 17:28 WIB
SURABAYA – Presidential Threshold 20 persen yang diterapkan Indonesia saat ini, dinilai tidak relevan dengan pelaksanaan Pemilu serentak. Selain itu, Presidential Threshold membuat sistem Presidensial menjadi tidak sehat.
Penilaian itu disampaikan pengajar Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga Dr Radian Salman, SH, LLM, dalam Focus Group Discussion bertema ‘Mengapa Presidential Threshold 20 Persen Harus Dihapus?’, yang diselenggarakan Asparagus, Senin (24/1/2022), di Surabaya.
Radian yang juga menjabat Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Ketatapemerintahan Unair, menegaskan tidak ada ketentuan Presidential Threshold dalam UUD 1945. UUD 1945 tidak memerintahkan pengaturan mengenai PT dalam UU. Karena itu seharusnya PT bukan open legal policy pembentuk UU.
Ia menambahkan, PT justru tidak relevan dengan penguatan sistem Presidensial. Tidak itu saja, PT juga mengakibatkan sistem presidensial yang tidak sehat.
“Penerapan PT, bertentangan dengan rights to candidacy dan pemenuhan hak memilih. Sebab, PT bertentangan dengan kesetaraan parpol dalam pemilu. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan jika PT tidak relevan dengan sistem pemilu serentak,” tegasnya.
Ia menjelaskan, dalam Pasal 6A ayat (3), Threshold ditujukan untuk keterpilihan, bukan pencalonan.
“Pengaturan PT untuk pencalonan dalam UU adalah bagian dari persyaratan. Dan ketentuan persyaratan itu tidak diperintahkan oleh Pasal 6 ayat (5) UUD 1945,” katanya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, PT dalam hal pencalonan adalah yang bisa mencalonkan. Dalam PT 20 persen, pencalonan hanya bisa dilakukan partai politik atau gabungan partai politik.
“Sedangkan dalam pendekatan penafsiran original intent pembentuk UUD, tidak ada pembahasan dan maksud menciptakan ambang batas pencalonan. Yang ada adalah parliamentary threshold dan ambang batas keterpilihan,” tegasnya.
Radian mempertegas jika UUD 1945 hanya mengatur ambang keterpilihan dan memerintahkan tata cara. Oleh sebab itu, PT itu bukan open legal policy.
“MK harus menguji kembali batasan open legal policy mengenai PT pengajuan, dengan alat uji yang dibuat MK mengenai open legal policy,” terangnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, PT tidak mutlak dengan penguatan sistem Presidensial. Justru, PT sistem Presidensial akan tumbuh menjadi tidak sehat.
“Presiden memang membutuhkan dukungan dari parlemen dalam sistem presidensial. Tetapi hal ini tidak dengan cara membuat ketentuan PT pengajuan yang menjebak pada lemahnya parlemen sebagai akibat koalisi dini dan Panjang yang dimulai dari pengajuan calon. PT tidak selalu relevan dengan penciptaan “governability”, justru lebih berbahaya pemerintahan yang lemah kontrolnya karena ketiadaan oposisi,” jelasnya.
Radian juga menerangkan konsep Ambang Batas dalam Pemilu. Menurutnya konsep ambang batas tersebut adalah syarat yang harus dipenuhi partai politik untuk mengikuti pemilihan umum.
“Konsep lainnya, ambang batas adalah syarat perolehan suara partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya (electoral threshold), juga dalam pembentukan fraksi di parlemen. Kemudian ambang batas perolehan suara untuk pencalonan presiden (presidential threshold), serta ambang batas keterpilihan,” katanya. (*)
BIRO PERS, MEDIA, DAN INFORMASI LANYALLA www.lanyallacenter.id